My Sweeties Boy ~ 07

1606 Kata
"Pagi Kockie.." "Morning Kockie.." "Kockie sayang.." "Yang, imut banget pagi ini.." Gue tersenyum abal~abal menghadapi godaan mereka. Godaan rutin tiap pagi, sih. Beda dengan cowok garang yang berjalan disebelah gue. Dia berhenti dan melotot bengis pada gerombolan cowok~cowok yang sedang menggoda gue. "Mulut siapa yang kayak comberan tadi? Mau gue gampar?!" bentaknya galak. Cowok~cowok itu langsung menciut nyalinya. "Maaf Bi, dia kan jongos lo, doang. Bukan apa~apa lo, kan," salah seorang cowok memberanikan untuk membela dirinya. Pibi mencengkram krah seragam tuh cowok dan menariknya berdiri. "Lo berani nantang gue? Gue cekik mati lo!" Pibi benar-benar mencekik cowok itu hingga dia kesulitan bernapas. Gue sontak menjerit histeris. "Pibi! Lepasin! Lepasin!" Gue memukul punggung Pibi tapi dia tak bergeming. Dia terus mencekik cowok itu hingga korbannya kesulitan napas. Gawat! Lama-lama bisa mati cowok itu. Entah mendapat inspirasi darimana, gue langsung memeluk Pibi dari belakang. "Pibi, stop it!" ucap gue dari balik punggungnya. Tubuh Pibi mendadak jadi kaku, ia menghentikan cekikannya. Kemudian ia mengelus tangan gue yang melingkar di perutnya. "Mulai sekarang jangan ada yang berani menggoda cowok ini," ancam Pibi sambil memeluk bahu gue. "Dia-milik-gue!" sambungnya penuh penekanan. Gue ternganga lebar. Apa gue tak salah dengar? Bukannya yang lalu dia marah besar dan mem-bully gue gegara gue mengaku menjadi pacarnya? Mengapa sekarang justru dia yang mengklaim gue sebagai miliknya! Cowok~cowok didepan gue juga tak kalah kagetnya. Mereka menatap kami dengan mata tak berkedip. Pibi cuek saja, dia menggandeng gue meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat. Hingga gue harus setengah berlari untuk mensejajarkan langkah dengannya. "Lo enggak salah ngomong kayak gitu, Pibi? Lo sadar kan? Lo enggak mabuk kan? Hayo, cepat ralat omongan lo, tadi..." Bug. Pibi menghentikan langkahnya hingga gue menubruk punggungnya. Manik biru matanya menyorot tajam saat ia menoleh ke gue, wajah tampannya mendekat ke wajah gue. k*****t, dia terlihat amat menggoda di jarak sedekat ini! Bibir seksi Pibi berkata ketus, “mengapa lo selalu berisik?! Gak bisa bikin gue tenang." Gue menelan ludah kelu, lalu mengelus tengkuk gue grogi. "Kalau gue selalu bikin lo sebal dan gak tenang, kenapa lo ngeklaim gue jadi milik lo? Lepasin gue aja biar lo bisa tenang menjalani hidup lo lagi. Gue.." Mendadak dia membungkam mulut gue dengan ciumannya. Gue membeku seketika. DEMI DEWA! Ciuman kedua gue juga diserobot olehnya! Kurang ajar betul, dia! Gue berusaha memberontak namun Pibi memojokkan gue di tembok. Lalu kedua tangan gue diangkat dan ditempelkan di tembok, tepatnya di kanan kiri kepala gue. Kaki gue dijepitnya dengan pahanya. Gue jadi tak berkutik sama sekali! Dia terus mencium bibir gue sembari lidahnya mengeksplor setiap jengkal bibir gue, namun gue berusaha menahan diri tak membalasnya. Dengan gemas ia menggigit bibir bawah gue hingga spontan mulut gue terbuka. Lidahnya menyusup masuk dan menggoda didalam rongga mulut gue. Ah, gue tak tahan lagi. Gue mulai membalas ciuman panasnya. Jantung gue berdetak liar. "Ehmm, ehmm. Pagi~pagi udah mesuman disini," tegur seseorang. "Cih, bikin kita h***y aja," sambung seorang lainnya. Wajah gue merona begitu mengenali suara mereka. Itu si Johny bersama kroco~kroconya. Aduh, sial amat gue bertemu mereka saat Pibi memperkosa bibir gue! Pibi menghentikan ciumannya dan menoleh dengan wajah garang ke mereka. Mereka langsung syok begitu tau siapa oknum dibalik ciuman m***m kami tadi. Aduh, jangan sampai mereka tau gue yang dicium Pibi. Gue berusaha bersembunyi di balik tubuh besar Pibi. "Pibi! Lo sekarang...lo juga.." racau Aji, si rambut ombre. "Yaelah Pibi, kalau gue tau lo juga semacam kita kan dari dulu gue kejer el.." Johny sontak menghentikan ucapannya ketika melihat tatapan membunuh Pibi. "Gue gak ada minat ama cowok lain! Gue jijik ama cowok kayak kalian ini kecuali..." Omo, omo, kenapa Pibi mesti menarik tubuh gue kedepan? Gue langsung berhadapan dengan Trio Kwek~kwek yang melongo menatap gue. Mereka memperhatikan bibir gue yang pasti bengkak gegara ciuman brutal Pibi tadi. Wajah gue terasa sanagt panas! Pibi, siaanl! Dia begitu mempermalukan gue! Gue jadi ingin pindah ke kutub utara saat ini. "Heh!! Itu mata dijaga, ya! Ngapain ngelihat bibir pacar gue! Mau gue congkel biji mata kalian?" ancam Pibi sadis. "Lo ... pacarnya Pibi?" tanya Mael bingung. "Bukan pacarnya si Helga?" sambung Aji. Shit! Gue frustasi menghadapi kelakuan cowok~cowok di sekeliling gue! "Gue bukan pacar siapa~siapa!" bentak gue kesal. Tak sadar gue menghentakkan kaki sebal dan berlari meninggalkan mereka. Ups, tingkah gue tadi apa mirip cewek ngambek? Semoga mereka pada tak sadar. Pibi mengejar gue sambil berteriak, "Yang, tunggu! Kok kamu gak mau mengakui hubungan kita sih?" Yang?? Sayang?? Tak salah Pibi memanggil gue seperti itu? Apa dia sudah seterbuka itu mengeksposs ke~ m**o~ annya? Gue tak mengerti dengan perubahan drastis seorang Pibi! *** Kelas gue pun heboh. Si Pibi ngotot ikut pelajaran di kelas gue. Padahal mestinya dia di kelas 11, kan? Mengapa malah turun kelas mengikuti pelajaran di kelas 10? Tapi secara tak ada yang berani mengusirnya, bahkan guru saja tak berani mengusir Pibi keluar kelas. Jadilah dia duduk disamping gue sepanjang pelajaran. Bukannya mengikuti pelajaran dengan baik, dia justru asyik menatap gue mulu hingga gue merasa sangat risih. "Kalau lo gak niat belajar disini, mending lo keluar deh, Pibi. Mubazir kan waktu elo disini," bisik gue tanpa mengalihkan tatapan gue pada guru yang asik mengajar didepan kelas. "Enggak mubazirlah, Yang. Kan asik ngelihat lo terus!" "Cih, jangan ngelihat gue mulu! Bosan, tau!" Elah, tak cuma melihat, si Pibi malah mengelus rambut gue. Gue tepis tangannya. "Paasih? Ini di kelas, lho!" tegur gue kesal. "Kan elo yang minta diginiin, Yang." Gue mendelik jengkel, "kapan gue mintanya?" "Kata lo tadi bosan cuma dilihatin aja." Tepok jidat, deh, gue menghadapi kelakuan tengil makhluk tak tahu malu didepan gue! Heran, dulu dia terkesan amat menakutkan. Seram. Mengapa sekarang dia berubah tengil dan centil? Meski pada orang lain dia tetap menyeramkan! Apa jatuh cinta yang menyebabkannya berubah jadi begini? Haizz, gue jadi GR! Masa dia mencintai gue? Paling hanya penasaran doang gegara ciuman pertamanya dengan gue! *** Pelajaran ketiga adalah olahraga. Gue dan teman~teman sekelas telah berganti pakaian dengan kaus olahraga. Kami berjalan menuju lapangan olahraga. Lah, buat apa Pibi disini dan tak kembali ke kelasnya? Dia berdiri bersandar di tiang bendera dengan rambut berantakan tertiup angin, baju seragamnya keluar semua. Tapi dia terlihat gagah dan keren. Gue asyik mengaguminya saat dia menoleh lalu matanya mengedip dengan centilnya hingga membuat pipi gue merona. "Tuh, pacar lo nungguin," kata Ahlun sambil menunjuk Pibi. "Dia bukan pacar gue!" "Mana bisa lo nolak Boy kalau Pibi udah ngeklaim lo jadi pacarnya!" Arghh! Dasar manusia barbar. Dengan kesal gue mendekatinya. "Hampir saja gue tonjok tuh, Cupu, kalau lo enggak buruan kemari!" gerutu Pibi kesal. "Ngomong apa aja kalian?" tanyanya kepo. "Dia cuma memberitahu kalau gue sudah ditunggu pacar," jawab gue jujur. Haduh, buat apa juga gue bicara apa adanya? Ingin gue menggigit lidah yang menyebabkan harga diri jatuh ini! Pibi sontak cengar~cengir dengan wajah sumringah. "Wow, patut dikasih hadiah tuh, Culun." Gue mendengus kasar. Sebentar mau ditonjok, sebentar dikasih hadiah. Labil sekali cowok satu ini! "Pibi, lo enggak balik kelas?"sindir gue. "Gue mau ikut olahraga." "Mana bisa?! Lo enggak pakai baju olahraga!" "Bodo! Mana mungkin gue biarin cowok~cowok m**o itu punya kesempatan nubruk~nubruk elo juga megang~megang elo! Gue harus ngelindungi milik gue! Lagian gue tinggal copot baju gue aja kalau mau olahraga." Dia mulai membuka kancing kemejanya. Gue jadi panik. Masa dia mau topless saat olahraga? "Pibi! Jangan bilang, lo mau topless," bisik gue sambil menahan tangannya yang sedang membuka kancing seragamnya. Mata birunya menatap gue geli. "Kenapa? Lo takut ngiler lihat bodi gue?" godanya nakal. Kurang ajarnya, dia memaksa memasukan tangan gue kedalam baju seragamnya. Njir, gue jadi menyentuh ... kaus dalamnya? "Bilang dong kalau lo pakai kaus dibalik seragam!" ketus gue sembari mencubit dadanya. Pibi menyengir, menahan geli. "Yang, kalau gemes ntar malam aja apa. Masa didepan umum begini? Ntar kalau gue on, gimana?" Tuh kan, mengapa dia semakin m***m? Ngeri, ih! Ternyata Pibi berolahraga dengan hanya memakai kaus singlet. Duh, gue jadi speechless melihatnya. Bodi Pibi kekar, gagah, dan seksi. Mungkin gegara turunan bule, jadi tingginya diatas rata~rata cowok Indonesia. Dia tampak menonjol dimanapun ia berada. Bukan cuma gue yang terpukau, beberapa teman gue banyak yang melirik penuh minat. Tapi mereka langsung melengos ketika Pibi melotot garang kearah mereka . Olahraga kali ini kita main Sepakbola. Tentu saja gue satu team dengan Pibi, ternyata Ahlun satu tim juga dengan gue. Permainan berjalan tak seimbang. Secara si Pibi yang mendominansi permainan. Dia bertanding dengan ganas, terlihat begitu bernafsu memenangkan pertandingan dengan cepat. Team lawan dapat membaca situasi, mereka tahu gue titik lemahnya si Pibi. Jadi mereka sengaja menyerang gue untuk memecah konsentrasi Pibi. Betul saja permainan Pibi agak kedodoran, matanya terus mengawasi gue. Cowok~cowok sialan itu berusaha menyerang gue, maksudnya mereka sengaja seakan hendak menyentuh t*t*t gue. Kesabaran Pibi habis. Dia berlari menuju kearah gue tanpa peduli bola yang tadi dipertahankannya. Bola itu langsung diserobot lawan. Pibi mencekik leher cowok yang tadi meremas t*t*t palsu gue. "Lo mau cari mati, hah!!" Bug! Bug! Bug! Cowok itu dibogemnya bertubi~tubi. Perkelahian tak seimbang ini langsung merebut perhatian semua orang. Tak perduli di gawang sana pihak lawan udah GOL! Pibi terus memukul cowok itu, padahal lawannya sudah terkapar di tanah. Dan Pibi melakukannya sambil menduduki perut orang itu! Gue berteriak meminta Pibi berhenti, tapi Pibi tak mepedulikannya. Dia terus memukul korbannya. Ya Tuhan, padahal cowok itu sudah babak belur hingga seluruh mukanya tertutup lebam. Saking paniknya, akhirnya gue berlutut dan memeluk Pibi erat banget. Pibi sontak terdiam. Ia menoleh ke gue dengan bingung. "Yang, ngapain lo membela dia?" "Jangan pukul lagi Pibi, dia bisa mati!" Mata Pibi berubah kelam, ia marah gegara mengira gue mengkhawatirkan nasib cowok itu. Ia cemburu. Ia kembali memukul korbannya meski gue memeluknya erat. Gue semakin khawatir. Saking putus-asanya, gue spontan berteriak, "Aku mencintaimu!" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN