Bab 9. Memalukan Atau Mempermalukan?

1069 Kata
“Nii-chan? Paman dan bibi sudah sampai juga ya?” tanya Yuri menatap Sean yang jauh lebih tinggi darinya.   “Ya.”   “Bolehkah kita masuk lebih dulu?”   “Tidak,” jawab Sean tegas yang sontak membuat Yuri terdiam seketika.   “Yuri! Sean!” panggil Seyla yang menuju ke arah keduanya bersama dengan sang suami.   “Bibi!” balas Yuri sembari melambaikan tangannya pada mama Sean.   “Yuri, nenek benar-benar ada di sini ya?” tanya Seyla dengan raut wajah sedihnya.   “Iya bibi. Ayo masuk, Yuri sudah tidak sabar,” jawab Yuri lalu menarik tangan Seyla pelan agar mengikutinya masuk ke dalam tempat pemakaman.   Setelah sampai di salah satu makam yang terletak di tepi tempat pemakaman, Yuri menghentikan langkahnya. Kaki mungilnya, bergerak maju guna meletakkan setangkai bunga mawar yang telah dibelinya tadi untuk sang nenek tercinta.   “Selamat malam nenek. Maaf Yuri baru sempat untuk datang berkunjung lagi ya… sudah lama sekali sejak waktu itu. Yuri tidak mempunyai cukup uang untuk datang kemari. Hari ini, kebetulan sekali Yuri sedang berada di rumah sakit dekat sini. Beruntung karena Nii-chan, bibi, dan paman adalah orang baik, mereka mau membawa Yuri kemari untuk menemui nenek. Oh iya, Yuri belum memperkenalkan mereka pada nenek ya? Baiklah kalau begitu—”   “Malam nenek Yuri, saya Seyla… orang yang sudah diselamatkan oleh cucu anda dalam kecelakaan. Ini suami saya Maxim, dan ini putra tinggal saya Sean. Maaf karena saya, cucu anda jadi harus mengalami kecelakaan seperti ini,” ujar Seyla memotong ucapan Yuri barusan. Ia, memperkenalkan dirinya sendiri beserta keluarganya dengan sedikit membungkuk guna memberi hormat.   “Yuri tidak apa-apa kok nenek… justru berkat Yuri masuk rumah sakit, Yuri jadi bisa mengunjungi nenek. Yuri sangat merindukan nenek, sayangnya kini Yuri tidak bisa memeluk nenek lagi,” lanjut Yuri yang perlahan murung.   “Tidak apa-apa Yuri, kamu dan nenek bisa berpelukan di mimpi bukan?” tanya Seyla sembari mengelus punggung Yuri dengan lembut.   “Iya bibi,” balas Yuri yang kemudian tersenyum kembali.   “Sudah malam, apa tidak sebaiknya kita kembali sekarang?” tanya Maxim sembari melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8 malam.   “Ah, benar juga… kalau begitu Yuri kembali sekarang tidak apa-apa ya?” tanya Seyla pada Yuri.   “Um… tidak apa-apa bibi. Lain waktu Yuri bisa kembali bermain di sini kok,” jawab Yuri dengan senyum lembutnya.   “Baiklah, kalau begitu Sean sekarang antar Yuri kembali ke rumah sakit duluan ya, mama dan papa ada urusan sebentar,” ujar Seyla pada sangat anak yang sedaritadi diam.   “Ya,” balas Sean kemudian menaruh bunga yang ia beli dengan Yuri tadi di atas makan nenek Yuri. Setelahnya, barulah ia berlalu pergi menjauh dari malam tersebut menuju mobilnya. Tentu saja, Yuri yang mengerti pun lantas langsung mengekori Sean.   “Mulai sekarang, kami akan terus memperhatikan Yuri nenek. Kami akan menganggap Yuri sebagai anak kami sendiri,” ujar Seyla setelah Yuri dan Sean masuk ke dalam mobil. Ya, Seyla dan Maxim sudah memutuskan bahwa mereka akan menganggap bahwa Yuri merupakan adik dari sang anak. Tidak, keduanya tidak akan mengadopsi Yuri sebagai anak mereka. Namun, keduanya akan menjaga serta merawat Yuri layaknya kedua orang tua bagi pemuda manis itu.   ***   Di sisi lain, saat ini Sean memarkirkan mobilnyamobilnya di suatu tempat makan. Ya, ia memutuskan untuk mampir kemari karena mendengar suara perut Yuri yang berbunyi sejak tadi mereka berada di dalam perjalanan.   “Maafkan Yuri ya Nii-chan, Yuri sudah banyak merepotkan Nii-chan,” ujar Yuri merasa bersalah dengan kepala tertunduk dan juga jemari tangan yang ia kaitkan satu sama lain.   “Hm,” balas Sean yang kemudian bergegas keluar dari mobilnya.   Saat Yuri hendak membuka pintu mobil, Sean rupanya sudah lebih dulu membukakan pintu untuknya. Dan saat pemuda mungil itu hendak keluar, Sean sudah lebih dulu menggendong tubuhnya ala bridal style yang tentu membuat Yuri pun tersentak.   “Nii-chan…,” cicit Yuri saat pipinya mulai memanas akibat perlakuan Sean barusan terhadapnya.   “Apa?” tanya Sean dengan dahi mengernyit. Saat ini, pria itu sudah melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran. Tahukah kalian? Kini keduanya sudah menjadi tontonan gratis orang-orang yang melihat mereka.   “Yuri malu, orang-orang tengah memperhatikan kita sekarang. Mereka melihat—“   “Mereka punya mata,” potong Sean yang sontak membuat Yuri terkejut bukan main.   “Nii-chan berbicara lebih dari dua kata!” pekik Yuri tanpa sadar yang membuat orang-orang yang tengah menatap keduanya mencibir tak suka.   “M-maaf…,” cicit Yuri setelahnya yang memilih untuk menenggelamkan wajahnya di curug leher Sean.   “Turun,” titah Sean setelah menemukan tempat duduk untuk keduanya.   “I-iya,” balas Yuri kemudian berusaha untuk turun dari gendongan Sean yang terbilang cukup tinggi untuk kaki mungilnya.   “Terima kasih Nii-chan,” ujar Yuri berterima kasih setelah duduk di kursi yang sudah disediakan.   “Hm.”   “Nii-chan, bolehkan Yuri bertanya sesuatu?” tanya Yuri pada Sean.   “….” Tak menjawab, Sean hanya menaikkan sebelah alisnya yang tentu sudah membuat Yuri paham.   “Kenapa Nii-chan membawa Yuri kemari?” Pertanyaan polos, terlontar dari bibir mungil itu.   “Makan,” jawab Sean yang tentu saja benar adanya.   “Mengapa harus ke restoran mewah seperti ini? Apa Nii-chan tidak rugi? Bagaimana jika nanti uang Nii-chan habis karena membelikan Yuri makanan yang ada di restoran ini? Yang Yuri tahu, satu menu saja biasanya sudah hampir mencapai—“   “Diam.” Lagi, lagi, dan lagi. Sean, selalu saja memotong perkataan yang Yuri lontarkan. Tentu, hal tersebut terkadang membuat Yuri sedih bahkan merasa bersalah.   “Maaf Nii-chan, Yuri tidak akan bertanya macam-macam lagi,” balas Yuri dengan kepala tertunduk. Tak lama kemudian, pelayan pun datang guna menanyakan apa yang akan mereka pesan.   “Mau pesan apa tuan-tuan?” tanya pelayan tersebut dengan ramah kepada Sean dan juga Yuri.   “Carbonara,” jawab Sean setelah melihat daftar menu.   “Minumannya?”   “Milkshake cokelat.”   “Kalau tuan ingin pesan apa?” tanya pelayan tersebut yang kini beralih pada Yuri.   “Um… Nii-chan, Yuri harus memesan apa?” tanya Yuri pada Sean meminta pendapat.   “Terserah.”   “Nii-chan, Yuri tidak tahu.”   “….”   “Um… Yuri tidak makan boleh? Makanannya mahal-mahal sekali,” ujar Yuri dengan polosnya. Sang pelayan restoran pun ingin tertawa saat mendengar lontaran perkataan polos Yuri.   “Pilih.”   “Yuri tidak mau.”   “Pilih.”   “Tidak mau.”   “Pilih.”   “Yuri tidak mau Nii-chan.”   “Cepat pilih!” Mendengar bentakan dari Sean pun, Yuri berjengit takut.   “Maafkan Yuri Nii-chan,” balas Yuri dengan kepala tertunduk.   “J-jadi, tuan ingin memesan apa?” tanya pelayan restoran yang mulai kikuk karena suasana menjadi menegang.   “Pilih!”   “Air putih.”   “Hahahahaha!” semua orang yang tak sengaja mendengar ucapan Yuri itupun sontak tertawa. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Seketika, orang-orang yang tengah tertawa pun bungkam setelah menyadari tatapan tajam yang Sean arahkan pada semua orang. Ah, tatapan Sean memang terkadang sangatlah berpengaruh besar. Baik itu pada perempuan, maupun laki-laki.   “Ck, kamu ini.” Sean benar-benar geram dan tak terima karena pemuda manisnya ini ditertawakan banyak orang.   “Maaf! Maafkan Yuri!” seru Yuri lantang terhadap semuanya.   “Sama,” ujar Sean final pada sang pelayan restoran. Tentu saja, pelayan tersebut pun tahu dan bergegas pergi ke belakang guna melaporkan pesanan.   “Maaf karena Yuri sudah membuat Nii-chan malu,” cicit Yuri dengan kepala tertunduk.   Sean mendecak sebal, kemudian ia mengangkat dagu Yuri agar mendongak menatapnya. Sontak, ia pun tersentak ketika melihat air mata Yuri yang sudah berlinangan. “Kenapa?” tanya Sean dengan dahi mengernyit heran. ~~ Bersambung ~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN