Jangan asal nuduh

2401 Kata
Mila yang baru saja selesai menerima telepon, terkejut saat mendengar teriakan seorang wanita. Ia lalu langsung berbalik dan berjalan mendekati sang putra. “Siapa tadi yang teriak, Sayang. Kok Mama seperti mendengar suara Yana. Tapi dimana dia? Kenapa pintunya belum dibuka? Apa dia gak ada di rumah?” “Tadi memang suara dia, Ma. Tadi dia sudah buka pintu, tapi ditutup lagi,” ucap Randy sambil menggedik kan kedua bahunya. “Loh, kenapa? apa dia gak mau terima kedatangan kita?” Randy kembali menggedik kan kedua bahunya. Ia juga tak mungkin bilang kalau Rayana tadi hanya memakai handuk untuk menutup tubuh mungilnya. Mungil? sepertinya otak Randy mulai eror, kenapa dia malah membayangkan bentuk tubuh Rayana. “Mama sih, ngapain pakai kasih makanan segala ke dia. Dia bisa masak sendiri, dia punya uang. Dia juga gak mungkin kelapa ....” Randy belum sempat meneruskan ucapannya, pintu mulai terbuka dari dalam, memperlihatkan sosok cantik dengan rambut sebahu. Tapi kini penampilan gadis itu sudah terlihat rapi, sudah tak seperti tadi yang sempat membuat dirinya shock berat. “Tante Mila!” Rayana tak menyangka, kalau Randy ternyata datang bersama dengan mamanya. “Apa Tante mengganggu waktu kamu, Yana?” “Tidak, Tante. Maaf, saya membuka pintunya lama. Oya, mari silahkan masuk.” Rayana melirik ke arah Randy yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit untuk dirinya artikan. Rayana mengalihkan tatapannya, lalu menyingkir dari depan pintu, membiarkan Randy dan mamanya melangkah masuk ke dalam rumahnya. Ini pertama kalinya Randy masuk ke dalam rumah Rayana. Dirinya sudah dua kali mengantar gadis itu pulang ke rumahnya, tapi baru sekali ini dirinya masuk ke dalam rumah sederhana itu, karena rumah itu tak sebesar rumahnya. Mila menatap sekeliling yang tampak sepi. “Na, kamu di rumah sendirian? Dimana ibu kamu?” tanyanya sambil meletakkan rantang yang dibawanya ke atas meja. “Ibu lagi ke rumah kerabat, Tante. Ada hajatan disana. Silahkan duduk, Tante.” Mila mengangguk, lalu mendudukkan tubuhnya, tapi tak dengan Randy yang masih betah berdiri, hingga membuat Mila mengernyitkan dahinya. “Sayang, kamu gak duduk?” Randy menatap Rayana yang masih berdiri. “Lo gak minta gue buat duduk?” “Randy! Kok kamu bicara seperti itu sama Yana? Dia lebih tua dari kamu loh, Sayang. Dimana sopan santun kamu?” Mila yang merasa tak enak dengan Rayana, langsung beranjak dari duduknya, melangkah mendekati gadis itu dan langsung menggenggam tangannya. “Na, tolong maafin Randy ya. Dia memang seperti itu. Tolong jangan dimasukin ke hati, sampai kamu gak mau mengajar les privat ke Randy nanti.” Rayana menepiskan senyumannya. Ia tak mungkin sampai wanita paruh baya yang ada di depannya itu meminta maaf padanya untuk kesalahan yang tak dia lakukan. “Iya, Tante. Saya bisa mengerti kok. Tante sama Randy mau minum apa?” Rayana melirik ke arah Randy. “Gak usah repot-repot, Na. Tante kesini karena ....” “Buatin gue minuman dingin dong. Jauh-jauh ke rumah lo masa gak dikasih minum atau apa kek. Tenggorokan gue kering nih.” Randy lalu mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan itu. Mila hanya geleng kepala melihat sikap putra semata wayangnya itu. Sepertinya dirinya memang sudah gagal dalam mendidik putranya itu selama ini. “Tante duduk dulu saja. Saya akan buatkan teh hangat buat Tante,” ucap Rayana dengan menepiskan senyumannya. “Maaf ya, Na. Tante jadi ngerepotin kamu.” “Gak kok, Tan. Sama sekali gak ngerepotin. Kalau begitu saya tinggal ke belakang dulu.” Rayana lalu melangkah pergi dari ruang tamu menuju dapur. Mila melihat Randy yang beranjak dari duduknya, lalu melangkah pergi. “Sayang, kamu mau kemana?” “Aku mau ke belakang bentar, Ma.” Randy melangkah masuk lebih ke dalam rumah Rayana. Ia menatap ke kiri dan kanan, mencari kemana tadi Rayana pergi. Randy melihat sebuah ruangan yang di dalamnya ada gadis yang tengah di carinya, ia lalu melangkah mendekat. “Lo punya cola gak?” Ucapan Randy sontak mengejutkan Rayana, membuat gadis itu langsung membalikkan tubuhnya dengan wajah terkejutnya. “Ngapain kamu disini?” Randy yang semula hanya berdiri di depan pintu, kini melangkah masuk ke dalam dapur. “Gue tanya, lo punya cola gak? Gue gak mau minum orange jus itu,” ucapnya sambil melirik orange jus yang sudah dibuat oleh Rayana. “Ck, disini bukan restoran ya, jadi kamu gak bisa pesan minum sesuka hati kamu. Kalau kamu gak mau aku buatin orange jus juga gak apa.” Rayana lalu mengambil nampan, meletakkan secangkir teh hangat itu ke atas nampan. “Kamu beneran gak mau ini orange jus?” tanyanya sambil mengambil gelas yang berisi orange jus itu dari atas meja dan menunjukkannya kepada Randy. “Ck!” decak Randy dan langsung mengambil gelas yang berisi orange jus itu dari tangan Rayana. Rayana memutar kedua bola matanya jengah. “Dasar!” Rayana lalu melangkah keluar dari dapur sambil membawa nampan yang diatasnya ada secangkir teh hangat untuk mamanya Randy. “Maaf ya, Tan. Menunggu lama.” Rayana lalu meletakkan secangkir teh itu ke atas meja. “Silahkan diminum, Tante,” ucap Rayana lagi. “Terima kasih ya, Na. Oya.” Mila mengambil rantang yang ada di atas meja. “Tante datang kesini sebenarnya ingin kasih kamu ini.” memberikan rantang itu kepada Rayana. Rayana mengambil rantang itu dari tangan Mila. “Ini apa, Tante?” tanyanya sambil menatap rantang yang ada di tangannya. “Makanan buat lo. Nyokap gue baikan.” Randy menjawab sambil berjalan melewati Rayana, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa. “Tapi kenapa, Tan? Tante kenapa harus repot-repot? Aku jadi gak enak ini, Tan.” “Ck, tinggal terima apa susahnya sih! Lo gak bisa menghargai pemberian orang ya!” “Randy!” Mila tak menyangka putranya bisa bicara sekasar itu kepada Rayana. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana kalau saat Rayana mengajar Randy nanti, pasti putranya itu tak akan menghormati Rayana yang usianya bahkan lebih tua dari putranya itu. “Habisnya. Masih mending udah dikasih, bukannya berterima kasih malah bicara seperti itu!” Randy menatap Rayana dengan sorot mata yang tajam. “Bukan begitu. Aku sangat berterima kasih.” Rayana lalu mendudukkan tubuhnya di samping Mila, meletakkan rantang itu ke atas meja. “Terima kasih ya, Tan. Tapi Tante seharusnya gak perlu repot-repot seperti ini. Saya jadi gak enak hati karena sudah merepotkan Tante.” Mila mengulum senyum, lalu menggelengkan kepalanya. “Gak, Na. kebetulan saja Tante masak banyak. Daripada dibuang, jadi aku kasih ke kamu. Nanti bisa kamu makan sama ibu kamu,” ucapnya sambil menggenggam tangan Rayana. “Sekali lagi terima kasih ya, Tan. Saya akan memakannya nanti sama ibu,” ucap Rayana sambil menepiskan senyumannya. Mila mengangguk. Kedua telinganya mendengar suara dering ponselnya, diambilnya ponselnya dari dalam tas jinjingnya. “Ran, kamu bisa pulang naik taksi gak? Mama harus pergi, ada urusan mendadak.” “Mama mau kemana? Mama kan juga belum makan malam?” “Nanti Mama akan makan malam diluar saja.” Mila memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjingnya, lalu beranjak dari duduknya, begitu juga dengan Rayana dan Randy. “Mama tadikan sudah masak banyak. Terus siapa nanti yang makan, Ma. Mama bisa gak pergi setelah temani aku makan malam?” Randy sekarang sudah jarang bisa makan malam bersama dengan sang mama. Mamanya selama ini memang selalu tak punya waktu untuknya. Mila mengusap lengan Randy dengan lembut. “Mama sengaja masak makan malam itu untuk kamu, Sayang. Sebenarnya Mama juga ingin sekali makan malam sama kamu. Tapi klien Mama sudah menunggu Mama sekarang.” “Klien yang mana, Ma, yang selalu gak tau waktu saat menghubungi Mama! Aku juga butuh Mama, bukan hanya klien Mama yang butuh Mama!” kedua telapak tangan Randy mengepal erat. Mila tau, saat ini Randy sangat kecewa padanya. Tapi dirinya juga tak bisa berbuat apa-apa, karena klien yang menghubunginya memang sangat berpengaruh untuk kemajuan perusahaan yang tengah dirinya kelola saat ini. “Maafkan Mama, Ran. Mama harus pergi.” Mila lalu menatap Rayana. “Na, bisa kamu temani Randy makan malam?” pintanya kemudian. “Hah!” “Ma!” seru Randy tak suka. Dirinya mengharapkan sang mama yang akan menemaninya, bukan orang lain, apalagi Rayana, gadis yang tak dirinya sukai sejak awal. “Yana bisa temani kamu makan, Sayang. Mama gak mau debat sama kamu. Mama pergi,” ucap Mila lalu melangkah keluar dari rumah Rayana. “b******k!” umpat Randy sambil menyugar rambutnya ke belakang dengan sangat kasar. Randy lalu menatap Rayana dengan sorot mata yang tajam, lalu dengan perlahan kakinya mulai melangkah mendekat ke arah gadis itu. “Semua ini gara-gara lo! Kalau saja nyokap gue gak kasih lo makanan itu, sekarang nyokap gue gak akan tinggalin gue kayak gini!” geram Randy sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Rayana. “Hah! Kok jadi aku yang disalahin! Aku gak minta mama kamu buat kasih makanan ini buat aku ya! jadi jangan sembarangan bicara kamu!” kesal Rayana yang memang tak ingin disalahkan disini. “Alah! Sekarang kasih tau gue, apa yang sudah lo lakuin ke nyokap gue, sampai nyokap gue bisa peduli sama lo? Apa lo udah kasih jampi-jampi ke nyokap gue, agar lo bisa ngeruk keuntungan dari kebaikan hati nyokap gue, hah!” “Jangan asal nuduh ya kamu!” Randy menghembuskan nafas dengan kasar. Sepertinya dirinya bisa benar-benar gila gara-gara gadis yang ada di depannya saat ini. Randy lalu menatap rantang yang ada di atas meja. “Lo masih ingat dengan apa yang tadi nyokap gue katakan,” ucapnya lalu melangkah menuju meja, mengambil rantang itu dari atas meja, lalu menyerahkannya kepada Rayana. “Lo harus temani gue makan malam. Lo harus tanggung jawab,” ucapnya lagi dengan tersenyum menyeringai. Rayana mengambil rantang dari tangan Randy dengan kasar. “Tunggu disini, aku akan siapkan dulu,” ucapnya lalu melangkah pergi dari ruang tamu itu. Randy menyunggingkan senyumannya, lalu menatap sekeliling ruangan itu. Tatapannya mengarah ke arah pigura yang tergantung di dinding ruangan itu. Foto Rayana bersama dengan kedua orang tuanya. Randy melangkah menuju pigura itu. Dirinya juga mempunya foto keluarga seperti ini, tapi saat itu dirinya masih kecil. Tuhan sudah mengambil papanya dari sisinya untuk selama-lamanya, membuatnya mamanya harus banting tulang dan tak mempunyai waktu lagi untuknya. Randy mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia tak ingin terhanyut dengan masa lalunya. Masa lalu yang telah menghancurkan masa depannya. “Lo tinggal disini sama nyokap lo doang?” tanya Randy saat melihat Rayana tengah berjalan ke arahnya sambil membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan. “Kok cuma satu piring? Lo gak makan?” Rayana meletakkan nampan itu ke atas meja. “Aku belum lapar. Kamu bisa makan sendiri.” “Lo gak tuli kan? Kedua telinga lo masih normalkan? Apa lo gak denger apa yang tadi nyokap gue bilang sama lo?” “Aku hanya diminta untuk menemani kamu makan malam kan? Ya udah, aku akan temani kamu makan kok. Tapi aku gak makan.” Rayana lalu mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal. “Kenapa masih berdiri? Kamu berubah pikiran? Kamu gak jadi makan? Gak apa sih, gak masalah buat aku.” Randy mendengus kesal, tapi dirinya tetap mendudukkan tubuhnya di sofa. “Kenapa sikap lo nyebelin gini? Apa ini sifat asli lo?” Rayana menghela nafas panjang, kalau saja bukan karena dirinya menghormati mamanya Randy, mungkin saat ini dirinya akan mengusir bocah tengil itu dari rumahnya. Tapi, Rayana tak bisa melakukan itu, karena mamanya Randy sudah memberinya uang muka untuk mengajar les privat pada Randy. Uang itu juga sudah dirinya belanjakan sebagian, jadi tak mungkin dirinya akan mengembalikan uang itu. Rayana mengambil piring itu dari atas meja, lalu memberikannya kepada Randy. Sikapnya saat ini sudah seperti seorang istri yang tengah melayani suaminya bukan? Ia benci melakukan ini, tapi ia juga terpaksa. “Ok, aku memang kesal sama kamu tadi. Kamu nuduh aku yang enggak-enggak. Kamu salah menilaiku. Lebih baik sekarang kamu makan. Ini juga sudah lewat jam makan malam.” Randy menatap piring makanan yang ada di tangan Rayana. “Gara-gara lo, gue jadi gak selera makan.” “Hah! Jadi kamu gak mau makan makanan ini!” “Lo makan aja sendiri!” Randy dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun beranjak dari duduknya. “Oya, lo bisa datang ke rumah gue sore hari. Kalau pulang sekolah, gue malas buka buku lagi.” Rayana meletakkan piring makanan itu ke atas meja, lalu beranjak dari duduknya. “Kamu beneran gak jadi makan?” “Kenapa? lo nyemasin gue? Lo takut gue sakit karena telat makan malam?” tanya Randy dengan mengedipkan kedua matanya berkali-kali. “Jangan kegeeran ya. Aku cuma gak mau, nanti kamu ngadu sama mama kamu kalau aku gak kasih kamu makan lagi.” “Ck, alasan! Dah lah, gue gak mau berlama-lama disini. Yang ada nanti digrebek masa lagi, mereka ngira kita ngapa-ngapain lagi. Lo gak mau kan kalau sampai itu terjadi, terus kita dipaksa nikah?” “Hah!” kedua mata Rayana membulat dengan sempurna. “Amit-amit dah! Siapa juga yang mau nikah sama bocah ingusan seperti kamu! aku juga pilih-pilih lagi kalau cari calon suami, bukan bocah tengil nyebelin kayak kamu!” kesal Rayana dengan kedua mata masih melotot. Randy menyunggingkan senyumannya. “Apa lo mau taruhan?” “Ran, mau kamu apa sih? Kamu sengaja ingin membuat aku marah? Terus kamu bilang sama mama kamu kalau kamu gak mau dibimbing belajar sama aku gitu? apa salah aku sih, Ran, sampai kamu sebenci ini sama aku?” “Atau ....” Rayana sepertinya ingat sesuatu. “Semua itu gara-gara aku mergoki kamu sama kekasih kamu malam itu, sehingga kamu jadi dendam sama aku, gitu?” tebaknya kemudian. “Lo mau mikir apa, terserah. Gue cabut.” Randy lalu melangkah keluar dari rumah Rayana. Rayana hanya menatap bocah tengil yang akan jadi anak didiknya itu melangkah keluar dari rumahnya. “Masa sih dia benci aku gara-gara kejadian malam itu? tapi aku kan gak bilang sama Tante Mila soal kelakukan dia.” Rayana bergidik ngeri saat membayangkan apa yang akan terjadi malam itu saat dirinya tak memergoki Randy dan kekasihnya di tempat gelap itu. Pastilah mereka akan melakukan hal yang tak seharusnya mereka lakukan. “Apa kayak gitu kelakukan anak sekolah jaman sekarang? mereka belum nikah loh, tapi sudah berani melakukan itu. Kok aku jadi ngeri gini ya. Kasihan Tante Mila, dia pasti gak tau kelakukan Randy diluar sana.” Rayana mengernyitkan dahinya, saat melihat sosok pria yang tadi dirinya bicarakan kembali masuk ke dalam rumahnya. “Apa ada yang ketinggalan?” “Gue pinjem duit dong. Gue lupa bawa dompet.” “Hah!” mulut Rayana menganga lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN