Bab 5. Kehidupan Rumah Tangga yang Sederhana

1224 Kata
Kedua ransel milik Violita, Violita letakan di sudut ruangan. Di kontrakan mereka tersebut sama sekali belum ada perabotan dan memang masih kosong. Ruangannya pun hanya ada satu dan ukurannya 5x3 meter. Kecilnya tempat tinggal mereka membuat Violita maupun Daniel jadi tidak bisa menghindar satu sama lain. Ditambah lagi, perasaan canggung jadi menyelimuti kebersamaan keduanya. Keduanya yang sekadar menatap saja sengaja selalu mereka batasi. Padahal kali ini, bukan kebersamaan mereka yang pertama. Sebelumnya, selama satu minggu terakhir, Violita sudah merawat Daniel dengan segenap jiwa. “Besok pagi aku akan kembali kerja. Di puskesmas depan, aku bekerja di sana,” ucap Violita benar-benar canggung. Violita masih belum berani menatap pria matang di hadapannya. Sampai saat ini, Daniel masih pincang dan kaki kanannya memang masih diperban menggunakan perban khusus. Melalui lirikannya Violita mendapati, Daniel yang duduk tepat di bibir pintu kontrakan langsung mengawasi suasana puskesmas yang ia maksud. Puskesmas yang Violita maksud ada persis di depan kontrakan mereka. Lebih tepatnya, kontrakan mereka ada di belakang puskesmas dan memang cukup jauh dari jalan raya. “Secepatnya aku juga akan kerja,” ucap Daniel. Tak peduli meski kini ia masih pincang, ia memang harus secepatnya mencari kerja agar ia bisa memiliki uang. Meski tiba-tiba saja, Daniel justru teringat Veronica. “Aku harus mencari Veronia!” pikirnya. Namun ketika tatapannya dihiasi wajah khususnya mata sendu Violita, keinginan tersebut menjadi meredup. Violita dengan segala dukanya akibat fitnah keji yang mengantarkan mereka ke pernikaha. Dirasa Daniel, wanita seperti Violita tak sepantasnya terluka. “Enggak adil banget buat Violita jika aku masih memikirkan Veronica. Namun …,” batin Daniel lagi yang benar-benar dilema. Tak bisa Daniel pungkiri, Veronica maupun Violita hadir dengan kisah yang nyaris sama. Kedua wanita tersebut sama-sama dengan sangat mudah menjadi bagian dari hidup seorang Daniel. Veronica sudah Daniel lamar dan berakhir hilang karena kecelakaan. Sementara Violita harus berakhir menikah dengannya setelah mereka mengalami kecelakaan. Terlepas dari semuanya, selama mereka bersama meski baru hitungan minggu, Violita begitu mengayominya. Violita tulus kepadanya. Padahal, Violita bisa saja meninggalkannya. “Mengenai itu ….” Violita sengaja menahan ucapannya. Ia menghela napas pelan kemudian menatap kedua mata Daniel. “Kenapa?” balas Daniel lirih dan langsung menyikapi Violita penuh keseriusan “Mengenai pernikahan kita. Jika Mas merasa keberatan menikahiku. Mas tidak menghendaki hubungan kita ada. Aku membebaskan Mas. Jadi, kapan pun Mas mau, … Mas boleh meninggalkanku,” ucap Violita berat. “Kita sama-sama tahu, kita ini korban. Meski jujur saja, aku sempat curiga ke Mas. Bisa jadi, Mas bersekongkol dengan … astagfirullahaladzim. Mohon maaf, Mas. Untuk yang terakhir ini aku beneran minta maaf. Bukan bermaksud mengumbar aib apalagi memfitnah orang,” lanjut Violita yang kemudian pamit untuk membeli makan malam. “Benar-benar enggak adil kalau aku tetap membiarkannya berjuang sendiri,” batin Daniel yang kemudian berseru, “Tunggu, aku ikut!” Violita segera menoleh. “Kalau begitu, tolong kunci pintunya, Mas!” lembut Violita bergegas menghampiri Daniel meski ia sempat meminta pria itu menutup pintu. Selain Violita yang mengunci pintunya, wanita bercadar merah muda itu juga berangsur menggandeng Daniel. “Maaf, … aku hanya enggak mau Mas jatuh.” Karena sampai sekarang, kaki kanan Daniel masih pincang. Daniel terpana menatap Violita. Violita dengan segala perhatiannya sekaligus pengabdiannya kepadanya. Violita sungguh sempurna. Istri bahkan wanita idaman. “Beli makan buat kamu saja. Kamu enggak perlu beliin buat aku apalagi kalau pada kenyataannya, uangnya memang enggak ada,” ucap Daniel tanpa berani menatap Emelia. Ia hanya berani melirik Emelia. “Uangnya memang ngepas Mas,” sedih Violita. “Bagaimana kalau kita makan bareng saja? Enggak usah pakai lauk aneh-aneh, yang penting makan nasi?!” sergahnya mendadak bersemangat. “Cup … cup … cup. Kasihan banget sih pengantin baru yang satu ini. Mau makan pakai nasi saja sampai enggak bisa beli!” ucap Fathan yang ternyata tengah duduk di motor dengan Rindu. Fathan menggunakan motor gede warna merahnya. Pria muda itu membonceng Rindu yang menempel mesra ke punggungnya. Berbeda dengan ketika ke Violita dan Fathan selalu memaksa Violita memakai pakaian tertutup. Peraturan itu tampaknya tak berlaku untuk Rindu. Karena kini, Rindu justru jadi berpakaian lebih minim dari biasanya. “Astaga … ada memedi di sini. Harusnya dia laki-laki, tapi cara pikirnya mirip ibu-ibu lagi tantrum,” ucap Daniel sengaja menyindir Fathan. Daniel segera merangkul Violita untuk segera mencari tukang makanan terdekat. Namun, ia sungguh tidak menyangka jika ucapannya membuat Fathan nekat menabraknya. “Astagfirullahaladzim!” Violita histeris hingga para pria dan jumlahnya belasan yang awalnya ada di warung kopi depan berbondong-bondong datang. Akan tetapi, Fathan telanjur ngebut kabur dari sana. “Astagfirullahaladzim, ada orang seperti mereka!” kesal Violita. Awal ketahuan justru tanpa busana dan itu bersama Daniel di kamarnya, Violita merasa sangat bersalah kepada Fathan sekeluarga. Namun setelah sekian banyak balasan dari Fathan, Violita jadi mengoreksi rasa bersalahnya. “Andai memang dia kecewa, harusnya dia enggak terus-menerus begini. Apalagi dia sendiri sudah menikah dengan Rindu. Selain itu, dia bahkan sudah menghajarku, dan sampai sekarang bekas luka darinya masih ada. Mungkin yang seperti mas Athan yang disebut pria redflag ya?” pikir Violita. Ia segera memapah Daniek yang makin terpincang-pincang karena ditabrak Fathan. “Ya sudah, aku tunggu di sini. Kamu beli nasi di warung depan saja,” ucap Daniel benar-benar pasrah. Ia berangsur duduk di pinggir jalan dan berupa tanah penuh rerumputan. “Bentar yah, Mas. Aku beli makan dulu,” sergah Violita buru-buru pergi dari sana. Daniel yang masih deg-degan sekaligus ngos-ngosan karena menahan sakit akibat ditabrak Fathan, berangsur mengangguk melepas kepergian Violita. Namun, dalam hatinya Daniel berujar. Dirinya harus segera menghubungi anak buahnya agar ia juga segera mendapatkan bantuan. “Iya, secepatnya aku sungguh harus mendapatkan bantuan. Kasihan Violita kalau keadaannya terus begini!” gumam Daniel. Malamnya, baik Daniel maupun Violita jadi tidak bisa tidur. Karena jangankan tidur, sekadar memejamkan mata dan tentu saja itu hal yang sangat mudah, keduanya jadi tidak bisa. Baik Daniel apalagi Violita jadi deg-degan. Keduanya yang tidur hanya beralas dua kain jarit, berangsur saling lirik. “Apakah kita harus ngobrol dulu? Karena aku memang enggak bisa tidur,” ucap Daniel sengaja memulai obrolan. “Ah … iya ….” Violita yang benar-benar gugup berangsur mengangguk-angguk sambil tersenyum masam. Sampai detik ini, Violita yang menoleh sekaligus menatap sang suami, masih memakai cadar. Ia dapati, sang suami yang masih menjadikan ransel miliknya sebagai bantal kayaknya apa yang ia lakukan. “Gajian besok aku mau beli kasur sama bantal Mas,” ujar Violita dan benar-benar akan melakukannya. Daniel langsung mengangguk setuju. “Iya, ide bagus. Untuk sementara, kita seadanya dulu. Namun pagi besok juga, aku beneran mau langsung cari kerja!” sergahnya yang kemudian meminta Violita untuk merebahkan kepala di bahu kanannya. “Ransel itu terlalu tinggi buat kamu. Nanti yang ada tengkuk kamu sakit,” lanjut Daniel sambil memindah kepala sang istri dengan sangat hati-hati ke bahu kanannya. Selama proses itu terjadi, Violita tidak berani menatap bahkan sekadar melirik kedua mata sang suami. Bahkan, Violita sampai menahan napasnya hanya agar tidak mengganggu sekaligus tampil sempurna di sebelah suaminya. “Mendadak aku berpikir, mas Daniel yang dari tampang terlihat gagah—bengis. Nyatanya bisa menperlakukanku dengan jauh lebih manusiawi bahkan … lembut,” batin Violita. “Kita bisa pakai kain bekasmu buat jadi selimut kita,” ucap Daniel yang meski mengatakan bahwa kain jarit itu untuk mereka. Pada kenyataannya, ia hanya menyelimutkannya kepada Violita yang amat sangat ia jaga. “Masya Allah … ini manis banget!” batin Violita jadi berdebar-debar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN