Angin musim gugur terasa sedikit lebih dingin daripada musim semi dan musim panas. Jeremia merapatkan kardigan yang melekat di tubuhnya untuk menghindari dingin. Angin yang berembus lembut menerbangkan anak-anak rambutnya yang hanya digelung asal ke atas tinggi-tinggi. Embusan angin juga yang membuatnya dapat mendengar gumaman pria yang ditemuinya tadi pagi. Meskipun tidak terlalu jelas, tetapi dia dapat mengenali suara itu walau di tengah keramaian sekalipun. Suara yang tidak akan pernah dilupakannya, Iya, suara itu adalah suara Jordan, yang terdengar sedikit lebih besar khas suara pria dewasa.
Jarak mereka hanya beberapa kaki, tak sampai satu meter. Tak ada siapa pun di pemakaman ini selain mereka, hanya ada angin yang menemani. Oleh sebab itu, suaranya menggumam dapat ditangkap dengan jelas. Memang samar, tetapi dia dapat menangkap kata-kata yang diucapkannya dengan sangat jelas.
Sepertinya pria itu tidak menyadari kedatangannya, dia terlihat sangat fokus menatap ukiran nama di batu nisan makam Jordan. Jeremia mendekat dengan perlahan dan sangat hati-hati, dia tak ingin pria yang berdiri di depannya mengetahui kehadirannya. Jujur saja, dia ingin mengagetkannya, kemudian bertanya apa yang dilakukannya di makam Jordan.
Keringat membasahi pelipis Jeremia, dadanya bergemuruh karena jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat. Jeremia menyadari, seharusnya dia tidak melakukan ini, tetapi dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang seolah bergerak sendiri untuk mendekat.
Dengan lutut lemas dan tubuh bergetar, Jeremia berdiri tepat di belakang pria itu. Percayalah, dia membutuhkan waktu dan keberanian yang sangat banyak untuk bisa berdiri di tempatnya sekarang. Jarak yang hanya beberapa kaki terasa seperti berpuluh-puluh kilometer. Jeremia meringis menyadari tinggi tubuhnya yang berbeda jauh dengan pria bertopi kupluk, tingginya hanya sebatas punggungnya. Astaga! jeremia baru menyadari bahwa dia sependek itu, seakan tinggi badannya tidak pernah bertambah.
Jeremia mengangkat tangannya, berusaha tanpa menimbulkan suara. Sekali lagi, dia tak ingin kehadirannya diketahui pria ini. Jeremia tersenyum lega, dia diuntungkan dengan sinar matahari yang sudah bergulir ke ufuk barat, sehingga pria itu tidak melihat bayangannya yang memanjang ke arah timur.
Pemakaman memang berada di sebelah barat. Posisi kepala setiap makam juga menghadap ke arah barat, maka dari itu bayangan mereka condong ke belakang –ke arah timur.;
Tangan yang terangkat kembali turun ke sisi tubuhnya. Jeremia menahan napas, pria itu kembali berbicara. Kini, dia dapat mendengar dengan sangat jelas suaranya, dan sangat yakin jika suara itu adalah suara Jordan.
"Jordan Alexiel Collins. Nama yang sangat indah, tetapi memiliki nasib yang begitu pahit." Pria itu menundukkan kepala. Ia melepas kacamata hitamnya. "Kau seolah dipermainkan oleh waktu."
Pria itu terkekeh. Jeremia waspada kalau-kalau pria di depannya bukanlah orang yang baik. Kedua tangannya mengepal kuat, keringat dingin semakin membanjiri tubuh mungilnya yang dibungkus kardigan sepanjang lutut. Tubuhnya bergetar hebat dengan detak jantung yang berpacu. Jeremia tersengal, dia tidak kuat lagi. Bulir-bulir air mata meluncur di pipinya tanpa dia sadari. Cairan bening itu jatuh dengan sendirinya. Dia benar-benar kehilangan kendali atas dirinya.
Semua yang berhubungan dengan Jordan memang selalu membuatnya tak bisa mengendalikan diri. Terkadang, pikiran untuk mengakhiri hidupnya masih datang, meskipun tidak sesering dulu. Namun, dia selalu mendapatkan kesadaran di detik-detik terakhir. Seperti saat ini, di detik terakhir baru Jeremia menyadari bahwa Jordan tidak mungkin hidup lagi. Pria di depannya ini tidak mungkin Jordan, pria yang dicintainya sudah tewas dua belas tahun lalu.
Dengan kesadaran itu, Jeremia memutar tubuhnya. Dia urung untuk mengunjungi dua orang laki-laki kesayangannya, dia akan mengunjungi mereka besok pagi saja, saat suasana hatinya sudah membaik. Dia perlu menenangkan dirinya sekarang.
Jeremia mengusap air matanya kasar. Melangkahkan kaki bermaksud meninggalkan makam Jordan dan putra mereka. Namun, baru satu langkah dia menjauh, sebuah suara yang memanggil namanya menginterupsi.
"Jeremia?"
Mata biru Jeremia melebar. Dia seakan mendengar Jordan memanggil namanya. Bulir-bulir bening kembali menuruni pipinya. Jeremia menundukkan kepala, menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkah. Dia yakin tengah berhalusinasi karena kelelahan setelah menempuh jarak ratusan kilometer.
Akan tetapi, lagi-lagi dia mendengarnya, suara Jordan kembali memanggil namanya. Kali ini dibarengi dengan pertanyaan.
"Kau Jeremia? Benar kau Jeremia, 'kan?"
Suara itu terdengar mendekat, seiring dengan suara langkah kaki yang membuat Jeremia menyadari jika dia tidak sedang berkhayal. Perlahan Jeremia memutar tubuhnya, dan sekali lagi matanya melebar saat melihat pria yang tadi sudah berdiri di depannya, dalam jarak satu kaki. Pria itu menatapnya dengan mata berkabut. Namun, bukan itu yang membuat Jeremia menahan napas untuk yang kedua kalinya, melainkan wajah orang itu yang sama persis seperti....
"Jordan?" Nama itu meluncur begitu saja dari celah bibir pucat Jeremia. Mata biru yang memerah dan berkaca-kaca, hidung mancungnya, serta bibir yang merah muda alami. Pahatan wajah sempurna yang sangat mirip dengan Jordan, hanya saja dalam versi dewasa.
Jeremia menggelengkan kepala, tangisnya pecah tanpa suara. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya mencengkeram tali tas selempang di bahunya. Dia tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Entah kenapa sekarang dia berharap semuanya hanya mimpi
"Apa kau ... benar-benar Jordan?" tanya Jeremia terbata disela tangisnya. Kedua tangannya mengepal kuat, mencengkeram ujung kardigan yang dikenakannya. "Namun, tidak mungkin. Jordan sudah mati dua bekas tahun yang lalu. Kau tak mungkin dia!"
Jeremia menggeleng kuat beberapa kali, baru berhenti setelah pria yang berwajah mirip Jordan memeluknya. Tubuh Jeremia melemas, dia sangat hafal dengan pelukan ini Pelukan Jordan. Astaga, benarkah?
"Ini aku Jeremia, aku Jordan."
Bisikan itu membuat tangis Jeremia semakin pecah. Pelukan dan kehangatan ini memang milik Jordan, begitu juga dengan ketenangan dan rasa nyaman yang langsung dirasakan hatinya. Namun, aroma tubuhnya bukan aroma Jordan. Meskipun hanya beberapa bulan mereka bersama, dia sudah sangat hafal dengan semua kebiasaan dan apa pun yang menyangkut tunangannya.
"Bukan!" Kepala Jeremia menggeleng di d**a Jordan, dia membenamkan wajahnya di sana. "Kau bukan dia, Jordan sudah meninggal dalam kecelakaan dua belas tahun lalu."
Pria itu, Jordan, meletakkan dagu di atas kepala Jeremia. Tangannya semakin erat memeluk tubuh mungil yang bergetar. "Begitu, ya? Jadi, aku kecelakaan?" Ia bertanya lirih.
Jeremia mendongak cepat mendengar kata-kata itu. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan mata memicing. "Jangan katakan padaku bahwa kau benar-benar Jordan karena aku tidak akan memercayainya!"
Jeremia mendorong d**a pria itu sekuat tenaga, sehingga pelukannya terlepas. "Meskipun wajahmu sangat mirip dengannya, aku tetap tidak akan percaya!"
Bulir-bulir bening kembali terlepas dari kelopak mata Jeremia. Meskipun familiar dan sana persis dengan pekikan Jordan, bahkan hatinya juga sangat yakin jika pria di depannya ini adalah tunangannya yang hidup kembali, tetapi Jeremia tetap berusaha menyangkal.
"Jeremia ...."
"Mundur, jangan mendekat!" Jeremia mengangkat tangannya setinggi d**a, berusaha melindungi diri dari Jordan yang melangkah menghampirinya.
"Jeremia, aku mohon." Jordan menuruti keinginan Jeremia, ia menghentikan langkahnya. "Aku mohon, percayalah padaku. Aku Jordan, tunanganmu." Suaranya melemah.
Jordan menekan dadanya yang terasa sesak karena suatu hal. Ia menggeleng pelan, mengusir pusing yang mulai menyerang. Rasanya memang sangat mengganggu, di saat penting seperti sekarang kepalanya malah tidak bisa diajak untuk kompromi.
"Kenapa aku harus percaya padamu?" tanya Jeremia dengan maya menyipit. Hatinya percaya dengan apa yang dikatakan pria yang mengaku Jordan, tubuhnya juga, tetapi mulutnya tidak. Jeremia terus berusaha menyangkal. "Kau bukan dia. Kau hanya orang lain yang mirip dengannya."
Jeremia kembali menggeleng. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mengusir cairan bening yang menggenangi matanya. Pelan dia berbalik, melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Namun, sekali lagi cekalan di tangannya membuatnya menghentikan langkah. Dengan kasar Jeremia mengempaskannya, dan berlari menuju keluar area pemakaman tanpa menoleh lagi ke belakang.
Dadanya berdegup kencang. Kali ini bukan hanya karena gugup atau was-was, melainkan karena dia baru habis berlari. Tak kencang, tetapi tetap membuat napasnya ngos-ngosan tak beraturan. Jeremia meneruskan langkah menuju mobilnya yang terparkir di tempat parkir khusus pengunjung. Tak terlalu jauh, hanya beberapa meter dari gerbang area pemakaman.
Sebelum melangkah ke tempat parkir, Jeremia menoleh sekilas ke belakang. Dia mengembuskan napas lega setelah tak melihat bayangan Jordan di dekatnya. Dia masih belum yakin seratus persen jika pria itu adalah Jordan-nya, bukan hatinya yang meragu, tetapi mulutnya. Dia tak bisa berhenti untuk menolaknya, seolah ada sesuatu yang menyuruhnya untuk menjauhinya.
Dari kejauhan, Jeremia melihat Jordan mendekat. Langkahnya terhuyung seolah sedang menahan sakit akan sesuatu. Satu detik, dua detik, Jeremia memekik tertahan pada detik ketiga. Tubuh Jordan limbung, jatuh tersungkur ke tanah.
Cepat Jeremia berlari ke arah pria itu Meskipun mengatakan tidak percaya, tetapi itu hanya di mulutnya saja. "Kau tidak apa-apa?" tanya Jeremia terengah. Dia berusaha membantu Jordan untuk bangun.
"Jeremia?" Jordan mencoba menyentuh wajah cantik yang begitu dekat dengannya, Wajah yang dirindukannya, yang selalu hadir di dalam mimpi di setiap tidurnya. Namun, tangannya terkulai. Pandangannya mengabur, seiring sakit yang semakin menjadi di kepalanya.
Jordan memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Mengabaikan keringat dingin yang membasahi jaket bertudung yang dikenakannya. Sekali, dua kali, tiga kali tarikan napas, sampai akhirnya ia bisa bernapas dengan normal kembali. Denyut jantungnya juga sudah tidak secepat tadi, begitu juga dengan denyutan kepalanya sudah mulai berkurang.
Jordan membuka mata perlahan, tersenyum manis melihat wajah cantik Jeremia yang pertama kali ditangkap oleh indra penglihatannya. Ia mengembuskan napas melalui mulutnya dengan pelan. Lega karena serangan itu tak berakhir sampai membuatnya pingsan seperti biasanya.
"Jeremia, aku ...." Jordan masih belum dapat berkata-kata, suaranya tercekat. Seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam kerongkongannya.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Jeremia serak. Dia sudah kembali menangis melihat kondisi Jordan yang terlihat sangat kesakitan. Wajah pria itu pucat, tubuhnya dibanjiri keringat, sangat memprihatikan. "Kau bisa bangun, 'kan? Ayo, kita ke rumah sakit!"
Jordan menggeleng setelah ia dapat berdiri dengan sempurna. "Tidak, aku tidak perlu ke rumah sakit. Itu sudah sering terjadi padaku dua tahun terakhir ini."
"Dua tahun?" ulang Jeremia tak percaya. Pegangannya di bahu Jordan terlepas.
Pria itu mengangguk. Ia melepaskan kupluk yang sudah tak menempel sempurna di kepalanya, membiarkan rambut pirangnya ditiup angin. "Dua tahun setelah aku terbangun, rasa sakit itu mulai kurasakan setiap kali ada ...."
Jordan menghentikan kalimatnya. Ia merasa belum saatnya memberi tahu pada Jeremia tentang kondisinya selama ini. Bisa bertemu dengannya lagi saja sudah merupakan keajaiban baginya.
"Ada apa?" cecar Jeremia. Matanya menyipit, dia sangat penasaran. "Ada apa dengan dia tahun terakhir? Jika kau benar-benar Jordan, lalu ke mana saja kau selama ini? Kenapa kau baru muncul sekarang setelah dua belas tahun kami semua yakin kau sudah tewas dalam kecelakaan maut itu?"
Jordan tak menjawab. Ia hanya menatap Jeremia dengan aneka perasaan yang tak terlukiskan.
***
"Aku tidak tahu apa yang tepatnya terjadi padaku. Hanya saja, saat aku terbangun aku tidak ...."
Jordan kembali menghentikan kalimatnya. Sebenarnya ia ingin meneruskan, ingin memberi tahu Jeremia semuanya agar tidak ada lagi kesalahpahaman di antara mereka. Namun, lagi-lagi rasa tak biasa itu memasuki pikirannya seolah menghalangi agar ia tidak dapat berterus terang kepada wanita cantik yang duduk di depannya. Wanita yang sangat dicintainya.
Jeremia membawa mereka ke sebuah kafe yang terletak tidak begitu jauh dari area pemakaman. Kafe baru karena dua belas tahun yang lalu, tempat ini hanya merupakan hutan kecil saja. Mereka memilih untuk duduk di meja yang terletak di bagain luar kafe sambil menikmati senja yang perlahan bergulir. Suasana kafe yang tidak begitu ramai membuat mereka bebas untuk membicarakan apa pun tanpa takut ada yang akan menguping.
Sungguh, Jordan tak menyangka akan bisa bertemu lagi dengan Jeremia-nya. Sudah tiga minggu terakhir ini ia selalu bolak-balik pergi ke area pemakaman. Sebenarnya, ia tidak tahu apa yang dicarinya di sana, ia hanya menuruti kata hatinya saja..
Menuruti kata hati tidak ada yang salah. Jordan menemukan sebuah fakta tentang dirinya yang sangat mengejutkan. Meskipun ia sudah menduga akan seperti itu, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kesedihannya. Di tempat pemakaman umum Brandville, ia menemukan makamnya. Yang lebih meyakinkan lagi saat ia melihat makam kecil di samping makamnya.
Kecurigaan jika makam itu adalah makam anaknya terbukti saat melihat Tuan Armando Rodriguez mengunjungi kedua makam itu dan menyebut dirinya kakek. Apalagi nama yang tertulis di batu nisan di atas makam itu adalah Malaikat Kecil Collins, ia semakin yakin jika makam itu adalah makam anaknya dan Jeremia.
Kekhawatirannya pada Jeremia semakin menjadi. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya untuk mencarinya. Ada sesuatu hal yang mengikatnya, membuatnya terpasang tanpa dapat melakukan apa-apa. Ia hanya bisa mendatangi makam setiap hari dan berharap Jeremia akan muncul.
Harapan yang terkabul setelah beberapa minggu menunggu. Tadi pagi, ia melihat seorang wanita muda membawa dua buket bunga mawar putih menghampiri makamnya dan makam putranya. Tak perlu wanita itu membuka kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya, untuk mengenali jika wanita itu adalah Jeremia.
Perasaannya membuncah Ada keinginan untuk mendekati dan menyapanya. Namun, sekali lagi pasung yang mengikatnya membuatnya harus tetap berada di balik pohon dan mengamatinya dari kejauhan saja.
Sore ini, ia berniat untuk mengobrol bersama putranya. Sesuatu yang sering dilakukannya dalam seminggu terakhir. Ia juga mengajak mengobrol tulang belulang yang tertanam di bawah sana dengan batu nisan bertuliskan namanya. Ia keasyikan sampai-sampai tidak menyadari jika Jeremia sudah berdiri di belakangnya.
Jordan menundukkan kepala luruh. Seandainya saja ia bisa memberi tahu Jeremia segala tentangnya saat ini, tetapi ia takut Jeremia akan menjauh dan menghilang dari hidupnya.