“Permisi, saya hanya ingin memberitahukan bahwa kondisi Yuri saat ini sudah membaik. Jadi, jika pasien memang ingin pulang hari ini, saya akan mengonfirmasikannya pada dokter. Akan tetapi apa pihak keluarga menyetujui?” tanya perawat tersebut pada Sean yang sedaritadi terdiam.
“Ya,” jawab Sean tanpa berpikir terlebih dahulu ataupun membicarakan pada sang mama yang mungkin saja tidak menyetujui.
“Baiklah, kalau begitu akan saya konfirmasikan terlebih dahulu pada dokter. Kalau begitu saya permisi,” ujar perawat tersebut yang kemudian berlalu pergi keluar ruangan. Meninggalkan Yuri yang kini tengah gugup karena Sean menatapnya dengan sangat tajam.
“Nii-chan k-kenapa?” Tanya Yuri takut-takut pada Sean.
“Tidak.”
“Lantas, mengapa Nii-chan menatap Yuri seperti itu?”
“Tidak.”
“Apa Nii-chan marah pada Yuri?” tanya Yuri lagi yang benar-benar mereka ada yang tidak beres dengan Sean.
“Tidak.”
“Benarkah? Nii-chan tidak sedang berbohong?” tanya Yuri untuk yang terakhir kalinya guna memastikan.
“Tidak. Yuri.” Sean, menjawab dengan penuh penekanan di setiap katanya.
“B-baiklah kalau begitu,” balas Yuri dengan kepala tertunduk.
***
Seperti yang dikatakan, Yuri sudah diperbolehkan untuk pulang. Kini, Sean dan Yuri tengah berada di parkiran rumah sakit. Jangan lupakan, Sean sama sekali tidak pernah memberitahukan perihal kepulangan Yuri pada kedua orang tuanya.
“Nii-chan, apakah Yuri tidak perlu pamit pada bibi dan paman?” tanya Yuri sembari mendongak menatap Sean yang jauh lebih tinggi darinya.
“Tidak.”
“Akan tetapi Yuri merasa sangat tidak sopan jika—“
“Diam. Masuk!” titah Sean dengan raut wajahnya yang tampak gusar.
“B-baiklah Nii-chan,” balas Yuri takut yang langsung masuk ke dalam mobil milik Sean. Sungguh, Yuri sangat takut ketika orang lain marah padanya. Ya, meskipun reaksinya terkadang biasa saja. Namun pada dasarnya, Yuri sangatlah rapuh. Ia akan terguncang ketika orang lain meninggikan suara. Karena apa? Tentu karena ia trauma akan suara yang berfrekuensi tinggi. Turi, takut akan suara petir, bentakan, dan lain-lain.
***
Kini, keduanya sudah sampai di rumah Yuri. Ya, Sean memang mengantar pemuda manis itu sampai ke rumah. Sepanjang perjalanan, keduanya pun juga tak mengeluarkan sepatah katapun. Yuri, memilih untuk diam agar tidak membuat Sean marah.
“Nii-chan ingin mampir?” tanya Yuri takut-takut pada Sean.
“....”
“B-baiklah jika Nii-chan tidak ingin mampir. Kalau begitu Yuri—“
“Ya.” Ujar Sean tiba-tiba yang membuat Yuri sedikit bingung.
“Maksud Nii-chan?” tanya Yuri yang tampak tak paham dengan maksud perkataan tiba-tiba Sean.
“Masuk.”
“Ah, Nii-chan ingin masuk ke dalam?” tanya Yuri lagi memastikan.
“Ya.”
“Baiklah, silahkan masuk Nii-chan.” Yuri, mempersilahkan Sean untuk masuk ke dalam rumah.
“Nii-chan duduk dulu ya, Yuri akan membuatkan—“
“Tidak.” Potong Sean sembari menahan pergelangan tangan mungil milik Yuri.
“Eh? Tapi apa Nii-chan tidak haus?” tanya Yuri pada pria dingin itu.
“Tidak.”
“B-baiklah Nii-chan.”
“Tidur.”
“Maaf?”
“Tidur.”
“Nii-chan menyuruh Yuri untuk tidur?” tanya Yuri memastikan.
“Ya.”
“Akan tetapi—“
“Tidur,” titah Sean lagi pada pemuda manis itu.
“Ini masih siang Nii-chan,” ujar Yuri yang sedikit protes.
“Tidur. Siang.” Dengan penuh penekanan, Sean melontarkan kalimatnya.
“Tapi bagaimana dengan—“
“Tidur. Yuri.”
“B-baiklah Nii-chan,” balas Yuri menurut pada akhirnya.
Kemudian, Yuri pun membaringkan tubuhnya di atas futon kecil yang sangat pas dengan tubuh mungilnya. Pemuda manis itu langsung menenggelamkan kepalanya ke dalam futon. Ya, sesekali ia juga mengintip keluar juga melirik Sean yang ternyata kini tengah menatapnya lekat.
“Um… Nii-chan tidak ingin ikut tidur?” tanya Yuri pada Sean memberanikan diri.
“Tidak.”
“Mengapa? Ayo tidur saja bersama Yuri, Nii-chan pasti lelah kan tadi sudah mengantar Yuri kemari?” tanya Yuri lagi yang membuat Sean menghela napasnya panjang.
“Tidur. Yuri,” titah Sean pada Yuri.
“Tapi Nii-chan, Yuri—“
Drtt…
Ponsel Sean bergetar, yang menandakan panggilan bahwa ada panggilan masuk. Setelah melihat siapa yang menelpon, Sean pun tanpa berminat langsung menolak panggilan tersebut.
“Mengapa Nii-chan menolaknya?” tanya Yuri dengan dahi berkerut heran.
“Bukan. Urusanmu,” jawab Sean dingin yang sontak membuat Yuri diam sejenak.
***
Yuri, terbangun dari tidurnya dengan segera. Ia juga merutuki dirinya yang harus tertidur tadi. Saat ini, Sean tampak tak ada di rumahnya. Dan tentu Yuri berpikir bahwa pria dingin itu sudah pulang.
“Akan tetapi, mengapa Nii-chan tidak membangunkan Yuri saat dia ingin pergi?” tanya Yuri pada dirinya sendiri dengan raut wajah murungnya.
“Hum… sepertinya Yuri masih bisa untuk berangkat kerja bukan?”
“Ah baiklah, kalau begitu lebih baik Yuri bersiap-siap sekarang,” ujar Yuri yang kemudian sigrah untuk bersiap-siap menuju tempat kerjanya.
Ya, Yuri memutuskan untuk bekerja hari ini karena ia mengingat bahwa kemarin ia sudah tidak masuk kerja tanpa alasan dan kabar. Tentu, Yuri masih membutuhkan pekerjaan tersebut dan tidak ingin dipecat dari sana.
Setelah selesai bersiap, kini Yuri mulai melangkahkan kakinya menuju luar rumah. Mungkin lebih tepatnya kini Yuri tengah berangkat ke tempat kerjanya. Dan saat ia sampai di rumah makan, wanita paruh baya dan pemuda yang lebih tua darinya pun kini tengah memasang wajah ketus mereka.
“Kamu darimana saja Yuri?” tanya wanita paruh baya tersebut yang ternyata merupakan Sora.
“M-maaf bibi Sora, kemarin Yuri sakit… jadi Yuri—“
“Alasanmu itu sakit huh? Sangat tidak bermutu. Kamu tahu? Di sini, kita yang sedang sakit pun harus tetap bekerja meskipun sedang lemas dan pucat. Dan kamu? Hanya karena sakitmu yang tidak seberapa parah, kamu memilih untuk tidak bekerja tanpa membuat surat izin, atau memberi kabar? Dimana akal sehatmu Yuri?” tanya pemuda tersebut yang tak lain tak bukan merupakan Riki.
“Maafkan Yuri kak, Yuri memang bersalah. Akan tetapi Yuri mengalami kecelakaan kecil yang mengharuskan Yuri untuk berada di rumah sakit kemarin. Maka dari itu, Yuri tidak sempat untuk membuat surat izin terlebih dahulu,” jawab Yuri dengan kepala tertunduk.
“Ah, tidak perlu meminta maaf Yuri. Aku sudah melaporkannya pada atasan. Dan kamu, diminta untuk keluar dari rumah makan ini sekarang juga!” ujar Sora yang membentak di akhir kalimatnya.
“A-apa? K-kenapa bibi?” tanya Yuri yang bingung.
“Memang kalau pada dasarnya bodoh itu susah ya. Kamu ini dipecat dari rumah makan ini Yuri. Kamu sudah tidak boleh bekerja di sini lagi,” jawab Riki yang membuat mata Yuri terbelalak seketika.
“T-tapi kak, Yuri mohon… jangan pecat Yuri… Yuri benar-benar minta maaf atas kesalahan Yuri kemarin,” ujar Yuri yang kini memohon.
“Kamu pikir dengan meminta maaf semua masalah akan selesai? Tentu saja tidak dasar bodoh! Sudah, sekarang cepat kamu pergi dari sini. Aku sudah terlalu muak melihat wajah sok polosmu itu di hadapanku!” balas Sora dengan kening yang ia kerutkan dan langsung berlalu masuk ke dalam guna melnjutkan tugasnya yang tadi sempat tertunda karena harus berbincang dengan Yuri.
“Nah, sekarang kamu sedang menunggu apa lagi Yuri? Sudah sana cepat pergi dari sini! Atau kamu ingin aku panggilkan satpan untuk menyeretmu keluar rumah makan?” tanya Riki sembari memutar kedua bola matanya jengah.
“T-tidak kakak, kalau begitu Yuri akan keluar sekarang. Terima kasih sebelumnya,” jawab Yuri sembari tersenyum pada Riki kemudian berlalu keluar rumah makan agar ia tidak kembali dimarahi lagi nantinya.
Di perjalanan, Yuri benar-benar mencemaskan sesuatu. Ya, tentu saja ia mencemaskan nasibnya. Biasanya, setiap siang ia akan mendapatkan jatah makan. Namun mulai sekarang, sepertinya tidak lagi.
“Aku harus membeli makan pakai apa? Jika aku memakai uang tabunganku, aku tidak akan bisa membeli kanvas dan kuas nantinya,” gumam Yuri dengan sangat gelisah.
~~Bersambung~~