"Aku mencintaimu!"
Tangan Pibi yang melayang diudara, siap menghujam ke perut lawannya, terhenti seketika. Dia memandang gue bagai dalam mimpi.
"Lo- cinta- gue?" ulangnya memastikan pernyataan cinta gue.
Malu! Gue sangat malu! Ingin sekali gue kabur ke kutub utara! Tapi tak mungkin, kan.
"Ehmm, mungkin," jawab gue sekenanya.
Wajah Pibi mengeras lagi, dia bersiap menghajar lawannya. Aduh, dengan cepat gue meralat ucapan gue tadi sebelum terjadi pertumpahan darah.
"Mungkin, tadi lo gak mendengar. Iya, gue cinta elo!"
Wajah Pibi cerah seketika. Di singkirkannya tubuh korbannya dan ia berdiri sambil menggendong gue.
"Lo milik gue! Lo milik gue Boy!" Dia berteriak lantas menggendong gue sambil berputar-putar di tempat.
Gue pusing sekaligus merinding disko. Sinting! Mengapa dia berubah sinting begini? a***y! masa gue jatuh ke tangan orang kurang waras seperti ini?! Mama, tolong gue!
PRITTT!! Wasit meniup peluit dan berteriak. "Hukuman penalti!"
Bergegas semua orang dalam tim gue berjajar membentang di depan gawang kami. Dengan sewot, Pibi menarik tubuh gue supaya ikutan baris disana. Gue hanya bengong di tempat, tak tahu harus berbuat apa. Apakah kami dihukum jemur? Sampai kapan? Auk, ah!
“Psssstttt! Yang, lindungi bagian sensitif lo!" Pibi mengkode gue.
Tanpa pikir panjang gue menutupi kedua d**a gue. Pibi menggeleng lalu memberi kode lagi.
"Pssssstttt, bukan itu, Yang! Yang ini!"
Dia memegang apa yang ada di s**********n gue dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya memegang punyanya sendiri. Gue melihat semua teman setim gue kompak memegang pusakanya masing~masing. k*****t! Lagi~lagi gue nyaris melupakan identitas kelamin samaran gue! Gue tepis tangan Pibi, lalu gue tutup s**********n gue memakai satu tangan. Tangan gue lainnya untuk menutupi p******a gue sebisa mungkin.
"Pssssttttt, pakai dua tangan, Yang!" ucap Pibi yang mendadak kepo sekali.
Terpaksa gue menutup s**********n gue dengan dua tangan. Sepertinya pihak lawan menyadari kekhawatiran gue, dia cengar~cengir mencurigakan. Masa iya dia mengincar gue? Sepertinya iya, buktinya dia menendang bolanya dan sengaja mengarahkan pada gue!
Gue panik sekaligus bingung, antara mau melindungi d**a atau s**********n gue! Tangan gue berpindah~pindah antara dua daerah tadi.
"Boy, tutup s**********n lo!" teriak Pibi memperingatkan.
Spontan gue menutup s**********n gue dengan dua tangan.
BUUUK!! Gue merasakan hantaman keras di d**a gue! Rasanya sakiiit sekali seperti dihantam palu raksasa Thor. Gue tepar, jatuh ke tanah seketika sambil memegang d**a gue. Pibi jadi heboh sendiri! Dia menghampiri gue sambil mengusir semua orang supaya mereka tak mengerumuni gue! Gue menyaksikan semua itu secara samar karena setelah itu pandangan gue menggelap.
***
Gue tak tahu berapa lama gue pingsan. Saat tersadar, gue terkejut ketika melihat Pibi mulai membuka kain yang membebat d**a gue! Jiaaah! Kemana kaus gue?!
OMG! Jangan sampai dia memergoki d**a gue! Dengan panik gue meloncat duduk sambil menutup d**a gue dengan tangan. Lalu, buru~buru gue menyambar selimut untuk menutup d**a gue yang cuma tertutup kain yang biasa gue pakai untuk menekan d**a itu!
"Yang, lo udah enakan? Kenapa gak bilang kalau d**a lo luka? Gue lihat lo memperban d**a lo. Biar gue memeriksa luka di d**a lo, Yang. Khawatirnya parah."
Olala, si Pibi mengira d**a gue diperban karena terluka! Gawat! Sekarang dia ingin melihat luka di d**a gue.
"Jangan buka! d**a gue tidak terluka. d**a gue cuma sensi, kalau gak dibebat begini, gue bisa masuk angin," jelas gue.
"Oh, gue khawatir lo terluka, Yang. Apalagi tadi lo mendadak pingsan."
"Lo yang menggendong gue kemari?"
Pibi mengangguk.
"Mengapa enggak membawa gue ke UKS? Malah ke kamar asrama kita, kan berat lo membawa gue sejauh itu."
"Cih, gue gak suka membawa lo ke UKS! Pasti ntar, para cecurut itu mengikuti kita kesana. Makanya gue bawa lo kemari. Lagian, menggendong elo keliling dunia saja gue sanggup, Yang! Lo itu mungil banget untuk ukuran cowok! Berapa berat lo? Gak nyampe limapuluh kilo, kan?"
Gue mengangguk membenarkan. Terserah lo bicara apapun asal tak teringat kalau tadi lo berniat memeriksa d**a gue.
"Ah, gue tak terlalu mungil! Teman cowok gue malah ada yang lebih kecil dari gue!" Gue pura~pura tersinggung seakan harga diri gue sebagai cowok dilecehkan.
Pibi terkekeh geli, ia mengacak~ngacak poni gue dengan gemas.
"Tapi gue suka lo imut seperti ini, gemes ... kayak boneka!"
Mengapa gue jadi tersipu malu diperlakukan seperti ini? Aduh, jangan sampai gue terjatuh dalam pesonanya. Dia sinting!
"Jadi mana hadiah buat gue?" Tanpa malu Pibi meminta imbalan buat jasanya tadi.
"Lo minta hadiah apa? Gue gak punya apa~apa."
Pibi menunjuk pipinya. Apa dia minta dicium pipinya? Cuma cium pipi doang, kan. Gue menutup mata dan mendekati pipi Pibi. Sedetik kemudian gue merasa ada benda kenyal dan lembab yang menyentuh bibir gue.
Kampret, sekali lagi dia mencuri ciuman ketiga gue! Eh, benarkah ini yang ketiga?
Pibi melumat bibir gue, lalu menggigit bibir bawah gue dengan lembut hingga tak sadar mulut gue terbuka. Lidah Pibi menerobos masuk, menggoda lidah gue supaya ikut berperan aktif. Gue berusaha pasif namun ciuman Pibi menyebabkan gue kehilangan akal sehat. Akhirnya gue tergoda, gue balas menciumnya. Entah berapa lama kami berciuman, gue mulai kehabisan napas. Gue pun mendorong tubuh Pibi supaya menjauh.
"Cu... kup...," kata gue terengah~engah. Gue berusaha mengatur napas gue.
Pibi menatap gue nanar. “Bibir lo manis, Boy. Gue gak pernah merasa puas mencicipi bibir lo!"
Gue melotot gemas padanya! Lihat, apa dia mulai kecan ....
"Iya gue kecanduan nyium lo! Lagi ya, Yang?"
Pletak. Spontan gue menjitak kepala si Pibi! Anjrit, gue baru ingat siapa yang gue jitak tadi, dia makhluk kejam yang diberi julukan pshyco itu!
LARRIII! Gue berusaha kabur secepat mungkin.
***
Malamnya di kamar, gue tengah asyik membaca majalah saat mendadak Pibi mengetuk alas tidur gue yang juga adalah plafon ranjangnya.
"Yang, turun sini deh."
Yah, mau apa lagi dia? Gue malas meladeninya.
"Yang, lo turun atau gue keatas untuk menjemput dan mencium lo?!"
Aseeem! Gue jadi gelagapan mendengar ancamannya.
"Iye, iye, gue turun!" Ih, sok diktator!
Pibi sedang duduk di ranjangnya sambil bersandar ke tembok. Di pangkuannya ada laptop yang terbuka. Pibi menepuk~nepuk tempat disampingnya. Terpaksa gue duduk disitu. Dia langsung memeluk bahu gue dengan posesif.
"Sini, Yang. Yuk, kita nonton film yang seru!"
Dia menekan tombol play di laptopnya. Apanya yang seru? Gue cuma melihat ada dua cowok yang asyik makan bareng sambil ngobrol doang. Eh, mendadak salah satu cowok itu menumpahkan air minum sehingga menyebabkan baju cowok lainnya basah. Lalu cowok itu otomatis membuka bajunya, tampak dadanya yang bidang dan perut sixpacknya.
Kyaaa! Asli, gue jengah menonton film ini.
"Yang, bagus mana badan gue sama cowok itu?" bisik Pibi di telinga gue.
"Bagus punya elo," jawab gue spontan. "Dia punya terlalu kekar, seperti tukang pukul. Yang bagus kayak elo, pas banget."
Hidung Pibi jadi kembang kempis mendengar pujian gue. Gue seakan melihat bintang bertaburan di matanya. Sebungah itukah dia mendapat pujian gue? Padahal, gue risih telah keceplosan bicara seperti itu. Ya ampun, mulut gue! Ingin gue plester saja mulut ember ini! Wajah gue memanas, dengan grogi gue berusaha fokus menyaksikan film di laptop Pibi.
Kampret!! Mengapa adegannya jadi hot begini! Dua cowok itu berciuman ganas sambil melucuti pakaian masing~masing. Gue sontak memejamkan mata, tapi telinga gue tak bisa diajak kerjasama! Gue masih bisa mendengar desahan~desahan e****s dua cowok m**o itu dari laptop Pibi. Tangan Pibi yang memeluk bahu gue menjadi tegang. Apa~apaan Pibi menyetel film triple X versi cowok m**o begini?!
Tak tahu berapa lama, Pibi mematikan laptopnya. Gue membuka mata dan melihatnya menutup mulutnya sambil memandang gue galau. Jangan~jangan dia ingin meniru adegan menjijikkan itu! Dengan khawatir, gue beringsut menjauh.
"Maaf, Sayang. Gue belum siap untuk saat ini," katanya pelan.
Gue melongo dan bingung.
"Gak siap apanya? Kapan siapnya?" tanya gue linglung.
"Gak siap melakukan itu. Gue jijik ngelihat adegan tadi. Sampai rasanya mau muntah. Jadi gue belum siap melakukan itu sama lo, entah sampai kapan. Lo sabar ya, sementara gue belum bisa kasih lo kenikmatan kayak gitu," ucap Pibi serius.
Gue tak tau harus menangis bahagia atau tertawa terpingkal~pingkal. Eitz! Pilihan terakhir harus di skip. Enggak ding, dua~duanya tak bisa gue lakukan! Pibi bisa tersinggung, secara dia tengah serius berat!
"Gue ngerti Pibi, jangan paksain diri lo kalau belum siap. Gue gak akan maksa lo melakukannya. Kita gak harus begituan kok. Selama~lamanya gak begituan, gue juga gak masalah kok. Tenang aja, men.."
Gue memukul pelan bahunya. Barulah Pibi bisa menghela napas lega.
"Thanks buat pengertiannya, Yang. Lo pengertian banget. Secara gue ngelihat semua pasangan m**o sering ngelakuin begituan, jadi gue pikir lo juga pengin gue begituin."
Ck! Memang kita pasangan m**o, apa?! Lo aja yang mikirnya gitu, cemooh gue dalam hati. Tapi didepan Pibi yang nelangsa, gue tersenyum manis untuk menghiburnya.
Pibi terpukau melihat senyum gue.
"Boy, ehm, apa kita coba dulu ya? Mungkin kalau ngelakuinnya sama elo kali aja gak menjijikkan seperti di film tadi. Ehm, gue kalau ngelihat mereka ciuman tadi rasanya jijik, tapi perasaan kalo gue ciuman ama elo rasanya enak banget! Jadi kalau gue melakukan itu sama elo mungkin be ...."
"Tidaaak!!" jerit gue spontan menyadari Pibi mulai diliputi keraguan.
"Apanya yang tidak?" ketus Pibi.
Gue langsung merendah.
"Ntar lo pasti jijik, Pibi. Gue gak mau lo menyesal dan trauma setelahnya! Bener!!"
"Begitu, ya?" Pibi kembali bimbang.
"Iya, teman cowok gue juga pernah kayak lo gini. Gegara penasaran, dia nekat mencobanya. Eh, abis itu dia trauma berat dan malahan putus sama pacar mahonya!"
Semoga Pibi berhasil gue takut~takuti. Jangan sampai dia memiliki pikiran aneh seperti itu lagi! Bisa bahaya posisi gue.
"Gue gak mau putus ama elo, Yang!"
Hufft. Untung, dia mulai terpancing.
"Makanya, jangan lakukan hal menjijikan itu ke gue, Pibi! Gue juga jijik kayak begituan, ntar kalau gue trauma dan gak mau dekat~dekat lo, gimana coba?"
Greb! Sontak Pibi memeluk gue erat seakan takut kehilangan gue.
"Jangan tinggalin gue, Boy! Ya sudah, kita seperti ini aja, kita gak usah melakukan itu selamanya. Gue puas cuma begini aja, asal lo disamping gue terus!"
Yes! Gue aman.
Pibi mengelus rambut gue dan mencium pucuk kepala gue. Mendadak gue merasa bersalah telah mempermainkannya.
Pasti dia menderita karena mencintai gue. Dia merasa dirinya tak normal, menjijikkan. Tapi dia terpaksa mengakui hal yang paling dibencinya itu karena tak mau kehilangan gue!
Maafin gue, Pibi. Bersabarlah untuk tiga tahun ini, setelah itu gue akan menghilang dari hidup elo. Boyke Nugroho itu tak nyata, tak akan pernah ada! Karena dia itu hanya tokoh rekayasa ....
Bersambung