Teman apa pacar?

2533 Kata
Randy tak menyangka, dirinya akan mempermalukan dirinya dihadapan Rayana semalam. Kenapa juga dirinya harus lupa membawa dompetnya? Bukan, itu bukan salahnya. Semua itu salah mamanya yang sudah meninggalkannya di rumah Rayana tanpa memberinya uang. Memangnya naik taksi bisa dihutang? Meskipun bisa, Randy tak mungkin melakukannya. Wajah tampan dengan tubuh atletis, naik taksi saja ngutang? Mau ditaruh dimana mukanya. Belum lagi kalau supir taksi itu ternyata mulutnya ember. Benar-benar bisa hancur reputasinya selama ini. Kalau sampai teman-teman sekolahnya tau. Bisa-bisa Randy tak akan dikelilingi para gadis-gadis lagi yang sudah mengantri untuk menjadi kekasihnya. Randy terkejut saat ada yang menepuk bahunya dari belakang. “Ngangetin aja lo!” “Lagi ngelamunin apa sih lo, sampai lo gak denger itu suara bel sudah berbunyi? Lo mau tidur disini?” Randy menatap ke bawah. Saat ini dirinya ada di atas sekolahnya. Ia tak mengikuti jam pelajaran terakhir. “Apa Bu Dewi tadi nyariin gue?” “Gue tadi bilang lo lagi sakit perut dan tidur di ruang UKS. Ran, bukannya nyokap lo pengen lo dapat nilai baik ya terus tahun ini bisa naik kelas?” “Lo gak usah ikut campur. Gue pasti naik kelas tahun ini.” Randy mengambil tas yang ada di tangan Rio. “Yuk cabut,” ajaknya kemudian, lalu melangkah pergi. Rio mengejar Randy, berjalan beriringan dengan sahabatnya itu. “Satria udah pulang duluan, katanya dia mau jenguk nyokapnya di rumah sakit.” Randy hanya mengangguk. Saat mereka menuruni anak tangga, mereka berpapasan dengan Riska, gadis yang sudah cinta mati sama Randy. “Ran, gue mau bicara.” “Ck, lo gak punya malu ya? Randy sudah tolak lo, tapi lo masih aja ngejar. Emangnya terong Randy sehebat itu ya sampai lo gak mau ngelepas Randy?” “Lo gak usah ikut campur! Daripada lo ngurusin urusan orang lain, mending lo pikir urusan lo sendiri dan pergi dari sini deh!” seru Riska tak suka. “Ck, yang harusnya pergi itu lo, bukan gue.” Rio lalu maju selangkah, mendekat ke arah Riska. “Lo mau nyoba sama gue gak? Gue yakin, gue juga bisa puasin lo,” ucapnya dengan tersenyum menyeringai. “Jaga mulut lo ya!” geram Riska sambil mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan jari telunjuknya di depan wajah Rio. “Gue gak akan tetap diam saat lo terus ngehina gue!” Randy yang tak ingin mencari masalah dengan mantan kekasihnya itu memilih untuk pergi. Biarkan saja Rio terus mengajak Riska ribut, itu bukan urusan dia. “Ran!” teriak Riska saat melihat Randy yang justru pergi begitu saja. “Kasihan deh lo. Emang enak ditolak mulu. Gue kasih tau sama lo ya, mau sekeras apapun lo ngejar Randy, dia gak akan pernah balik sama lo lagi. Dia gak mungkin memungut sampah yang sudah dia buang,” ucap Rio dengan tersenyum menyeringai. Tapi Rio salah, kalau Riska hanya akan diam saja. Mantan Randy itu adalah tipe cewek yang tak mudah menyerah. Dia akan terus mengejar Randy, sampai pria berwajah tampan itu menjadi miliknya lagi. “Lo lihat saja nanti. Gue akan buktikan sama lo, kalau gue akan bisa dapetin Randy lagi!” seru Riska lalu melangkah pergi dari tempat itu. “Kelihatan murahan banget lo, Ris. Emang berapa kali Randy sudah masukin lo, sampai lo ngebet banget pengen balik sama itu anak?” Rio mengumpat, saat dirinya baru menyadari kalau sekarang dirinya hanya sendirian di tempat itu. Mungkin saat ini Randy sudah sampai di parkiran. “Sialan! Gue ditinggal sendirian!” teriak Rio lalu berlari mengejar Randy yang mungkin sudah bersiap untuk melajukan motor sportnya keluar dari area parkir. Randy yang sudah bersiap untuk melajukan motornya, tiba-tiba mengurungkan niatnya saat melihat Rio yang tengah berlari ke arahnya. “Sialan lo! Udah ditolongin, lo malah ninggalin gue!” kesal Rio sambil mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. “Gue