Bab 6

2060 Kata
Pria berambut pirang mengenakan kupluk itu tak hanya sekali dua terlihat di area pemakaman, tetapi sudah beberapa kali. Kata Papa, beliau juga pernah melihatnya berjalan menjauhi makam. Mungkin pria itu tengah mencari makam keluarganya, atau yang lainnya, tidak ada yang tahu. Papa terlalu malas bertanya kepada petugas penjaga makam. Itu yang dikatakan Papa padanya saat mereka makan siang tadi. Sepasang alis Jeremia berkerut tajam, pria itu benar-benar membuatnya penasaran. Dia yakin mengenal pria itu, tetapi di mana mereka pernah bertemu dia masih belum ingat. Jika saja dia dapat melihat wajahnya secara keseluruhan, mungkin dia akan dapat mengingat pertemuan mereka. Sepertinya dia harus menyapa pria itu dan memintanya untuk melepas topi kupluk dan kacamata hitamnya agar dia mudah mengenali. Memang terdengar sangat tidak sopan, tetapi dia tetap harus melakukannya. Demi ketenangan dan konsentrasinya dalam bekerja awal pekan nanti. Itulah salah satu alasannya kenapa ingin menginap. Dia memang sangat ingin memperbaiki hubungannya dengan papanya, dan itu tidak bisa dilakukan hanya dalam satu hari. Setidaknya dia memerlukan waktu dua atau tiga hari. Dia harus menginap agar dapat mengobrol dengan santai. Terlalu banyak hal yang sudah mereka lewatkan. Jeremia menarik napas panjang, mengembuskannya dengan pelan melalui mulutnya. Sudah agak sore, sinar matahari tak lagi seterik tadi siang. Sepertinya dia harus kembali ke makam, tetapi sebelumnya dia akan singgah dulu ke kedai pizza terbaik di kota ini. The Japizz tetap menjadi yang terbaik meskipun kedai pizza lainnya bermunculan. Tidak ada satu pun yang bisa menandingi kelezatan pizza buatan Mr. James. Lagipula, sudah terlalu lama dia tidak berkunjung, sepertinya tidak ada salahnya menyapa Catherine yang sudah menjadi manajer menggantikan Mr. James, si pemilik kedai. Dengan malas Jeremia berdiri, menyeret kakinya menuju lemari pakaian untuk mengambil kardigan. Sekarang sudah mulai memasuki musim gugur, cuaca kadang ektrem. Bisa saja langit cerah, beberapa menit kemudian mendung tebal menggelayut. Benar-benar tidak bisa ditebak. Sebuah kardigan rajut berwarna hitam menjadi pilihannya. Jeremia melangkah ke arah nakas sambil mengenakannya, menyambar kunci mobil yang diletakkannya di sana beserta ponsel dan dompetnya. Sebenarnya dia tidak terlalu memerlukan dompet karena transaksi sekarang lebih sering menggunakan uang digital. Namun, dia tidak terbiasa. Meskipun hanya perlu mendekatkan layar ponsel pada mesin pemindai, ke mana-mana tetap saja dia membawa dompet. Di anak tangga paling bawah Jeremia bertemu dengan Corazon Sylvestra. Wanita berkulit hitam eksotis yang sudah bekerja di rumahnya selama puluhan tahun. Tubuhnya dipenuhi lemak, bibir tebal berwarna tan yang tak pernah tersentuh pewarna bibir. Corazon adalah wanita sempurna di mata Jeremia. "Kau akan pergi lagi, Sayang?" tanya Corazon. Dia yang ingin ke dapur menghentikan langkahnya, menunggu Jeremia untuk turun. Jeremia mengangguk. "Aku akan mengunjungi The Japizz," jawabnya tersenyum. "Setelah itu singgah di makam sebentar. Aku belum mendoakan Jordan dan calon anak kami." Corazon tersenyum lirih, merasa sangat kasihan pada wanita muda yang dulu selalu ceria sekarang berubah seperti ini. Dia.juga kagum pada keteguhan hati Jeremia yang memutuskan ingin sendiri sampai dia dapat melupakan Jordan dan bayi mereka. Namun, bagaimana bisa Jeremia melupakan Jordan sementara dia selalu mengunjungi makamnya setiap akhir bulan. "Kau tidak akan pulang larut malam, bukan?" tanya Corazon lagi, matanya menyipit. "Tidak!" Jeremia menggeleng. "Aku akan makan malam di rumah," katanya tertawa kecil. Corazon mengancamnya melalui tatapan matanya itu. "Aku akan makan malam bersama Papa. Ada banyak hal yang perlu kami bicarakan." Senyum Corazon terbit dengan lebar. Dua sangat senang Jeremia akhirnya mau kembali ke rumah ini dan berdamai dengan segala hal. Sudah terlalu lama wanita ini mengurung dirinya dalam dunianya sendiri. Dia tahu alasan Jeremia menghindar dan tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Sedikit banyaknya, Jeremia menyalahkan ayahnya atas apa yang terjadi padanya. Jeremia menyalahkan papanya yang tidak menyetujui hubungannya dengan Jordan dan malah mendukung Matt dan ayahnya menyakiti Jordan. Tidak masuk akal memang, dan sedikit kejam. Sebab, Tuan Armando tidak mengetahui sepak terjangnya keluarga Jackson di belakangnya. Tuan Armando hanya melihat dari luar saja, tidak tahu menahu dengan apa yang dilakukan oleh keluarga Jackson jika tidak sedang bersamanya. Tuan Armando adalah seorang yang sangat sibuk mengurusi bisnis dan perkebunannya. Setahunya, beliau juga merupakan korban dari Raydwn Jackson yang merupakan pengacaranya. Armando Rodriguez mengira Rayden bersikap tulus padanya, padahal pria jahat itu hanya menipu. "Sayang, Bibi sangat senang mendengarnya. Ayo, peluk Bibi sekarang!" pinta Corazon sambil membentangkan kedua tangannya lebar. Jeremia menuruti permintaan wanita yang sudah berjasa banyak bagi dirinya. Senyumnya merekah sempurna melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata karamel Corazon. "Selanat datang kembali, Sayangku!" Corazon mengurai oekukan, menghujani wajah cantik heremua dengan kecupan. "Bibi akan menyiapkan kudapan untukmu dan ayahmu, teman kalian memgobrol nanti." Jeremia mengangguk. Dia juga ingin segera pergi ke kedai The Japizz untuk menemui Catherine. Dia yakin sahabatnya itu pasti terkejut, sudah sangat lama mereka tidak bertemu. Terakhir saat ulang tahun Shanon yang dirayakan di salah satu klub di Manhattan setengah tahun yang lalu. "Sampai bertemu saat makan malam, Bibi Corazon!" Jeremia melambaikan tangan pada Corazon yang mengantarnya sampai di depan undakan teras, saat sudah berada di belakang setir mobilnya. Kemudian melaju meninggalkan halaman luas kediaman Rodriguez. *** Sama seperti yang terjadi di setiap kedai restoran cepat saji, The Japizz juga sangat ramai saat menjelang sore seperti ini. Anak-anak sekolah yang baru pulang dari sekolah mereka memadati setiap meja yang ada. Hanya ada beberapa meja kosong yang tersisa, itu pun sepertinya sudah terisi juga. Ada beberapa barang di atas meja yang bukan merupakan perlengkapan untuk memakan pizza. Melihat itu semua, mau tak mau membuat Jeremia teringat kembali dengan masa remajanya. Dulu, setalah tahu Jordan bekerja di The Japizz, dia dan teman-temannya jadi semakin sering berkunjung dan makan di sini. Dengan santai Jeremia melangkah lebih dalam, lebih baik dia menemui Catherine di ruangannya daripada di ruang makan utama yang sangat ramai. Mereka tidak akan bebas mengobrol karena terganggu suara berisik para remaja itu. Seorang pelayan laki-laki menghampiri Jeremia, menghentikan langkahnya untuk menemui Catherine di ruangannya yang berada di bagian dalam kedai. Pelayan berambut hitam itu merasa heran melihat Jeremia yang dengan santainya melenggang menuju bagian dalam kedai. Sebagai seorang yang bekerja di sini, ia merasa menjaga keamanan sudah menjadi bagian dari pekerjaannya. Meskipun Jeremia tudak terlihat mencurigakan, tidak ada salahnya jika ia bertanya, bukan? "Maaf, Nyonya. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu sopan. "Sepertinya Anda tersesat, atau sedang mencari sesuatu?" Jeremia menaikkan sebelah alisnya, menatap pelayan itu tidak terlalu suka. Menurutnya, pelayan laki-laki ini sudah bersikap lancang dengan menghentikan langkahnya. Namun, meskipun tidak menyukai pria itu yang dianggapnya lancang, Jeremia tetap mengakui jika pria tersebut juga sangat sopan. Yang membuatnya memberi penilaian lancang hanyalah pria itu yang menegurnya secara tiba-tiba. "Aku ingin bertemu Catherine, apa dia ada?" tanya Jeremia setelah berdeham satu kali. Pelayan pria berusia kira-kira dua puluh tahun itu mengangguk, menjawab pertanyaan Jeremia. "Ada, Nona Catherine berada di ruangannya. Apakah perlu saya panggilkan?" Jeremia menggeleng. "Tidak perlu, aku akan menemuinya sendiri," sahutnya. Namun, sebelum Jeremia kembali melangkahkan kaki, pelayan laki-laki itu menahannya lagi. "Maafkan saya, Nyonya, tetapi Nona Catherine tidak bisa diganggu," katanya memberi tahu." Jeremia berdecak. Dia ingin tahu, apakah benar Catherine berkata seperti itu. Apakah benar Catherine memang tidak bisa diganggu meskipun olehnya? Jeremia mengembuskan napas panjang melalui hidungnya. Cuping hidung mancungnya sedikit bergerak karena embusan yang sedikit kuat. "Benarkah?" tanya Jeremia menahan kekesalannya. "Siapa yang mengatakan dia tidak bisa diganggu, kau ataukah Catherine sendiri? Asal kau tahu, aku datang ke sini bukan untuk mengganggunya, aku hanya ingin mengunjunginya." Pelayan pria yang Jeremia tidak tahu namanya tetap tidak mengizinkannya untuk menemui Catherine. Sampai sebuah suara menghentikan perdebatan kecil di atara mereka, suara yang sangat dikenali Jeremia. Meskipun mereka lama tak bertemu, dia tidak akan lupa pada suara Tim. "Jeremia?" Tim menatapnya dengan tak percaya. "Astaga, kau memang Jeremia!" serunya setelah berdiri di depan wanita berambut cokelat gelap itu. "Kupikir tadi aku salah mengenali orang, aku tidak menyangka jika ini benar-benar kau!" Tim memeluk Jeremia, tertawa kecil sambil menepuk punggungnya. Sudah sangat lama ia tidak pernah melihatnya di kedai ini lagi. Terakhir adalah saat pesta kelulusan kuliah mereka lima tahun yang lalu. Tim mengerti, Jeremia memiliki alasan yang kuat untuk tidak ke sini lagi. Dia tak ingin kembali terpuruk seperti dulu lagi karena seluruh kedai ini mengingatkannya pada Jordan. Sebenarnya tak hanya Jeremia yang seperti itu. Mereka —teman-teman Jordan— juga merasakan hal yang sama. Bukan hanya kedai ini saja, tetapi hampir seluruh sudut kota mengingatkan mereka padanya. Oleh sebab itu, sebagian dari mereka memilih untuk tidak lagi tinggal di Brandville lagi dan memilih untuk menetap di Manhattan, atau kita lainnya. Hanya dirinya dan Catherine, juga Zack dan beberapa yang lainnnya yang masih menetap di sini. "Halo, Tim, senang bertemu denganmu lagi!" balas Jeremia setelah pelukan mereka terurai. "Sangat menyenangkan karena kau masih mengenaliku." Jeremia tertawa, geli melihat Tim yang berubah nyaris seratus delapan puluh derajat. Wajah datar yang menjadi ciri khasnya ketika mereka.maaih di sekolah dulu, sudah tak lagi tampak. Sepertinya Catherine benar-benar berhasil menjatuhkan hatinya. Tim mengangguk. "Siapa yang bisa melupakan seorang Jeremia Rodriguez? Kau adalah ratu di sekolah kita." "Dulu!" sambung Jeremia. Dia menggelengkan kepala. "Sekarang posisiku itu sudah digantikan." "Kupikir tidak seperti itu." Tim mengedikkan bahu. Dengan santai ia duduk di salah satu meja yang kosong Pengunjung yang menempatinya sidsh pergi beberapa detik yang lalu. "Para siswa masih mengingatmu. Foto-fotomu masih terpajang di salah satu lemari kaca di sekolah kita." "Menakjubkan!" Jeremia mengedikkan bahu acuh. Dia sama sekali tidak tertarik dengan semu itu. "Jadi, apa yang membawamu hingga sampai di The Japizz?" tanya Tim kembali pada pertanyaan awal yang seharusnya ia tanyakan. "Aku bukan krena kau inginkan n mengenang masa lalu karena jujur saja, aku tidak ingat n mengenangnya." Jeremia menggeleng. Dia meletakkan tas selempangnya di atas meja di depan Tim, menarik kursi dan mendudukinya. Sebelum sebuah suara menginterupsi gerakannya. "Jeremia!" Tak hanya Jeremia yang menoleh mendengar seruan itu, Tim juga mengikutinya. Mereka tersenyum saat mengetahui Catherine sudah berada dalam jarak tiga meter dari mereka. "Astaga, kau memang Jeremia!" Catherine kembali berseru heboh. Dia langsung memeluk Jeremia setelah berada tepat di depannya. "Kapan kau tiba?" tanyanya setelah melepaskan pelukan. "Beberapa menit yang lalu." Jeremia melirik pelayan laki-laki yang berdiri di belakang Catherine. Wajah pelayan itu pucat, sepertinya dia yang tadi memanggil Catherine, dan memberi tahu keberadaannya. "Kau bisa bertanya pada pria itu!" Jeremia menunjuk pelayan itu dengan menggerakkan dagunya. "Dia melarangku untuk bertemu denganmu," katanya tersenyum manis. "Astaga, benarkah itu?" tanya Catherine tidak percaya. Dia menoleh ke belakang, di mana pelayan yang tadi berada. "Kenapa kau lakukan itu?" tanyanya dengan nada suara meninggi membuat para pengunjung kedai menatap ke arah mereka. "Tidakkah kau tahu siapa dia?" Melihat keadaan yang tidak terlihat baik, Jeremia menarik tangan Catherine. "Hei, Cath, kupikir sebaiknya kita mengobrol di ruanganmu saja. Benar, 'kan, Tim?" Dia menoleh ke belakang, menatap Tim meminta persetujuan. Tim mengangguk. Ia berdiri, memeluk pundak tunangannya lembut. Catherine bisa meledak kapan saja, dia bukan wanita yang bisa dengan mudah mengendalikan emosi bila menyangkut teman-temannya. "Asal kau tahu saja, Jasper. Jeremia Rodriguez adalah menantu dari pemilik tempat kau bekerja ini!" Catherine meninggalkan ruang makan utama kedai setelah mengatakan itu, tak memedulikan bagaimana pucatnya wajah Jasper, pelayan laki-laki yang tadi mengadukan padanya bahwa ada seorang wanita tak dikenal berpelukan dengan tunangannya. Jeremia hanya menatap Jasper dengan sebelah alis terangkat. Dia mengikuti Catherine dan Tim yang sidsh lebih dulu menuju ruang kerja wanita itu. *** Tak ada yang berubah di The Japizz. Jeremia meninggalkannya beberapa saat setelah mengobrol, dia membawa pulang sekotak besar pizza, hadiah dari Catherine karena mereka sudah lama tidak bertemu. Jeremia meninggalkan pizzanya di dalam mobil bersama bersama barang-barang yang tidak diperlukan lainnya, saat berada di pemakaman. Dia hanya membawa dua buket bunga mawar putih seperti tadi pagi. Jeremia tersenyum, meletakkan masing-masing buket di dua makam yang berbeda, makam yang tadi pagi sudah dikunjunginya, makam Jordan dan calon anak mereka yang berjenis kelamin laki-laki. "Halo, Sayang, Mama datang lagi," sapa Jeremia setelah meletakkan buket bunga di atas makam putranya. "Maafkan Mama tadi pagi hanya sebentar menemuimu." Jeremia mengusap batu nisan yang berukuran lebih kecil dari batu nisan di sebelahnya. Bulir-bulir air matanya meluncur deras tanpa ada keinginan untuk mengusapnya. Percuma saja karena air matanya tidak akan berhenti mengalir kecuali dia sudah menumpahkan semuanya. Dadanya akan kembali lega setelah semua air matanya tercurah. Jeremia bangkit, dan terkejut melihat pria bertopi kupluk dengan kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya berada tak jauh di belakangnya. Jarak mereka hanya beberapa kaki "Jordan Alexiel Collins." Pria itu bergumam dengan suara yang masih bisa didengar oleh Jeremia yang membelalak tak percaya mendengarnya. Bukan karena pria itu menyebut nama tunangannya, melainkan karena suara itu yang sangat dikenalinya. Suara itu adalah suara.... "Jordan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN