Bab 11. Ingin Pulang

1156 Kata
“Ini gila,” gumamnya dengan raut wajahnya yang kembali datar, sedatar triplek. Setelahnya, Sean pun memutuskan untuk langsung keluar dari mobil miliknya dan kini menuju pintu dimana Yuri berada.   Sean, dengan gerakan perlahan mengangkat tubuh Yuri dan membawanya masuk ke dalam rumah sakit. Ia, berusaha sekeras mungkin agar Yuri tidak terbangun nantinya agar ia bisa kembali tenang. Bagaimana tidak? Sean saat ini memang belum sempat melihat serta mendengar semua ocehan Yuri saat terbangun nanti. Ya, mungkin lebih tepatnya Sean khawatir Yuri akan kembali meminta yang tidak-tidak pada dirinya nanti.   ***   Sean berhasil membawa Yuri masuk ke dalam rumah sakit tanpa harus lelaki mungil itu terbangun. Dan pada saat Sean masuk ke dalam ruangan Yuri, ia sudah mendapati sang mama yang tengah melotot marah padanya.   “Apa?” tanya Sean dengan sangat tidak sopannya.   “Kamu bisa bisa bertanya? Jam berapa ini Sean? Mengapa kamu membawa Yuri pulang sampai selarut ini? Kemana kamu membawanya hah?!” marah Seyla pada sang anak.   “Restoran,” jawab Sean singkat yang benar adanya.   “Mengapa tidak bilang dulu pada mama? Kalian kan bisa membawa makanan itu kemari bukan? mengapa tidak take away saja? Kamu kan sudah mama peringatkan Sean, jangan bawa Yuri hingga larut. Dia masih butuh perawatan yang cukup serius,” ujar Seyla yang masih dengan emosinya. Namun tetap, Seyla tidak membantak Sean atau semacamnya. Tutur katanya juga terbilang lembut untuk orang yang sedang marah.   “Maaf.” Ya, hanya itu yang dapat Sean balas dari perkataan sang mama barusan. Ia memang pada dasarnya tidak suka banyak bicara. Untuk itu, ia selalu meminimalisirkan kata-kata yang menurutnya tidak penting.   “Huh… yasudah sekarang cepat baringkan Yuri di sana. Pasti tubuhnya sudah pegal-pegal sekarang. Lihat? Dia juga sudah tertidur, itu berarti dia benar-benar kelelahan saat ini,” ujar Seyla yang kini menyuruh Sean untuk membaringkan Yuri di atas brankar rumah sakit.   Setelah membaringkan tubuh tersebut di atas brankar, Seyla terkejut saat melihat wajah sembab Yuir yang terlihat sehabis menangis.   “Sean, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa mata Yuri sembab seperti ini? Jangan bilang bahwa kamu telah membuatnya menangis?” tanya Seyla menduga-duga.   “Ya,” jawab Sean yang lagi-lagi jujur. Ya, Sean memang selalu berkata jujur. Sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah Sean berbohong pada siapapun. Apalagi sang mama yang tentunya tak dapat ia bohongi.   “Tapi karena apa Sean?” tanya Seyla lagi meminta penjelasan.   “….” Tentu saja, Sean tidak mungkin menjawab yang sesungguhnya pada sang mama. Akhirnya, ia pun memilih untuk tetap diam.   “Sean?”   “….”   “Jawab Sean.”   “….”   “Ah yasudah mama pulang saja kalau begitu. Mama sudah terkadung marah padamu. Tolong jaga Yuri baik-baik. Ingat, Yuri benar-benar mama percayakan padamu. Selamat malam,” ujar Seyla final yang langsung berlalu pergi keluar dari ruangan tersebut.   “Jelaskanlah besok pada mamamu Sean,” ujar sang papa yang kemudian ikut berlalu pergi meninggalkan dirinya dan Yuri yang saat ini masih tetap dalam kondisi tertidurnya.   “Merepotkan,” gumam Sean sembari duduk di kursi samping brankar rumah sakit.   ***   Keesokan harinya, Yuri terbangun dengan matanya yang terasa sangat sulit untuk buka. Tak hanya itu, wajahnya juga terasa sedikit kaku entah mengapa. Namun setelah diingat-ingat, selamat Yuri telah menangis cukup lama dan tidak sempat untuk membasuh wajah.   “Nii-chan?” kaget Yuri saat mendapati sosok Sean yang tampak masih tertidur pulas dengan kedua lipatan tangan dan kepala yang ditumpukan pada brankar.   Mengapa Nii-chan tidur di sini? Bukankah seharusnya Nii-chan kembali ke rumahnya? Kalaupun menginap, menagpa tidak tidur di sofa saja yang lebih layak?— Tanya Yuri dalam hati.   “Apa sebaiknya Yuri bangunkan saja dulu ya? Bukankah Nii-chan pasti merasa sakit karena tertidur dalam posisi seperti ini?” tanya Yuri pada dirinya sendiri sebelum pada akhirnya membulatkan tekad untuk membangunkan pemuda dingin itu.   “Nii-chan,” panggil Yuri sekali pada Sean.   “Nii-chan, bangun….” Kini, Yuri tak hanya memanggil, namun ia juga mengguncang pelan bahu tegap milik Sean.   Tak lama kemudian, usaha Yuri pun berhasil. Akhirnya, Sean pun mulai terbangun dari tidurnya. Yuri, menatap lekat paras mempesona Sean yang baru saja terbangun dari tidur. Sungguh, wajah bantal Sean sangatlah memukau hati banyak wanita.   “Apa?” tanya Sean pada Yuri dengan ssuara seraknya setelah matanya kini sudah terbuka sempurna.   “T-tidak Nii-chan, hanya saja Yuri ingin membangunkan Nii-chan untuk pindah. Bukankah badan Nii-chan akan menjadi pegal-pegal jika tidur dalam posisi seperti itu?”   “Tidak.”   “Benarkah?” tanya Yuri lagi memastikan.   “Ya.”   “Um… baiklah kalau memang begitu. Ngomong-ngomong apakah bibi dan paman sudah pulang Nii-chan?” tanya Yuri pada Sean.   “Sudah.”   “Dari jam berapa?”   “Malam.”   “Ah, begitu ya? Kalau Yuri, kapan bisa kembali pulang ke rumah, Nii-chan?” tanya Yuri yang kini perihal mengenai dirinya sendiri.   “Tidak tahu.”   “Ah, apakah dokter tidak memberitahukannya?”   “Tidak.”   “Bagaimana dengan bibi?”   “Maksudnya?”   “Apakah bibi mengetahui tentang hal ini?”   “Tidak.”   “Nii-chan tahu darimana? Memangnya bibi bercerita pada Nii-chan?” tanya Yuri yang mulai membuat kepala Sean kembali pusing di pagi hari.   “Tidak.”   “Lantas, mengapa Nii-chan—“   “Diam.” Sean, dengan tegasnya menyuruh agar Yuri diam tak bersuara lagi. Sungguh, terkadang Sean benar-benar merasa pusing ketika Yuri mulai banyak bertanya padanya.   “M-maafkan Yuri Nii-chan. Maaf Yuri selalu membuat kesalahan,” ujar Yuri merasa bersalah.   “Diam.”   “Baik Nii-chan,” balas Yuri menurut yang benar-benar sudah tak berani berkutik lagi.   Tak lama kemudian, pintu ruangan pun diketuk yang membuat Sean mau tak mau harus membukakan pintu tersebut.   Cklek…!   “Selamat pagi, saya perawat yang bertugas untuk mengecek keadaan pasien,” ujar perempuan yang memakai pakaian khas perawat itu.   “….” Sean tak menjawab, namun ia tetap mempersilahkan perawat tersebut untuk masuk dan mengecek keadaan Yuri.   Setelah selesai melakukan pengecekan, perawat tersebut tersenyum pada Yuri yang sedang murung. Tentu, ia mengetahui bahwa pemuda manis ini sudah sangat tidak nyaman berada di rumah sakit.   “Kondisimu sudah lebih membaik, apa kamu ingin pulang?” tanya perawat tersebut pada Yuri.   “I-iya, apakah Yuri boleh pulang?”   “Tentu, nanti akan saya sampaikan pada dokter ya. Akan tetapi, keluarga Yuri juga harus menyetujui terlebih dahulu,” jawab perawat itu.   “Akan tetapi Yuri sudah tidak punya keluarga lagi yang dapat menyetujui,” ujar Yuri dengan kening berkerut.   “Loh? Lalu kakak ini siapa Yuri?”   “Nii-chan.”   “Ah baik kalau begitu biar saya yang berbicara padanya ya. Sekarang, istirahat dulu saja, sebentar lagi sarapan akan datang,” ujar perawat tersebut pada Yuri kemudian beralih pada Sean yang tengah berada di depan pintu ruangan.   “Permisi, saya hanya ingin memberitahukan bahwa kondisi Yuri saat ini sudah membaik. Jadi, jika pasien memang ingin pulang hari ini, saya akan mengonfirmasikannya pada dokter. Akan tetapi apa pihak keluarga menyetujui?” tanya perawat tersebut pada Sean yang sedaritadi terdiam.   “Ya,” jawab Sean tanpa berpikir terlebih dahulu ataupun membicarakan pada sang mama yang mungkin saja tidak menyetujui.   “Baiklah, kalau begitu akan saya konfirmasikan terlebih dahulu pada dokter. Kalau begitu saya permisi,” ujar perawat tersebut yang kemudian berlalu pergi keluar ruangan. Meninggalkan Yuri yang kini tengah gugup karena Sean menatapnya dengan sangat tajam. ~~ Bersambung ~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN