Bab 5

2042 Kata
Brandville selalu memiliki arti yang lebih bagi Jeremia. Bukan karena kota itu adalah kota kelahirannya, tetapi juga merupakan kota peristirahatan terakhir untuk dua orang yang dicintainya. Perjalanan dari Manhattan ke Brandville yang memakan waktu lebih dari dua jam selalu ditempuhnya seorang diri tanpa rasa lelah. Dia selalu menikmatinya, sejauh apa pun perjalanan, selama apa pun waktu yang diperlukan, jika itu menuju Brandville semua terlihat sangat indah di matanya Jeremia menguap. Dia menutup mulutnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri tetap memegang setir. Tadi malam dia kurang tidur, terlalu memikirkan haru ini. Rasanya sudah tak sabar menunggu akhir bulan, dari tahun ke tahun terasa semakin lama. Seandainya saja bisa, Jeremia ingin menetap kembali di kota kelahirannya itu. Sayangnya, dia tak sanggup. Dia masih belum dapat menerima semuanya jika terus berada di Brandville. Satu-satunya cara untuk lupa adalah dengan tinggal di kota besar dan menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan. Pagi mulai menyeruak. Matahari mulai mengintip dari sela-sela pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Dia sudah memasuki jalan bebas hambatan beberapa menit yang lalu. Jalan menuju Brandville berbeda dari jalan bebas hambatan yang lainnya. Di sisi kiri dan kanan jalan ditanami pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai penghijauan dan melindungi dari sinar matahari yang menyengat di siang hari. Terlihat sangat cantik di pagi hari seperti sekarang. Daun-daunnya tampak berkilau tertimpa sinar keemasan matahari pagi. Embun di dedaunan itu memantulkan sinar matahari, rapi tak menyilaukan. Dia bangun sangat pagi hari ini tadi agar bisa pergi sebelum matahari terbit. Jeremia ingin lebih lama di Brandville. Kali ini dia ingin mengunjungi papanya. Sudah terlalu lama dia mengabaikan pria itu, hanya menyapa dan menemuinya saat hari ulang tahunnya saja. Hari ini dia ingin menghabiskan waktu bersama prianyang sudah membuatnya ada di dunia ini. Dia benar-benar sudah bisa berdamai dengan hidupnya dan memaafkan papanya. Tak ada gunanya terus mendiamkan Papa, jika bukan karenanya dia tidak akan pernah ada di dunia. Senyum manis Jeremia menyambut matahari terbit. Sinar jingganya yang hangat menerpa wajah cantiknya yang pagi ini tidak dipoles apa-apa. Bukan karena berduka dan ingin pergi ke pemakaman, dia hanya tinggal dak suka saja berdandan saat akan menemui Jordan. Tunangannya bukan laki-laki yang suka melihatnya bersolek, katanya dia sudah cantik tanpa polesan. Mengingat hal itu, Jeremia tersenyum manis yang mengakibatkan dua bulir bening menuruni pipinya. Sampai kapan pun dia tidak akan melupakan Jordan, laki-laki itu hidup abadi di hatinya. Oleh sebab itu, dia tidak pernah berminat untuk menjalin hubungan dekat dengan siapa pun. Hanya Jordan, tidak ada yang lain. Sampai sekarang, setelah lebih dari sepuluh tahun dia masih dengan semua yang berhubungan dengannya. Pertemuan pertama mereka, di mana Jordan pertama kali menyatakan cinta, atau kata-kata yang diucapkannya kala menolongnya saat dia lupa sampai di mana pelajaran mereka. Jordan menyela dan rela dihukum untuknya. Sikap itulah yang membuatnya jatuh cinta. Selain sifat terpuji lainnya tentu saja. Jeremia memperlambat laju mobil, dia sudah hampir sampai. Sebuah palang pintu yang ditopang dua pilar besar yang terbuat dari batu kali berwarna hitam sudah tampak di depannya. Warna putih keperakan sepasang pilar berukir dengan gaya spiral itu merupakan ciri khas gerbang kota Brandville. Tak ada yang berubah, kecuali warna cat semi permanen yang selalu diperbarui setiap tahun, terapi masih dengan warna yang sama. Mobil kembali melaju dengan kencang setelah melewati palang pintu. Masih sekitar sepuluh kilometer lagi baru dia akan sampai dan memasuki pemukiman, sedangkan kota berjarak lima belas kilometer. Dalam kecepatan mobil sekarang dia akan bisa mencapai kota dalam lima belas menit. Mobil kembali melambat ketika memasuki area pemakaman. Sampai benar-benar berhenti di depan dua buah makam, dalam jarak beberapa meter. Jeremia menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya bersamaan tangannya yang membuka pintu mobil. Sebelah tangan yang lainnya meraih dua buket bunga mawar putih yang dibelinya saat di perjalanan tadi. Dia akan meletakkan masing-masing buket bunga itu di makam kedua orang yang dicintainya. Sekali lagi Jeremia menarik napas panjang sebelum melangkahkan kaki menghampiri makam yang ditujunya. Masih pagi, udara di sini juga masih segar. Tak ada seorang pun yang berada di area ini selain dirinya, tapi Jeremia tak peduli. Suasana sepi seperti ini yang dibutuhkannya, dia akan merasa sangat tidak nyaman jika ada orang lain memperhatikannya. Mata biru Jeremia menyapu ukiran nama di batu nisan. Dadanya selalu terasa sesak, seolah ada batu besar yang menghimpit membuatnya kesulitan bernapas. Jeremia mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha menghalau air yang menggenangi. Dia tak ingin menangis lagi, tak ingin melakukan sesuatu yang tidak disukai Jordan. Pemuda itu selalu melarangnya menangis, dan mengatakan dia akan terlihat lebih cantik saat menangis. Kata Jordan dulu, dia tak ingin memiliki saingan lagi. Cukup Matt saja, itu pun sudah sangat menyusahkan. Buktinya, Matt yang menghabisi Jordan dengan menyabotase mobil yang dikendarainya sehingga mobilnya tidak dapat dikendalikan. Jordan tewas karena ulah Matt. Pria itu juga yang sudah membunuh bayi yang berada dalam kandungannya. Jeremia menghampiri makam yang lebih kecil. Letaknya bersisian dengan makam Jordan, tepatnya di sebelah kanan makam dengan batu nisan bertuliskan nama Jordan. Makam bayi laki-lakinya. Sengaja dia tidak memberikannya nama, biar Jordan saja yang memberikannya di atas sana. "Halo, Sayangku, apa kabar?" tanya Jeremia menyapa anaknya. Suaranya lirih, bahkan nyaris tak terdengar, tercekat oleh tangis yang ditahan. "Maafkan Mama datang pagi-pagi membangunkanmu. Mama sangat rindu padamu, rasanya satu bulan sangat lama untuk kita bisa bertemu." Jeremia menundukkan kepala, bahunya berguncang, dia menangis. Susah payah menahannya, tapi tetap saja dia kalah oleh desakan air mata yang sudah memaksa ingin keluar sejak dia masih berada di dalam mobil tadi. Dia berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah, meletakkan sebuah buket mawar putih di atas makam kecil itu. Kepalanya masih tertunduk, tangannya mengusap batu nisan tanpa nama, hanya bertuliskan Si Kecil Cucu Dari Keluarga Collins. Beberapa detik menangis di samping makam.anaknya, Jeremia kembali berpindah ke makam Jordan. Dia mencoba tersenyum, meskipun air matanya terus turun. "Aku tidak cengeng, Jordan, aku kuat," katanya serak. Sesekali dia menggigit bibirnya, berusaha menahan isak agar tidak keluar. "Kau pasti bisa melihatnya dari atas sana, aku bisa bertahan dan itu berkat kalian." Tatapannya sekilas beralih pada makam putranya. "Aku tahu kalian pasti selalu menjagaku." Dia mengusap air matanya. Matahari sudah semakin tinggi. Cahayanya menembus pepohonan besar dan tinggi yang tumbuh di sebelah timur makam. Daun-daun pohon itu berkilau tertimpa sinar matahari. Kilauan itu berasal dari tetes embun yang tersisa. Jeremia mengangkat tangan, menutupi matanya yang terkena kilauan. Sekilas dia menengok ke arah rerimbunan pohon. Ada seseorang di sana, berdiri di balik sebuah pohon besar itu. Sepertinya orang itu juga ingin mengunjungi salah satu keluarganya yang menjadi penghuni pemakaman ini Jeremia tak menghiraukannya. Setelah meletakkan satu buket bunga mawar putih yang ternyata masih digenggamnya, ke makam Jordan, Jeremia memutar tubuh, dan melangkah meninggalkan taman tanpa mengucapkan kata perpisahan seperti biasa bila dia berkunjung. Dia akan menemui ayahnya, dan menginap di rumahnya. Itulah sebabnya dia tidak berpamitan karena nanti sore akan berkunjung ke sini lagi. Sebelum memasuki mobilnya, Jeremia kembali melirik ke arah orang yang tadi dilihatnya secara sekilas. Seorang pria dengan kacamata hitam. Lensa kacamata yang lebar menutupi sebagian wajahnya. Rambut pirangnya menyembul di balik kupluk yang menutupi kepalanya. Entah rambut pirang itu alami atau hanya cat rambut. Sekali lagi Jeremia mengabaikan, meskipun merasa pernah melihat pria itu, tapi dia tak tertarik untuk mengamatinya lebih jauh. Tidak penting baginya untuk mengenal pria itu lebih jauh. Saat ini dia harus menemui Papa sebelum berangkat ke kantornya. Mobil meluncur dengan perlahan meninggalkan area pemakaman, tanpa Jeremia sadari sepasang mata berwarna biru di balik kacamata hitam, pria asing yang tak menarik perhatiannya, mengawasi kepergiannya. Begitu mobil Jeremia sudah tak terlihat lagi, pria itu bergegas melangkah ke makam Jordan, dan berdiri mematung di sana dengan kepala tertunduk. *** Rumah berlantai tiga dengan gaya Mediterania itu tak berubah, masih tetap sama seperti dulu meskipun sudah lebih dari tiga tahun dia tak berkunjung. Pergi ke Brandville sebulan sekali hanya untuk berkunjung ke pemakaman umumnya, tak pernah singgah ke rumahnya yang dulu ditinggali saat masih berada di kota ini. Rumah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan, rumah yang penuh kenangan. Namun, pagi ini dia mengunjunginya. Jeremia merasa dadanya berdebar, jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat, matanya memanas seiring rasa rindu yang menyeruak. Cepat Jeremia masuk ke dalam rumah setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di dekat undakan tangga teras rumahnya. "Papa ...!" Jeremia menerobos pintu yang yang sedikit terbuka. Pelayan yang bertugas menjaga pintu pasti melihatnya sejak dari memarkirkan mobil. Terengah Jeremia menaiki tangga, langsung menuju kamar papanya yang berada di ujung koridor lantai dua. Keadaan lantai dua juga tidak berubah, masih sama seperti saat dia meninggalkannya. Satu set sofa berwarna cokelat gelap masih mengisi ruang keluarga yang sedikit lebih besar dari di lantai dasar. Beberapa hiasan dinding berupa lukisan kesukaan Papa tetap menempel dengan setia, dua buah guci besar berukir naga dari Asia menjadi penghuni sudut ruangan, sisanya pot bunga yang diisi dengan tanaman hias hidup. Jeremia berlari sekencang yang dia bisa, kamar Papa sudah terlihat dari tempatnya sekarang. "Papa!" Sekali lagi dia berseru sebelum mencapai kamar tidur utama. Pintu ganda berwarna hitam yang terbuat dari kayu oak itu tertutup rapat. Tak sabar Jeremia untuk mengetuknya. Kepalan tangannya sudah terangkat, siap untuk mengetuk pintu sebelum pintu terbuka dari dalam dengan sendirinya, menampilkan Armando Rodriguez yang berdiri di ambang pintu. "Papa!" Jeremia melompat memeluk papanya penuh kerinduan. Sudah beberapa.bulan sejak terakhir mereka bertemu. Biasanya dia hanya bertemu Sang Ayah satu tahu sekali, tepatnya di hari Natal yang mereka rayakan bersama keluarga Collins. Setelah itu, mereka.haruanmenunggu satu tahun lagi untuk bisa bertemu. Selain karena kesibukan mereka masing-masing, dia juga menghindari pertemuan dengan ayahnya. Bukan tanpa alasan Jeremia melakukannya. Dia hanya tak ingin kembali teringat masa lalunya yang bisa dikatakan suram. Melihat ayahnya membuatnya kembali ingat dengan Manhattan Jackson, pria yang menjadi penyebab kematian tunangannya. Jika bukan ayahnya yang selalu membela Matt, tak mungkin dia mau bertunangan dengan pria itu dulu. Pria yang memiliki kepribadian tak terpuji. Matt tak hanya menyebabkan kematian Jordan, tapi juga membunuh Kimmy, sahabatnya. "Jeremia? Kau datang?" Jeremia mengangguk di bahu Papa. Air matanya kembali tumpah, dan jatuh semakin deras saat merasakan usapan lembut di rambutnya. "Maafkan aku, Papa?" pintanya serak. Iya, dia sidah bisa berdamai dengan keadaan, sudah bisa menerima semua yang terjadi padanya, dan sudah bisa melihat wajah Papa tanpa mengingat Matt. "Maafkan aku." Armando tak bisa menahan haru. Bulir-bulir bening menuruni pipinya yang sudah sedikit keriput. Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, sisa-sisa ketampananmya di masa kuda masih melekat. Dengan tangan kirinya yang gemetar Armando balas memeluk putri tunggalnya, sementara tangan kanannya mengusap rambut cokelat gelapnya. "Papa seperti bermimpi saja." Armando masih belum percaya jika Jeremia akhirnya mau berkunjung selain di hari Natal. "Terima kasih karena sudah memaafkan Papa," katanya serak. Sebagai seorang Ayah yang membesarkan putrinya sejak kecil seorang diri, Armando menyadari perubahan sikap Jeremia padanya. Putrinya itu memang masih tetap tersenyum saat mereka bertemu, sikapnya masih sama seperti dulu. Namun, Jeremia tidak pernah lagi mau bertemu dengannya selain di hari Natal. Itu pun mereka merayakannya bersama keluarga Collins, atau berdua di apartemennya. Jeremia tidak pernah mau singgah ke rumahnya lagi, padahal sebulan sekali dia.pasti mengunjungi Brandville. Tepatnya area pemakaman umum untuk menengok makam Jordan dan putra mereka yang belum sempat lahir ke dunia. Armando menyadari kesalahannya. Ia mencoba untuk memahami bagaimana perasaan putrinya dan membiarkannya. Ia yakin, jika lukanya sembuh Jeremia pasti akan mau mengunjunginya kembali di rumahnya. Hal itu menjadi kenyataan sekarang, meskipun harus menunggu beberapa.tahun, tak masalah. Yang penting mereka hati Jeremia tak lagi membeku. Armando membingkai pipi putrinya, mengusap air yang turun menggunakan ibu jarinya. "Kau sudah berkunjung ke makam?" tanyanya. Jeremia mengangguk. "Aku baru dari sana, setelah itu baru ke sini." "Astaga!" Armando mengisap wajahnya. "Pukul berapa kau dari Manhattan?" Ia kembali bertanya. Ini masih pagi, matahari masih bekum tinggi, ia juga belum sarapan, dan putrinya sudah berada di rumah mereka,bahkan sudah berkunjung ke makam. Apakah Jeremia berangkat pagi-pagi buta? Jeremia meringis. "Aku sengaja pergi pagi-pagi agar dapat lebih lama di sini. Aku akan menginap malam ini, dan ke makam lagi nanti sore." "Benarkah kau akan menginap?" tanya Armando dengan mata berbinar. Akhirnya, putrinya benar-benar kembali. Jeremia tersenyum lebar sambil mengangguk. Namun, senyumnya mengambang saat mengingat pria mencurigakan yang ditemuinya di makam tadi saat dia berkunjung. "Papa, apa Papa tahu dengan pria berambut pirang yang berkeliaran di sekitar makam?" tanyanya dengan mata memicing. Sengaja juga dia mengatakan jika pria itu berkeliaran untuk memancing memori papanya. Mungkin saja papanya mengetahui tentang pria yang membuatnya sangat penasaran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN