Pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok mama dan papa Sean yang baru saja kembali. Mama Sean, tampak menampilkan senyum manisnya untuk Yuri yang tentu juga membalasnya.
“Maaf ya Yuri, bibi dan paman harus menunggu dokternya selesai praktek tadi, jadi agak lama. Tidak masalah kan?” tanya mama Sean dengan raut wajah sedihnya.
“Tidak apa-apa bibi, Yuri senang karena bisa berbincang sejenak dengan kak Sean,” jawab Yuri dengan senyum yang senantiasa terpatri di kedua sudut bibirnya.
“Benarkah dia berbincang dengan Yuri?” tanya mama Sean dengan kaget. Ya, tentu saja wanita paruh baya tersebut mengetahui watak sang anak yang sangat pendiam dan juga irit bicara.
“Hu'um, memangnya kenapa bibi?”
“T-tidak apa-apa, kalau begitu lebih baik sekarang kita berangkat yuk... Hari semakin sore, dokter tidak menyarankanmu untuk pulang malam,” ujar mama Sean yang dibalas anggukan mantap oleh Yuri.
“Ahh...!” ringis Yuri saat dirinya memaksa untuk bangkit dari brankar rumah sakit. Tentu, jangan lupakan bahwa infus yang terpasang di tangan Yuri belum di lepas.
“Ah?! Maaf Yuri bibi lupa. Tunggu bibi akan panggilkan suster segera,” ujar mama Sean panik yang langsung bergegas keluar guna memanggil suster untuk meminta bantuan.
***
Saat ini, keempatnya tengah berada di parkiran rumah sakit. Yuri, saat ini sedang berada di dalam gendongan Sean yang nampak kuat. Ya, tentu saja mama Sean khawatir jika Yuri akan lemas dan terjatuh nantinya jika berjalan sendiri.
“Sean, kamu naik sendiri saja ya… Yuri biar kami yang membawa,” ujar mama Sean pada sang anak.
“Tidak,” balas Sean tegas.
“Nanti kamu akan kesulitan, lagipula kamu sering mengebut… kasihan Yuri nanti,” ujar mama Sean berusaha membujuk sang anak agar mau menurut.
“Tidak,” balas Sean lagi yakin.
“Tapi Sean—“
“Tidak.”
“Baiklah kalau begitu, tapi hati-hati ya bawa mobilnya, jangan cepat-cepat,” ujar mama Sean pada akhirnya namun tetap memberi peringatan pada Sean untuk tidak mengebut.
“Ya,” balas Sean lalu dengan perlahan membawa Yuri masuk ke dalam mobil miliknya. Setelahnya, barulah ia yang masuk dan mulai mengemudikan mobil mewah tersebut menjauh dari parkiran rumah sakit.
“Ah anakmu itu sangat keras kepala tuan Maxim,” ujar mama Sena pada sang suami.
“Jangan lupakan bahwa kita yang membuatnya nyonya Seyna,” balas Maxim pada istrinya itu.
“Terserah saja, sudah ayo kita susul mereka,” ujar Seyla pada sang suami yang langsung diberi anggukan mantap dari Maxim.
***
Sepanjang perjalanan, baik Yuri maupun Sean tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Ya, suasana mobil memang terbilang sangat canggung. Entah, Yuri sendiri merasa tidak enak hati karena baru menyadari bahwa ia telah merepotkan keluarga sang ‘kakak’.
“Nii-chan?” panggil Yuri hati-hati pada Sean yang kini tengah fakus menyetir.
“Hm.”
“Apakah Nii-chan marah?” tanya Yuri takut-takut.
“Tidak.”
“Yuri minta maaf, Yuri benar-benar merepotkan Nii-chan, bibi dan juga paman,” ujar Yuri merasa bersalah.
“Tidak.”
“Benar seperti yang kakak katakan tadi, Yuri sangat keras kepala. Seharusnya Yuri tidak meminta Nii-chan, bibi, dan paman untuk mengantar Yuri ke—“
“Diam.” Belum sempat Yuri menyelesaikan kalimatnya, Sean sudah lebih dulu memotong.
“M-maaf Nii-chan,” balas Yuri yang kembali menundukkan kepalanya takut.
“Kemana?” tanya Sean yang membuat Yuri mengerutkan dahi bingung.
“Maksud Nii-chan?”
“Nenek.”
“Ah, Nii-chan sedang menanyakan arah dimana nenek Yuri berada ya?” tanya Yuri yang pada akhirnya paham dengan pertanyaan singkat Sean.
“Ya.”
“Lurus, terus belok kanan… setelah itu lurus terus belok kiri… nanti ada pertigaan Nii-chan, kita tetap lurus saja terus. Tempatnya tidak jauh dari sini kok,” ujar Yuri menjelaskan arah tempat tersebut sejelas mungkin.
“Hm.”
“Tapi Nii-chan, bolehkah Yuri merepotkan Nii-chan sedikit lagi?” tanya Yuri dengan polosnya yang membuat Sean memijat pangkal hidungnya sendiri pusing.
“Ck, apa?”
“Sebelum sampai di sana, nanti ada toko bunga… bolehkah Yuri mampir sebentar? Nenek sangat menyukai bunga,” jawab Yuri dengan mata berbinarnya.
“Ya,” balas Sean sembari menghela napas panjang.
“Terima kasih Nii-chan!” seru Yuri dengan senyum sumringah.
“Hm.”
Setelah dirasa sudah dekat dengan arah tujuan, Yuri dengan fokus mengamati jalanan. Ia tidak ingin toko bunga tersebut samapi terlewat. Dan saat sudah dekat dengan toko bunga yang dituju, Yuri pun segera memberitahukannya pada Sean.
“Nii-chan, toko bunganya yang itu!” ujar Yuri sembari menunjuk ke arah toko yang dimaksud.
“Hm.”
Setelah sampai di toko bunga, kini Yuri tengah sibuk mencari bunga-bunga yang tersedia. Sesekali, ia membuka kepalan tangannya yang berisikan selembar uang kertas sepuluh ribuan.
“Bibi, berapa harga bunga ini?” tanya Yuri pada penjual bunga.
“Kalau yang itu harganya seratus ribu dek,” jawab penjual tersebut dengan ramah.
“Kalau yang ini?”
“Yang itu lima puluh ribu.”
“Yang ini bibi?”
“Yang ini harganya tiga puluh tiga ribu,”
“Hm, bagaimana dengan yang ini?” tanya Yuri lagi yang membuat si penjual bunga itupun terkekeh.
“Yang ini harganya dua puluh lima ribu. Memangnya, adik punya uang berapa?”
“Yuri hanya punya sepuluh ribu bibi, apa tidak ada ya?” tanya Yuri dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Ah, ada kok… tetapi hanya satu tangkai bunga mawar, tidak apa?”
“Ya, tidak apa bibi!” balas Yuri dengan antusias.
“Baiklah bibi ambilkan sebentar ya,” ujar penjual bunga tersebut yang kemudian mengambilkan setangkai bunga mawar untuk Yuri.
“Ini,” ujar Sean yang sontak membuat penjual bunga tersebut dan Yuri sontak menoleh dengan dahi mengernyit.
“Maaf?”
“Saya beli,” ujar Sean yang lebih jelas. Tentu, penjual bunga tersebut paham.
“Ah, baik. Saya akan membungkusnya setelah ini,” ujarnya dengan senyum ramah.
“Nii-chan mengapa membeli bunga? Untuk siapa?” tanya Yuri pada Sean heran.
“Tidak.”
“Nii-chan, bisakah dua kata?”
“Tidak ada.”
“Ah, dua kata saja Yuri masih belum mengerti. Maaf Nii-chan, Yuri memang bodoh,” ujar Yuri dengan cengiran menggemaskannya.
“Ya.” Sungguh, Sean memang sangat irit berbicara.
***
Kini, Yuri dan Sean sudah berada tepat di tempat tujuan. Bagaimana reaksi Sean setelah melihat tempat tersebut? Tentu saja terkejut. Bagaimana tidak? Tempat yang dimaksud oleh Yuri ini merupakan tempat pemakaman.
Drrtt…
Ponsel Sean bergetar, yang menandakan bahwa ada telpon yang masuk. Dengan segera, Sean pun mengangkat panggilan tersebut setelah melihat bahwa sang mama lah yang menelponnya.
“Sean, kamu sudah sampai di tempat?” tanya sang mama dari seberang sana.
“Ya.”
“Kamu berada di mananya? Apa kamu yakin benar saat memberikan alamatnya pada mama? Kenapa sekarang mama dan papa malah berada di sekitar tempat pemakaman?” tanya Seyla bertubi-tubi. Sungguh, wanita paruh baya itu benar-benar bingung saat ini.
“Ya.”
“Maksud kamu?”
“Benar.”
“Benar tempat pemakaman?!” kaget Seyla berusaha memastikan.
“Ya.”
“Ah… baiklah. Posisimu dengan Yuri sekarang berada di mana?”
“Pintu masuk.”
“Baiklah kalau begitu mama dan papa akan segera kesana,” balas Seyla yang langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
“Nii-chan? Paman dan bibi sudah sampai juga ya?” tanya Yuri menatap Sean yang jauh lebih tinggi darinya.
“Ya.”
“Bolehkah kita masuk lebih dulu?”
“Tidak,” jawab Sean tegas yang sontak membuat Yuri terdiam seketika.
“Yuri! Sean!” panggil Seyla yang menuju ke arah keduanya bersama dengan sang suami.
“Bibi!” balas Yuri sembari melambaikan tangannya pada mama Sean.
~~ Bersambung ~~