8. Semuanya Karena Violita

1425 Kata
“Mas Daniel enggak punya rasa lelah apa gimana?” batin Violita lantaran sang suami masih saja beres-beres menyiapkan ruang praktiknya. Papan pengumuman praktik milik Violita sudah dipasang. Ruangan praktik juga dihiasi meja dan dua kursi plastik. Satu kursi untuk Violita, satunya lagi untuk pasien. Sementara untuk pemisah ruangan, Daniel sudah memasang tirai merah yang mereka ambil dari kamar Violita. Sebelumnya, Violita memang sudah membeli banyak kebutuhan sekaligus perlengkapan rumah tangga. Karena seperti peraturan dari pak Nendar semenjak pria itu menikah lagi, setelah Violita menikah, Violita diwajibkan meninggalkan rumah. “Sudah malam, Mas. Lebih baik Mas istirahat. Itu sisanya dikerjakan besok saja. Apalagi kan kata Mas, besok Mas masih kerja. Memangnya Mas enggak capek?” lembut Violita sambil menatap khawatir sang suami. Daniel bahkan masih memakai pakaian yang sama dengan seharian ini karena memang, Daniel belum mandi. Tadi sekitar pukul tujuh sore, Daniel hanya istirahat untuk makan bersama Violita. “Hanya kasih air putih, Mas. Mau kasih Mas kopi, takut Mas makin enggak bisa tidur akibat kandungan kafeinnya,” ucap Emelia sambil memberikan segelas air putih kepada Daniel. Daniel langsung tersenyum dan sedikit membuat Violita gugup. “Terus, Mas tetap mau pergi karena sekarang anginnya sudah sekencang ini?” lembut Violita lagi. Daniel mengawasi sekitar. Selain itu, ia juga baru saja menyadari bahwa aroma tanah kering khas akan turunnya hujan, tercium sangat kuat. “Sepertinya akan turun hujan dalam waktu dekat,” ucap Violita yang juga mengabarkan, bahwa malam ini merupakan malam Jumat kliwon. “Ada apa dengan malam Jumat kliwon? Kamu percaya ke hal-hal gaib juga?” balas Daniel sambil tersenyum menatap sang istri. Violita langsung mengangguk-angguk. “Percaya dong Mas. Karena di agama kita pun disebutkan ada.” Tak lama setelah Violita berucap, ada petir yang menyambar disertai angin yang berembus sangat kencang. Violita refleks meraih sebelah tangan Daniel kemudian menuntun suaminya itu masuk. “Bawa gelasnya masuk. Motormu belum dimasukin ke kontrakan,” sergah Daniel. Sambil menatap cemas sang suami, terlebih hujan sudah langsung turun sangat deras, Violita berkata, “Hati-hati ya Mas. Apa aku bantu saja?” Alih-alih masuk, Violita yang menaruh asal gelas bekas Daniel minum, di teras, justru membantu Daniel mendorong motor. “Seumur-umur aku baru tahu ada wanita selembut Violita. Hatinya beneran bersih,” batin Daniel. Setelah membantunya, kini Violita sampai jongkok di hadapannya memastikan kaki kanannya. “Beneran enggak apa-apa? Soalnya tadi aku lihat, kaki kanan Mas kesleo. Ya sudah, sekarang Mas mandi dulu. Habis itu, rendam kaki Mas pakai air panas dan sedikit garam,” ucap Violita seiring ia yang berdiri. Hati seorang Daniel meleleh karena perhatian sang istri. “Ya sudah, ... kamu juga ganti baju ya. Takutnya kamu malah masuk angin.” “Iya, Mas. Bentar, aku siapin pakaian buat Mas.” Selain sampai menyiapkan pakaian ganti, Violita juga berdalih, bahwa dirinya sengaja membeli beberapa pakaian untuk Daniel. “Ih, ngapain kamu beli pakaian banyak-banyak buat aku?” protes Daniel. “Karena Mas enggak mungkin pakai gamis aku! Masa iya, Mas enggak ganti?” balas Violita sambil menatap sebal Daniel. “Ya sudah, makasih banyak, ya!” ucap Daniel tulus, meski ketulusan sang istri juga membuatnya merasa bersalah. Saling melengkapi menjadi gambaran dari hubungan Daniel dan Violita. Ketulusan Violita yang sampai jongkok hanya untuk merendam kaki Daniel, makin membuat Daniel menjatuhkan hatinya kepada wanita itu. Daniel duduk di kursi plastik, sementara Violita duduk sia di lantai. “Apa yang membuatmu begitu peduli kepadaku?” tanya Daniel sambil menatap teduh kepala Violita. Namun karena wanita itu sudah menengadah hanya untuk menatapnya, akhirnya tatapan mereka bertemu. “Karena Mas suamiku. Mas satu-satunya yang aku punya. Aku harap kita bisa sama-sama selamanya bahkan, ... hingga di kehidupan mendatang,” jujur Violita. Balasan dari Violita membuat d**a Daniel bergemuruh. Kedua mata Daniel juga terasa panas sekaligus basah. “Jika memang begitu, ... maaf karena aku belum bisa menjadi suami yang sempurna. Maaf karena aku masih selalu merepotkan kamu!” “Enggak apa-apa, Mas. Siapa sih yang mau sengaja merepotkan orang? Keadaan membuat kita harus begini. Sementara sampai kapan pun, roda kehidupan terus berputar. Meski aku juga enggak mau merepotkan siapa pun, termasuk merepotkan Mas. Nanti, andai aku jatuh, ... andai aku jatuh, tolong jangan tinggalkan aku.” Berkaca-kaca, Violita menatap kedua mata Daniel. Kedua mata itu juga tak kalah basah dari kedua matanya. Di tengah kedua matanya yang basah, tangan kanan Daniel meraih ubun-ubun Violita. “Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Sumpahku, aku akan selalu membahagiakanmu. Jadi, andai aku menyakitimu atau setidaknya aku melakukan hal yang tak berkenan buat kamu, ... tolong ingatkankan!” Bukan hanya Daniel yang menitikkan air mata. Karena obrolan hangat mereka juga membuat Violita berderai air mata. “Bismillah ya Mas. Semoga kita selalu sehat. Andaipun sampai harus sakit, ... bissmillah masih bisa diobati. Namun, andai pahitnya aku sakit dan meninggal lebih dulu. Tolong banget ya Mas. Tolong jangan nikah lagi. Karena ayahku berubah dan enggak peduli lagi ke aku semenjak ayah menikah lagi!” Violita tersedu-sedu dan menyandarkan dahinya di kedua lutut Daniel. “Iya ... si pak Nendar memang kebangetan. Dia juga wajib dapat pelajaran. Malam ini si Fathan memang lolos karena mendadak hujan. Namun besok malam, kalian semua yang dengan sadar melukai Violita, akan mulai mendapatkan ganjarannya!” batin Daniel sambil mengusap-usap kepala Violita menggunakan kedua tangannya. Di tempat berbeda, di tengah suasana yang gelap karena mendadak mati lampu, pak Nendar yang sedang bapil, refleks memanggil-manggil Violita. “Nyalakan lilin sekalian bikinin Ayah wedang jahe. Tenggorokan Ayah sakit banget,” ucap pak Nendar sambil melangkah pelan meninggalkan kamar. Ia menggunakan senter ponsel untuk menyorot suasana di sana. Di belakang pak Nendar, ibu Rianty dengan sinisnya berkata, “Si Violita sudah enggak di sini. Masa iya, kamu lupa kalau putri kebanggaanmu kepergok zina di hari pernikahannya. Iya kalau laki-lakinya berkualitas. Cuma laki-laki pincang tanpa identitas. Mending juga rindu, dapat suami perawat, anak kades, yang juga anak juragan tanah. Sudah bisa dipastikan, masa depan Rindu pasti sangat cerah!” Mendengar itu, pak Nendar langsung berhenti melangkah. Pak Nendar langsung ingat, bahwa Violita memang telah menorehkan aib tak terlupakan. Aib yang juga masih menjadi bahan perbincangan hangat oleh para tetangga. Fatalnya sore tadi, Violita datang bersama sang suami. Hingga tetangga yang melihat makin menjadikan aib Violita dan Daniel, sebagai bahan gibahan panas. “Ya sudah, Bu. Tolong buatkan aku wedang jahe. Sekalian buatin mi rebus. Seharian ini, ibu kan enggak masak lagi,” mohon pak Nendar. “Ih, apaan? Malam-malam mati lampu, suruh masak? Dikiranya aku pembantu? Mending juga Ayah yang sekalian bikinin buat aku!” balas ibu Rianty. “Astagfirullahaladzim, ... kok kamu malah bilang gitu, sih? Ya sudah, ayo kita sama-sama buat,” ucap pak Nendar, tapi lagi-lagi, sang istri menolak. Andai masih ada Violita, pasti pak Nendar tidak telantar—pikir pak Nendar yang malah makin nelangsa akibat penolakan ibu Rianty. Di tempat berbeda, Rindu juga tengah dibuat gondok. Karena lagi-lagi, di percintaan panas yang ia lakukan bersama sang suami. Fathan terus saja menyebut nama Violita. Nama Rindu tak pernah sekalipun Fathan sebut bahkan di desahan paling lirih. Ingin marah, Fathan jauh lebih berkuasa. Jadi, sedongkol-dongkolnya Rindu pada nasibnya, lagi-lagi yang Rindu salahkan masih Violita. “Awas saja kamu Lita. Bisa-bisanya kamu jadi duri dalam rumah tanggaku! Bisa-bisanya suamiku belum move on dari kamu!” rutuk Rindu dalam hatinya. “Kamu kok kaya balok sih, enggak ada ekspresinya sama sekali?!” kesal Fathan langsung meninggalkan Rindu begitu saja. Fathan masuk ke dalam kamar mandi. Kenyataan yang membuat Rindu makin gondok. Masalahnya, kekecewaan Rindu tersebut lagi-lagi Rindu tujukan kepada Violita. “Aku beneran harus bikin pelajaran ke Violita. Besok juga, aku harus samperin ke puskesmas!” batin Rindu. Padahal yang sedang dibicarakan dan itu Violita, tengah melangkah hati-hati di punggung sang suami. Ketika suara pletuk terdengar, Violita langsung histeris dan buru-buru turun dari punggung sang suami. “Enggak apa-apa, enggak ada yang patah tulangku. Tubuhmu ringan, kok!” yakin Daniel menertawakan Violita. Ia tetap bertahan tengkurap di pinggir tembok agar sang istri bisa menginjak-injak punggungnya dengan leluasa. “Serius, Mas, enggak apa-apa?” tanya Violita yang sampai detik ini masih memakai cadar. Malam-malam, hujan angin bahkan disertai dengan petir. Fatalnya, sudah berjam-jam, mati lampu tak kunjung berakhir. Tepat ketika petir menggelegar dan terdengar sangat mengerikan, Violita yang masih menginjak-injak punggung sang suami histeris. Violita buru-buru turun dan Daniel segera menangkapnya ketika istrinya itu nyaris terjatuh. Kegelapan yang hanya menjadikan kilat petir sebagai cahaya menjadi saksi. Situasi tanpa direncanakan barusan, membuat tubuh Violita menindih tubuh Daniel, sementara kedua mata mereka bertautan erat. Seolah, ada hal khusus yang ingin kedua sejoli itu sampaikan. Hanya saja, keduanya terlalu gugup untuk memulainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN