Gimana kalau lo, gue panggil ... ayang?

2391 Kata
Randy berteriak memanggil Bik Surti, membuat wanita paruh baya itu berlari tergopoh-gopoh menghampiri anak majikannya itu. “Iya, Den. Ada yang bisa Bibik bantu?” tanya wanita paruh baya itu lalu menatap ke arah Rayana. “Non Rayana sudah datang,” sapanya kemudian. “Iya, Bik. Harusnya nanti sore, tapi karena nanti sore aku ada urusan, jadi aku majukan,” ucap Rayana dengan menepiskan senyumannya. “Ck, palingan cuma mau pacaran sama pacarnya,” lirih Randy yang masih bisa didengar Rayana. “Jangan asal nuduh! Kan tadi sudah aku bilang di telepon kalau aku gak punya pacar. Aku beneran ada janji sama teman aku.” “Serah. Oya, Bik. Tolong buatkan minum dan camilan, lalu dibawa ke kamar aku. Aku akan belajar di kamar aja.” setelah mengatakan itu, Randy melangkah menaiki tangga. Rayana masih diam di tempat. “Bik, aku beneran nih gak apa masuk ke dalam kamar Randy? Nanti kalau Tante Mila marah gimana?” “Gak apa, Non. Itu kan kemauan Den Randy sendiri. Non Rayana juga gak mungkin bisa nolak kan?” “Iya sih, Bik. Tapi kenapa harus di kamar coba? Kenapa gak di ruang tengah atau ruang tamu aja. Kan lebih leluasa juga aku ngajarnya.” Bik Surti mengulum senyum. Ia tau apa ketakutan Rayana saat ini. “Non tenang saja. Den Randy itu sebenarnya anak yang baik kok, Non. Jadi Non Rayana gak perlu takut.” Randy yang merasa Rayana tak mengikutinya dari belakang, langsung menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya. “Hai! Ngapain lo disitu! Lo kesini itu mau kerja atau mau ngerumpi sama Bik Surti!” teriak Randy dengan wajah kesal. “Iya-iya.” Rayana lalu menatap Bik Surti. “Aku ke atas dulu ya, Bik. Nanti kalau Tante Mila datang, tolong kasih tau aku.” Bik Surti menganggukkan kepalanya. “Baik, Non. Kalau begitu Bibik akan buatkan minuman dan camilan yang enak buat Non dan Den Randy,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Terima kasih ya, Bik. Maaf sudah merepotkan Bibik. Kalau begitu saya ke atas dulu. Mari, Bik.” Rayana lalu melangkah menaiki tangga, ia tak ingin membuat Randy semakin marah padanya. Astaga, belum juga mulai mengajar, sudah kena omel. Semoga kamu betah Rayana, demi Ibu. Rayana meyakinkan dirinya, kalau dirinya akan bertahan dengan semua perlakukan Randy padanya selama mengajar nanti. Ia butuh uang untuk terus bertahan hidup bersama dengan ibunya. Rayana membuka pintu kamar Randy, ia melihat Randy tak ada di dalam kamar itu. “Loh, kemana dia pergi?” “Masuk! Gue ada di balkon!” teriak Randy dari arah balkon kamar itu. “Ngapain sih harus di kamar dia, kayak gak ada tempat lain aja,” gerutu Rayana sambil menatap sekeliling kamar Randy yang terlihat begitu rapi. Padahal kamar anak cowok, tapi sangat rapi. Bahkan tak ada poster atau gambar-gambar lainnya. Mungkin Randy bukan tipe cowok yang gemar mengoleksi barang-barang grup band idolanya. “Kenapa malah bengong? Apa lo kesini cuma mau bengong? Duduk!” titah Randy sambil menepuk sebelahnya, karena di balkon itu hanya ada satu sofa panjang. “Emangnya gak ada kursi lain ya? harus gitu duduk di sebelah kamu?” Rayana masih dengan posisi berdiri di depan meja yang ada di depan Randy saat ini. “Lo gak usah banyak permintaan. Tugas lo cuma bantu gue belajar kan, jadi lo bisa duduk dimana aja. Kalau lo gak mau duduk di sebelah gue, lo bisa duduk dibawah. Terserah lo.” Randy tak mau ambil pusing, ia ingin semua ini cepat selesai, sehingga dirinya gak perlu debat sama Rayana. “Oya, biasanya berapa jam lo ngajar dalam sehari?” “Cuma satu jam kok.” Rayana tak punya pilihan lain selain duduk di samping Randy, tapi tetap masih dengan jarak aman. “Mama kamu bilang, kamu paling susah di mata pelajaran matematika. Jadi aku akan mulai dengan mata pelajaran itu.” “Serah lo.” Randy lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, menatap Rayana yang tengah menyiapkan soal yang mungkin akan dirinya kerjakan. Benarkan tebakannya, karena saat ini Randy melihat Rayana memberikan buku yang tadi dipakainya untuk menulis kepadanya. “Sekarang kamu coba kerjakan ini dulu. Nanti kalau sudah selesai kamu kerjakan, akan aku cek dimana letak kesalahan kamu.” “Ck, bukannya seharusnya lo kasih contoh dulu ke gue gimana cara ngerjain itu soal? Kalau kayak gini mah sama aja gue mikir sendiri.” Rayana menghela nafas panjang, ia tak mau berdebat lebih lama lagi dengan Randy, akhirnya ia memilih untuk mengalah. Tak ada salahnya mengalah, tapi, kalau nanti Randy tetap tak bisa mengerjakan soal yang dirinya berikan, itu berarti Randy memang tak serius ingin les privat dengannya. “Ok, sekarang kamu perhatikan gimana aku ngerjain soal ini,” ucap Rayana sambil menunjuk soal nomor satu yang tadi dirinya buat. Randy menegakkan tubuhnya, lalu menggeser tubuhnya mendekat ke Rayana, membuat Rayana menoleh ke arahnya. “Ngapain kamu dekat-dekat aku? jangan macam-macam ya!” “Ck, bukannya tadi lo minta gue untuk memperhatikan cara lo ngerjain soal itu? kalau gue gak deket lo kayak gini, gimana gue bisa ngerti! Jangan kegeeran deh, lo itu bukan tipe gue.” “Ya ... tapi gak harus sedekat ini juga, Ran.” Rayana merasa tak nyaman, karena Randy begitu dekat dengannya. “Ck, ribet amat sih lo! Lo tenang aja, gue gak akan ngapa-ngapain lo! Udah cepetan, katanya mo kasih gue tau caranya. Lama amat sih!” lama-lama Randy kesal juga. Mau belajar aja ribet gini. Rayana menggeser sedikit tubuhnya, bagaimanapun dirinya tak harus sedekat itu dengan Randy. Dia kan punya mata dan telinga, jadi dia pasti bisa memahami apa yang akan dirinya sampaikan bukan? “Ok, jadi gini.” Rayana mulai mengerjakan soal itu secara perlahan, ia memberitahu Randy rumus untuk mengerjakan soal itu. Menurutnya dirinya sudah pelan-pelan memberitahu Randy cara mengerjakan soal itu, tapi entah, Randy bisa memahami ucapannya atau tidak. “Gimana, kamu sudah paham?” Rayana sudah menyelesaikan satu soal yang tadi dirinya buat untuk Randy. “Sini, itu mah gampang.” Randy mengambil pena dari tangan Rayana, hingga tanpa sengaja menyentuh jari jemari Rayana, membuat gadis itu membulatkan kedua matanya. Tapi apa reaksi Randy? Pemuda itu tampak biasa-biasa saja. Sedangkan Rayana, jangan tanya, saat ini jantungnya bahkan sudah menggila. Debaran di dadanya begitu cepat, membuat dadanya terasa sesak. Rayana menatap Randy yang masih duduk di dekatnya tengah fokus menatap soal yang tadi dibuatnya, diusapnya dadanya dengan perlahan, berharap debaran jantungnya akan kembali normal. Rayana mendengar suara Bik Surti. Ia lalu beranjak dari duduknya, melangkah masuk ke dalam kamar. “Ini minuman dan camilannya, Non.” Bik Surti memberikan nampan itu kepada Rayana. “Terima kasih ya, Bik. Maaf, aku jadi ngerepotin Bibik,” ucap Rayana tak enak hati. “Gak kok, Non. Itu sudah menjadi tugas Bibik. Kalau begitu Bibik permisi.” Rayana menganggukkan kepalanya, melihat wanita paruh baya itu melangkah keluar dari kamar Randy. Ia lalu kembali melangkah menuju balkon, meletakkan nampan itu ke atas meja. Rayana melihat Randy sudah menyelesaikan tugas yang diberinya tadi. Ia mengambil buku itu, lalu mendudukkan tubuhnya di sebelah Randy, kali ini ia memilih duduk di paling ujung sofa itu. “Hah! Kamu tadi merhatiin gak cara aku ngerjain soal yang tadi?” “Ck, lo sih ngasih soal susah banget. Ngasih soal itu yang mudah napa, biar gue mudah memahaminya!” kesal Randy lalu mengambil pisang goreng yang buatan Bik Surti, lalu dimasukan ke dalam mulutnya dan mulai menggigit pisang goreng itu. “Astaga, Ran, kamu beneran deh. Ini soal kelas 10 loh. Masa kamu gak bisa. Ini kan mudah banget.” “Mudah bagi lo, gak buat gue.” “Kamu bukan anak SD lagi, Ran. Serius dikit kenapa sih!” kesal Rayana sambil meletakkan buku yang ada di tangannya ke atas meja. “Bawel lo!” Randy sudah menghabiskan pisang goreng yang tadi diambilnya, ia lalu mengambil segelas orange jus dari atas meja, lalu mulai meneguknya. “Mending lo buat soal baru lagi, tapi yang mudah gue pahami. Nanti gue kerjakan lagi itu soal.” Randy meletakkan gelas itu ke ata meja, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Randy mengambil ponselnya dari dalam saku celananya, lalu mulai menyalakannya, membuat Rayana semakin kesal. “Ran, kamu serius mau belajar gak sih! Atau kamu cuma mau mainin ponsel kamu itu!” “Gak usah cerewet deh. Mending lo buat soal yang baru lagi, terus lo kasih ke gue,” ucap Randy tanpa mengalihkan tatapannya dari layar benda pipih yang ada di tangannya. Randy melihat ada panggilan masuk di ponselnya, lalu menjawab panggilan itu. “Hem.” Hanya deheman yang keluar dari mulutnya saat panggilan itu sudah mulai tersambung. “Lo tumben gak ke apartemen gue?” “Sorry, ada gangguan kecil di rumah gue.” Randy melirik ke arah Rayana yang tengah membuat soal baru untuknya. “Gangguan kecil? Apa maksud lo?” “Nanti gue ceritain. Nanti malam gue ke apartemen lo.” “Lah, emang nyokap lo ngebolehin lo ke apartemen gue?” “Lo tenang aja, gue pasti kesana. Sorry, sekarang gue lagi sibuk.” “Apa lo lagi ena-ena sama Riska?” “Ck, ngapain lo malah ngomongin dia. Gue gak mungkin balik sama dia lagi.” Rayana diam-diam menguping pembicaraan Randy dengan Rio di telepon. “Dasar! Gimana dia mau pinter coba,” gumamnya dalam hati. “Nih! Kamu kerjakan sekarang juga! Awas ya kalau sampai kamu salah lagi!” Rayana menyodorkan buku itu kepada Randy. “Ran, lo lagi sama cewek? Lo punya gebetan baru?” “Gebetan baru apaan, gue lagi sama guru les privat gue. Lo tau kan kalau dia bukan tipe gue,” ucap Randy sambil menatap Rayana dengan menyunggingkan senyumannya. Rayana hanya diam, karena menurutnya ucapan Randy itu sama sekali tak penting. Ia juga tak berharap Randy akan menyukainya. Masa iya, dirinya suka sama bocah ingusan. Kurang kerjaan amat. Rayana mengambil pisang goreng buatan Bik Surti. Masih hangat, pasti rasanya enak. Ia lalu mulai menggigit pisang goreng itu, mengunyahnya secara perlahan, lalu menelannya. “Wah, enak banget ini pisang goreng,” ucap Rayana lalu mulai menggingit pisang goreng itu lagi. Randy yang sudah mengakhiri panggilan telepon itu, kini justru tengah menatap Rayana yang tengah menikmati pisang goreng buatan asisten rumah tangganya itu. “Hai, Lo,” panggil Randy pada Rayana. “Aku punya nama.” Rayana bahkan tak menolah dan meneruskan makan pisang goreng itu. “Ck, gue harus panggil lo apa?” “Terserah kamu. Kamu tau namaku kan?” Kini Rayana menoleh ke arah Randy. “Atau kamu lupa nama aku? mau kita kenalan lagi?” Rayana mengulurkan tangan kanannya yang sudah tak memegang pisang goreng lagi karena sudah habis dirinya makan. “Ck, lo gak mau kan gue panggil Tante?” goda Randy dengan tersenyum menyeringai. “Hah! Emangnya aku tante kamu apa! gak! Aku juga gak se-tua itu sampai kamu panggil tante!” kesal Rayana dengan kedua mata melotot. “Ya udah, gue akan panggil lo aja. Gue gak mungkin panggil lo dengan nama aja, gue juga gak mau panggil lo kakak, ntar lo kegeeran lagi.” “Atau ....” Randy lalu mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Rayana dengan menyunggingkan senyumannya. “Gimana kalau gue panggil lo ... ayang?” godanya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya. “Hah! Emang aku kekasih kamu, ogah! Kamu bisa panggil aku Yana.” “Serius? Tapi lo kan lebih tua dari gue.” “Terus kenapa? kamu gak mau panggil aku kakak, atau mbak gitu. atau ....” Rayana mengulum senyum. “Kamu boleh kok panggil aku Ibu Guru,” lanjutnya. “Ogah!” Randy lalu beranjak dari duduknya, membuat Rayana ikutan beranjak dari duduknya. “Kamu mau kemana? Aku kan nyuruh kamu buat ngerjain itu soal?” “Gue bosan. Kalau lo mau pulang, pulang aja.” Randy lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Rayana sendirian. “Ran, tunggu! Ya gak bisa gitu dong. Ini masih tiga puluh menit lagi waktunya.” Rayana mengekor di belakang Randy, karena dirinya tak mau di kamar itu sendirian. “Gue malas belajar. Lo juga, ngajar aja gak bener.” “Hah! Kok aku yang disalahin! Kan kamu gak bisa ngikutin apa yang aku arahkan tadi.” “Aww!” Rayana mengusap keningnya, karena dirinya menabrak punggung Randy, karena bocah tengil itu berhenti mendadak. Randy membalikkan tubuhnya. “Gue bilang udahan ya udahan. Lo gak tuli kan?” “Kayak orang putus aja, udahan,” gerutu Rayana sambil mengusap dahinya. “Ok, untuk hari ini aku anggap selesai. Tapi, besok aku akan kesini lagi.” “Hah! Bukannya hari kamis lagi!” seru Randy tak suka. “Serah aku dong. Pokoknya besok sore aku akan kesini lagi.” Rayana lalu kembali melangkah menuju balkon untuk mengambil tas dan buku-bukunya. Randy ikutan melangkah menuju balkon, tapi langkahnya terhenti saat melihat Rayana yang tengah melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Ok, besok lo boleh kesini. Tapi, jam kerja lo hanya setengah jam, bukan satu jam.” “Gak, tetap satu jam.” Rayana ikutan ngotot. Ia tak mau dibilang tak profesional dalam bekerja. “Kok lo yang ngatur sih!” kesal Randy dengan melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Seharusnya lo ngikutin mau gue. Gue yang bayar lo.” “Gak, mama kamu yang bayar aku. Aku mau balik, minggir.” “Kalau gue gak mau minggir, lo mau apa?” Randy malah melangkah maju, membuat Rayana melangkah mundur. “Ran, jangan macam-macam ya!” Kini tubuh Rayana sudah menabrak pembatas balkon. “Apa yang mau kamu lakukan!” Rayana mendekap buku-buku yang dibawanya. “Dasar! Pikiran lo kotor sih!” Randy mengambil paksa buku-buku yang ada di tangan Rayana. “Gue antar lo pulang,” ucap Randy lalu membalikkan tubuhnya, melangkah masuk ke dalam kamarnya untuk keluar dari kamar itu. Rayana mengusap dadanya naik turun, detak jantungnya kembali menggila. “Astaga! apa sih yang aku pikirkan tadi? Bisa-bisanya aku mempunyai pikiran buruk seperti itu?” “Lo mau tetap disana! jangan bilang lo betah berada di dalam kamar gue!” teriak Randy dari depan pintu kamarnya. “Iya-iya, sabar dong!” Rayana lalu bergegas melangkah masuk ke dalam kamar, melihat bocah tengil itu masih setia menunggunya. “Ck, lagi mikirin apa sih! Jangan harap gue akan biarin lo tidur di kamar gue!” Randy lalu melanjutkan langkahnya menuju tangga. “Siapa juga yang mau tidur di kamar kamu!” kesal Rayana sambil menutup pintu kamar Randy, lalu bergegas menyusul Randy yang sudah mulai menuruni anak tangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN