“Maaf, Bidan Violita. Dari awal pelaporan, kami juga sudah berupaya. Kami sungguh sangat berupaya, hingga ketimbang memindah tugaskan Bidan Violita, kami dan tim lebih memilih Bidan Violita rehat selama dua bulan ke depan.”
“Kami tahu ini berat, tapi semua aparat sudah telanjur datang dan mereka memang sampai memviralkan apa yang terjadi kepada Bidan Violita. Nama baik puskesmas ini sampai tercoreng.”
“Hanya saja karena kami sangat percaya kepada Bidan Violita. Apalagi sejauh ini kinerja Bidan juga sangat baik. Dan pada kenyataannya pun, semuanya sudah sama-sama menikah karena mas Fathan saja justru melanjutkan pernikahan dengan Rindu.”
Langkah berat mengiringi ingatan Violita atas sanksi yang harus ia jalani. Selama dua bulan ke depan ia terancam jadi pengangguran gara-gara sanksi tersebut. Kemalangan yang lagi-lagi harus Violita dapatkan dari Fathan dan kuasanya.
Sekitar pukul setengah dua siang, akhirnya Violita sampai kontrakan. Ia yang sempat kelaparan karena dari pagi belum sarapan dan memang sengaja berhemat, jadi tak lapar lagi. Urusan pribadi yang sampai dikaitkan dengan pekerjaan benar-benar membuatnya rugi bandar.
“Ya sudah, ... lagi-lagi, hamba hanya bisa ikhlas ya Allah. Insya Allah, ... insya Allah hamba bisa ikhlas!” batin Violita sambil berlinang air mata.
Violita segera memutar otak agar dua bulan ke depan, dirinya tidak benar-benar menjadi pengangguran. Violita harus bekerja agar dirinya tetap memiliki penghasilan.
“Kerja apa, ya? Buka praktek di sini? Eh ini mas Daniel belum pulang,” lirih Violita mendadak lemas.
Kenyataan Daniel yang memang belum sehat betul. Karena kaki kanannya saja pincang, memang membuat Violita sangat khawatir. Violita bahkan merasa sangat kasihan kepada Daniel. Apalagi Violita sadar, hidup tanpa dukungan bahkan itu dukungan dari orang terdekat, sangat menyakitkan.
“Aku enggak tahu uang tabunganku tinggal berapa. Namun, aku benar-benar harus punya kesibukan.”
“Jualan gorengan, rames, dan sebagainya kali ya. Nanti bisa jualan ke teman-teman yang di puskesmas juga. Iya, gitu saja. Ini aku wajib beli wajan dan keperluan lainnya. Jalan kaki sajalah ke pasar buat ngirit ongkos!”
Violita benar-benar banting setir. Violita berniat jualan makanan dan nanti ia pasarkan ke puskesmas. Apalagi sejauh ini, belum ada yang jualan nasi. Andai pun ada tukang jualan gorengan, biasanya baru buka jika sudah agak siang.
“Insya Allah berkah,” batin Violita sambil terus melangkah di tengah terik yang sedang panas-panasnya.
Keputusan Violita ke pasar membeli bahan dan perabotan, juga membuatnya tak sengaja bertemu sang suami. Posisinya, keduanya benar-benar berdiri bersebelahan di depan mobil pick up hitam berisi semen.
Deru napas yang sangat ngos-ngosan dari sebelahnya dan membuat Violita teringat sang suami, menjadi alasan Violita menoleh—memastikan. Benar saja, itu sungguh suaminya. Kaus putih lengan panjang, maupun celana panjang warna hitam Daniel kuyup parah. Selain itu, wajah Daniel juga sudah sangat merah khas orang sedang kelelahan. Paling mencolok, ada dua kantong semen yang Daniel gendong di kedua pundaknya.
“M—mas ...?!” Kekhawatiran yang begitu besar membuat Violita tidak bisa untuk tidak menahan tangis.
“Enggak apa-apa, ... enggak apa-apa. Ini yang terakhir!” yakin Daniel, sementara ketika Violita memastikan ke mobil, di sana memang sudah tidak ada semen.
Sekitar sepuluh menit kemudian, akhirnya Daniel menghampiri Violita. Daniel membawa es dan juga jatah makanan untuknya, tapi Violita menolaknya.
“Buat Mas saja ... aku beneran kaget, Mas kerja keras banget!” sergah Violita. Ia berangsur duduk di salah satu teras ruko pasar, dan tentu saja kosong.
Daniel yang meluruskan tubuhnya berangsur menghela napas dalam. “Kalau enggak kerja keras ya enggak bisa makan. Yang kerja keras saja belum tentu bisa makan.” Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang dari hasil ia bekerja. Ada selembar uang lima puluh ribu dan selembar uang dua puluh ribu, selain beberapa receh kotor.
Hati Violita langsung terenyuh. Sementara ketika Daniel memintanya cuci tangan agar bisa menyuapi suaminya itu, ia juga tidak bisa untuk tidak menolak. Daniel berdalih, tangannya sulit bersih walau dicuci. Padahal kesibukannya menjadi membuat kedua telapak tangannya lecet parah. Hanya saja, Daniel sengaja menyembunyikannya dari sang istri.
“Nurunin semen tiga mobil penuh, cuma dihargai lima puluh ribu. Benar-benar butuh kerja keras banget. Eh tapi ketimbang kerja keras, yang namanya sabar juga sangat dibutuhkan!” batin Daniel yang sekadar bicara dalam hati saja, sudah tidak sanggup. Karena memang, sedari tadi sekadar minum saha, ia belum melakukannya. Karenanya, rasanya seperti memiliki nyawa tambahan ketika akhirnya Violita membantunya minum segelas besar berisi es teh.
“Kamu, ... masih mau kerja, kan?!” seru sang mandor dari seberang sana.
Daniel yang sadar itu ditujukan kepadanya, langsung mengangguk-angguk. Justru, Violita yang merasa keberatan.
“Besok lagi saja. Lihat, lama-lama wajah Mas pucat,” ucap Violita dan langsung membuat Daniel menatapnya.
“Si Vio sama sekali enggak mempermasalahkan apa yang aku lakukan. Dia sama sekali enggak malu pada keadaanku. Jarang-jarang ada wanita kayak gini,” batin Daniel tanpa sadar nyaris menghabiskan es tehnya.
“Aku mau lanjut kerja terlebih enggak semua orang boleh kerja di sini. Tadi saja, aku sampai ditolak,” ucap Daniel yang kemudian berkata, “Kamu sudah pulang kerja?” Pertanyaan tersebut juga yang membuatnya mengetahui, bahwa ulah Fathan membuat Violita direhatkan dari pekerjaan selama dua bulan ke depan. Rencananya, sang istri akan jualan makanan dan nantinya dipasarkan ke sekitar khususnya puskesmas. Di tambah lagi, tempat tinggal mereka juga dekat dengan klinik dan biasanya banyak pasien yang butuh makanan.
Violita sudah memiliki banyak rencana agar wanita itu tidak nganggur. Termasuk juga mengenai Violita yang ingin buka praktik di kontrakan.
Jujur, Daniel sangat ingin meminta Violita untuk tidak bekerja sekalian. Ia ingin Violita cukup bersantai menikmati hidup. Cukup Daniel saja yang bekerja. Masalahnya, pekerjaan Daniel sekarang, belum bisa membuat Daniel memintanya kepada Violita.
“Nanti kita ambil barang-barang praktekmu yang di rumah ayah kamu. Nanti aku buatkan tempat praktek buat kamu. Semuanya pasti ada jalan,” ucap Daniel yang sampai meminta alamat Fathan.
“Malam ini juga, ... aku akan memberinya pelajaran!” batin Daniel. “Aku pinjam hape kamu ada pulsanya, kan? Ada paket datanya? Kalau enggak ada, nanti beli dulu. Aku ingin menghubungi kerabatku.”
“Owh ... ternyata Mas Daniel masih punya kerabat?” lembut Violita sambil menyuapi Daniel menggunakan tangan kosong.
Jatah makan Daniel kali ini berupa nasi padang yang dari aromanya saja sangat nikmat.
“Kamu juga sambil makan. Maaf karena lagi-lagi harus serba dibagi dua. Karena andai aku atau kamu hanya makan sendiri, kita pasti enggak mau karena kita sama-sama khawatir,” ucap Daniel.
Ucapan Daniel barusan membuat Violita menatapnya takjub. “Enggak tahu kenapa, daru awal kenal ... pembawaan mas Daniel selalu berwibawa. Sikap Mas Daniel mencerminkan seolah dirinya memang orang berpendidikan, atau beliau memang bukan orang sembarangan,” batin Violita.
“Setelah ini aku mau lanjut kerja. Lumayan buat beli makan malam. Biar kita enggak terus-menerus menahan lapar,” ucap Daniel.
“Nanti kamu mau beli apa, beli saja. Tapi uangnya ada enggak? Beli nyicil dulu. Nanti aku yang bawa pulang. Taruh sini saja.” Daniel masih sibuk memberi arahan.
“Mau beli kompor, tapi paling yang satu sumbu. Soalnya kalau yang dua sumbu, takutnya tabunganku enggak cukup!” ucap Violita ragu sambil menyuapi dirinya sendiri meski tatapannya masih fokus ke kedua mata Daniel.
“Oh iya ... aku usahakan, aku bakalan kerja di sini sampai beres. Biar aku bisa jualan gorengan dan makananmu, ke sini juga. Lumayan tuh, ada dua puluhan lebih orangnya. Nanti aku bilang ke bosku!” Daniel menjadi sangat bersemangat. Semangat yang langsung menular kepada Violita.
Sorenya, menggunakan motor Violita, Daniel menuju rumah orang tua Violita. Jarak dari kontrakan mereka tinggal terbilang jauh. Apalagi, jalan ke rumah orang tua Violita masih banyak yang sedang direnovasi. Setelah setengah jam lebih mengarungi perjalanan dan itu saja ngebut, akhirnya mereka sampai.
Tak ada sambutan baik dari ibu sambung maupun bapak kandung Violita. Violita dan Daniel dibiarkan begitu saja. Padahal sebelumnya, ibu Rianty sempat antusias membukakan pintu. Tampaknya wanita itu berharap ada orang penting yang datang.
Papan praktik milik Violita juga sampai mereka bawa. Karena tetap tidak diperlakukan dengan baik, Violita dan Daniel memutuskan pulang ke kontrakan. Ditambah lagi, sikap baik mereka tak mendapatkan balasan. Namun karena kedatangan mereka ke sana, keduanya mendapatkan beberapa perabot rumah dan sebelumnya sempat Violita siapkan sebelum menikah.
Dari wajan, piring, baskom, tikar, kasur lantai, selimut, dan aneka koleksi bed cover. Yang mereka bawa benar-benar banyak. Untungnya, Daniel bisa mengangkut semua itu hingga mereka sampai kontrakan.
Barang-barang yang mereka bawa, membuat pengantin baru itu makin bersemangat. Semuanya langsung mereka susun, hingga kontrakan mereka jadi terasa lebih hidup.
“Alhamdullilah ... untung tadi enggak jadi beli wajan dan seperangkatnya. Cuma beli kompor gas dua tungku lengkap dengan tabungnya!” ucap Violita lirih. Daniel yang melihat itu langsung tersipu.