gak minta lo buat nolongin gue. Lagian lo kurang kerjaan banget ngeladenin Riska.” “Eh, Ran. Jujur nih ya, gue penasaran. Sudah berapa kali sih lo masuk itu lobang Riska, sampai dia ngebet banget pengen balik sama lo?” “Itu bukan urusan lo. Gue juga gak mau bahas dia lagi. Gue cabut.” Randy lalu melajukan motornya keluar dari area parkir. “Sialan lo, Ran. Gue yakin, lo pasti sudah sering merasakan surga dunia sama Riska. Enak ya punya wajah tampan kayak lo, Ran. Banyak cewek yang ngantri pengen jadi cewek lo. Tapi lo sok jual mahal.” “Ah sial! Kenapa gue jadi iri gini ya. Gue juga ganteng kok. Cuma itu, jodoh gue masih jauh kayaknya. Sabar, Io, lo pasti akan dapat jodoh yang baik luar dan dalam. Amin.” Rio mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sementara itu, saat ini Rayana baru saja selesai memasak untuk makan siang. Semalam dirinya benar-benar tak menyangka, kalau Randy dan mamanya akan datang ke rumahnya. Rayana menatap rantang yang sudah dirinya cuci bersih. “Kalau aku balikin dalam keadaan kosong, itu namanya gak sopan. Tante Mila sudah bawakan aku makanan semalam.” “Apa aku bawain makanan juga untuk Tante Mila ya nanti sore?” Rayana masih tampak ragu, karena masakannya pasti tak seenak masakan mamanya Randy. Mereka juga orang kayak, pasti tak akan suka dengan makanan kampung. Lastri melihat putrinya yang sedang bengong sambil menatap rantang yang ada di atas meja makan. “Na, kamu kenapa?” tanyanya sambil melangkah mendekat. “Aku bingung, Bu.” “Bingung kenapa? bukankah hari ini hari pertama kamu ngajar les lagi?” “Iya, Bu. Tapi bukan gara-gara itu. Aku kan mau balikin rantangnya Tante Mila. Tapi kalau aku balikin dalam keadaan kosong kan gak sopan, Bu. Apalagi Tante Mila sudah baik banget sama aku selama ini.” “Kenapa harus bingung gitu? kamu bawain aja masakan kamu. Masakan kamu enak banget lo, Na. Ibu yakin, mamanya anak didik kamu itu pasti suka sama masakan kamu.” “Tapi mereka kan orang kaya, Bu. Masa aku kasih masakan kampung. Kan gak etis.” “Siapa bilang gak etis.” Lastri lalu membuka rantang itu satu persatu. “Kamu nurut aja. Nanti kalau mereka gak suka masakan kamu, bilang sama Ibu.” Lastri lalu memasukkan sayur dan lauk yang sudah dimasak oleh putrinya ke dalam rantang-rantang itu. “Kamu antar saja sekarang, biar bisa buat makan siang mereka.” Lastri sudah memasang kembali rantang-rantang itu, menutupnya dan memberikannya kepada Rayana. “Kalau jam segini Tante Mila belum pulang, Bu.” “Kan ada anaknya.” “Randy maksud Ibu?” “Memangnya Mila punya anak berapa?” “Satu sih, Bu. Tapi, aku yakin, dia gak mau makan masakan aku.” Rayana dengan lemas mendudukkan tubuhnya di kursi meja makan. “Ck, mau balikin rantang aja repot amat, Na. Terserah kamu ajalah. Oya, kamu sudah makan siang?” Rayana menggelengkan kepalanya. “Aku nunggu, Ibu.” “Ya udah, kita makan dulu. Nanti terserah kamu, mau kamu apakan makanan yang ada di rantang itu.” Lastri lalu menarik kursi yang ada di depan Rayana. Rayana dan ibunya mulai mengambil nasi dan diletakkan di atas piring, lalu mengambil sayur dan lauk. “Oya, Bu. Maafin aku ya, semalam aku gak bisa bantu-bantu di rumah Bude.” “Gak apa. Ibu sudah bilang sama bude kamu, kalau kamu lagi ngajar les.” “Kak Nindi mujur banget ya, Bu. Dapat suami kaya. Pemilik restoran lagi,” ucap Rayana di sela gerak mengunyahnya. “Terus kapan kamu mau menyusul, Na? kebanyakan wanita seusia kamu ini sudah menikah. Seenggaknya sudah punya calon suami.” “Aku belum mikir ke arah situ, Bu. Aku mau kumpulin banyak uang dulu. Aku ingin ngebahagiain Ibu dulu, baru mikir nikah,” ucap Rayana sambil menggenggam tangan ibunya. Lastri selalu saja mendapat jawaban seperti itu dari putrinya saat dirinya mulai membahas soal pernikahan. Ia juga tak akan memaksa Rayana untuk menikah lagi, kalau memang putrinya itu belum siap untuk menikah. Rayana dan ibunya sudah selesai makan. Mereka sama-sama membereskan meja makan. “Biar Ibu yang cuci. Kamu urus rantang itu aja mau kamu apain,” ucap Lastri sambil mengambil piring kotor dari tangan Rayana. Rayana menatap susunan rantang yang ada di atas meja. “Apa aku balikin sekarang aja ya? tapi kira-kira Tante Mila ada di rumah gak? Kalau gak ada, ntar yang ada Randy makin ngehina aku lagi,” gumamnya dalam hati. Lastri hanya geleng kepala melihat putrinya yang sejak tadi hanya diam sambil menatap susunan rantang yang ada di atas meja. “Kalau kamu masih ragu, ya gak usah kamu isi rantangnya. Balikin kosong gitu juga gak apa. Mereka orang kaya, gak mungkin juga ngarep kamu kasih makanan juga,” ucap Lastri sambil mencuci piring-piring dan gelas-gelas kotor di wastafel. “Aku balikin besok aja deh, Bu. Besok aku akan memasak makanan yang mungkin cocok dengan lidah mereka.” “Kayak gitu juga gak apa.” “Aku ke kamar dulu ya, Bu. Aku mau nyiapin materi untuk les nanti.” “Hem, soal pekerjaan rumah, kamu gak usah cemas, Ibu yang akan mengerjakan semuanya. Kamu fokus saja dengan pekerjaan kamu.” Rayana mengangguk. “Aku ke kamar dulu, Bu,” ucapnya lalu melangkah keluar dari dapur. Sedangkan di rumah Randy, pria tampan itu baru saja sampai di rumah. Melepas helm, lalu turun dari motor, meletakkan helmnya di atas motor. “Mama kira-kira menepati janjinya gak ya? Mama janji kalau siang ini mau makan siang di rumah sama gue.” Randy masuk ke dalam rumah lewat pintu samping. Ia melihat Bik Surti yang baru saja keluar dari dapur. “Bik, Mama ada di rumah gak?” “Nyonya belum pulang, Den. Makan siang sudah siap, Den. Den Randy mau makan siang sekarang?” “Jadi Mama bohong lagi!” Randy mengepalkan kedua telapak tangannya, lalu bergegas melangkah menuju tangga. Randy bahkan tak peduli dengan panggilan asisten rumah tangganya yang sejak tadi memanggilnya. Pintu yang tak salah apa-apa itu dibuka dengan kasar oleh sang pemiliknya. Saat menutupnya pun dihempaskan dengan sangat kasar hingga terdengar dentuman yang sangat keras. Randy membanting tas gendongnya ke atas ranjangnya, lalu melangkah menuju balkon kamarnya. Berdiri di tepi balkon sambil berpegangan pada terali besi pembatas balkon itu. “Apa sih yang gue harepin? Gue udah tau semua pasti akan kayak gini. Lo harusnya nyadar, Ran. Lo udah tak berarti apa-apa lagi buat nyokap lo.” Randy menoleh ke belakang, menatap lemari kecil yang ada di pojokan. Melangkah menuju lemari kecil itu, lalu membuka laci untuk mengambil korek api dan bungkus rokok yang memang ia sembunyikan di dalam laci itu. Randy membuka bungkusan rokok itu, lalu mengambil sebatang rokok, dimasukkannya ujung rokok itu ke mulut, lalu korek dinyalakan untuk menyalakan ujung rokok itu. Randy menarik batang rokok itu keluar dari mulutnya, keluar kepulan asap dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Dilemparnya korek itu ke atas meja, lalu kembali melangkah menuju tepian balkon. “Seandainya bokap masih hidup, hidup gue gak akan jadi berantakan kayak gini.” Randy kembali memasukkan ujung rokok yang ada di sela jari tengah dan telunjuknya ke dalam mulut, lalu dihisapnya, ditarik keluar, kepulan asap kembali keluar dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Randy merasakan getaran dari dalam saku celananya. Diambilnya benda pipih itu, dilihatnya nama siapa yang tertera di layar ponsel hitamnya itu. “Ngapain dia telepon gue? Dia gak berniat untuk nagih hutang gue yang semalam kan?” Randy tetap menjawab panggilan itu meski enggan. “Hem.” Hanya deheman yang terdengar saat panggilan itu sudah mulai tersambung. “Ran, kamu ada di rumah gak?” “Kenapa emangnya? Lo mau kesini sekarang?” “Maunya gitu. Soalnya nanti sore aku ada acara.” “Ya udah, batalin aja les hari ini. Undur minggu depan.” “Ya gak bisa gitu, Ran.” “Bisa dong, kan lo sendiri yang gak punya waktu, bukan gue.” “Kalau siang ini aja gimana? Besok kamis sore deh. Aku janji.” “Ck, jangan mengumbar janji kalau lo gak yakin bisa menepatinya!” “Aku pasti menepatinya. Aku lupa, kalau sore ini aku ada janji sama teman aku.” “Teman apa teman? Lo yakin cuma teman, bukan pacar lo?” Randy lalu membuang sisa rokok yang tinggal setengah itu ke tong sampah. “Jadi lo lebih mentingin pacar lo itu ketimbang melakukan tugas lo sebagai guru privat gue?” “Jangan asal nuduh kamu. Aku gak punya kekasih ya, jadi jangan nuduh aku kayak gitu. Aku selalu melakukan pekerjaan aku dengan baik.” “Kalau lo emang guru les yang baik, lo harus datang nanti sore ke rumah gue. Kalau lo gak datang, gue anggap lo lalai dan gak melakukan tugas lo dengan baik. Bye.” Randy langsung mengakhiri panggilan itu. “Jadi dia belum punya kekasih. Menarik juga. Sepertinya permainan nanti akan semakin menarik. Lo tunggu aja, Na. Gue akan buat lo menyesal karena sudah berani muncul di hadapan gue setelah kejadian malam itu,” ucap Randy dengan tersenyum menyeringai. Randy membalikkan tubuhnya, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sejak tadi perutnya terus berdemo. Mau tak mau perutnya itu harus segera dirinya isi. Setelah mengganti seragam sekolahnya dengan kaos oblong dan celana pendek, Randy melangkah keluar dari kamarnya, menuruni tangga menuju lantai bawah. Saat masuk ke dalam ruang makan, Randy melihat makanan kesukaannya sudah terhidang di atas meja makan. Menarik kursi, lalu didudukinya. Randy langsung mengambil nasi goreng spesial masakan Bik Surti itu dan diletakkan diatas piring kosongnya. Randy menikmati nasi goreng spesial itu sambil memainkan benda pipih yang ada di tangannya, hingga benda pipih itu menerima panggilan masuk dari Rayana. “Ck, mau apalagi dia? Apa ucapan gue tadi belum jelas!” Randy langsung menjawab panggilan itu. “Ada apalagi, hah! Lo gak paham sama ....” “Aku sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah kamu. Sebentar lagi aku sampai. Aku cuma mau kasih tau kamu itu.” Randy mengumpat saat panggilan itu terputus begitu saja. “Sialan! Kenapa sih Mama nyari guru les kayak dia! Emang gak ada guru les lain apa!” kesalnya. Memangnya Randy bakalan mau kalau guru les nya bukan Rayana? Kayaknya gak bakalan mau, karena Randy mau menerima Rayana sebagai guru les privatnya karena ada niat terselebung. “Iya sih, gue juga gak bakalan mau les privat, kalau bukan itu cewek yang jadi guru les gue.” “Ah! Sial! Gue malas banget belajar lagi! gue harus susun rencana agar dia bosan terus gak jadi ngajar gue,” ucap Randy dengan menyunggingkan senyumannya. “Lebih baik gue habiskan dulu makan gue. Gue juga butuh tenaga buat ngerjain dia nanti.” Randy lalu melanjutkan makannya. Randy mengulum senyum, saat melihat sosok cantik yang saat ini berdiri di depan pintu rumahnya. Ya, ia sendiri yang membuka pintu untuk Rayana. “Kok malah bengong, lo gak mau masuk?” Randy menatap buku-buku yang ada di tangan Rayana. “Sini, gue bawakan buku-buku lo,” ucapnya dan mengambil buku itu dengan paksa dari tangan Rayana, lalu membalikkan tubuhnya, melangkah masuk ke dalam rumah. Rayana mengikuti Randy dari belakang. Tapi, dahinya mengernyit saat melihat Randy yang terus melangkah masuk melewati ruang tamu. “Ran, memangnya kita mau belajar dimana? Bukannya di ruang tamu ya?” Randy menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya menghadap Rayana yang saat ini juga tengah menatapnya dengan dahi mengernyit bingung. “Gak. Gue mau lo ngajar les nya di kamar gue.” “Hah! Kamar kamu!” seru Rayana dengan kedua mata membola.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN