Back to Reality 4.2

2364 Kata
Kendaraan roda empat berhenti tepat di depan gerbang SMA Bina Jakarta. “Seharusnya lo tolak aja pas Mama minta tolong buat anterin gue ke sekolah," Kata Kayana seraya membuka seatbelt nya. "But, thanks" gadis itu menatap Jovan sekilas. “Santai aja, lagian gue sekalian berangkat ke kampus, 'kan?" “Sepagi ini?” “Yah, mampir sarapan dulu kayaknya oke” jawab Jovan enteng. Kayana mengangguk saja, dia tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan cowok bernama Jovan tersebut. “Oh ya, Kay” Jovan menginterupsi saat Kayana hendak keluar. “Nanti biar gue jemput lo setelah pulang sekolah” Kayana terdiam, dia mengerutkan kening saat melihat wajah Jovan yang mendadak berubah. Kesurupan apa cowok itu tiba-tiba jadi sebaik ini kepada Kayana? “Nggak usah, Jo. Gue bisa naik ojol kok, lagipula..” Kayana tidak meneruskan ucapannya, gadis itu tidak yakin akan pulang tepat waktu karena hari ini dia akan pergi ke dunia fantasi lagi, sepertinya. “Lagipula kenapa?” Kayana segera menggeleng. “Nggak papa” “Kalo gitu, gue boleh minta kontak lo nggak?” Mereka sama-sama terdiam beberapa saat, Kayana merasa aneh dengan sikap Jovan yang tiba-tiba berubah jadi lebih bersahabat dan tidak menyebalkan seperti saat mereka baru saja bertemu. Tapi, toh tak apalah, siapa tau dia bisa meminta bantuan Jovan suatu saat nanti. Kayana akhirnya memberikan barkot kontaknya untuk di scan oleh Jovan. Cowok itu tersenyum. “Thanks” “Hm, gue duluan” Barulah Kayana bisa turun. Tak lama mobil Jovan berlalu meninggalkan pelataran SMA Bina menuju ke kampusnya, tak lupa dia akan mampir untuk sarapan di warung soto ayam dekat kampus. Kayana terus melangkah cepat menuju kelas, dia tidak ingin bertemu Chelsea hari ini. Gadis itu masih belum pulih sepenuhnya, setidaknya untuk hari ini Kayana ingin hidup tenang sekali saja. Di kelas sudah ada beberapa orang, Kayana langsung duduk dibangkunya. Dia tak akan mengganggu siapapun, gadis itu hanya ingin tenang. Satu persatu teman sekelasnya datang, dan tak lama kemudian kelas pun ramai. Lima menit lagi bel sekolah berbunyi. Dan pelajaran akan dimulai setelah itu. (^_^)(^_^) “Hai, my baby Chelsea” Sapaan itu membuat jantung Chelsea berdetak lebih cepat, langkah kakinya yang baru saja masuk kelas terhenti. Teman-temannya satu persatu mulai menghampiri Chelsea dengan senyum lebar yang justru membuat Chelsea tak nyaman. Pasti mereka ada maunya, batin Chelsea kesal. “Gue denger hari ini Kayana udah mulai masuk sekolah, lo udah punya rencana apa buat ngebully dia?” Grace berucap dengan semangat. Ya, selama ini otak pembullyan yang dilakukan Chelsea adalah Grace. Bisa dibilang Chelsea hanya boneka yang Grace jalankan, karena kalau Chelsea yang melakukan maka tidak akan ada yang berani melawan karena Grace tau Ronald selalu memberikan uang tutup mulut untuk para guru yang mengetahui kelakuan Chelsea saat di sekolah. Chelsea hanya mengumbar senyum, gadis itu tak menjawab sama sekali. “Gue punya ide, Kayana kan baru sembuh tuh. Sebagai teman yang baik, kita harus traktir dia bakso setan level hard, biar perutnya meledak sekalian. Hahahaha” Grace berucap lagi. Chelsea tak menanggapi ucapan Grace, dia duduk dibangkunya. “Eh, tunggu deh. Kayaknya ada yang beda dari Chelsea sekarang, jangan bilang.. lo mau jadi cupu lagi, Chel?” Tebak Dona, gadis itu menyipitkan matanya. Chelsea jadi gugup sekarang. Dia menelan silva nya, berusaha sekuat tenaga untuk bersikap baik-baik saja. “Chel?!” panggil Grace dengan meninggikan volume suaranya. “Gu-gue, gue, gue nggak—“ Grace menjambak rambut Chelsea membuat gadis itu langsung mendongak, dia ingin berteriak kesakitan hanya saja dia tidak ingin Grace semakin menyakitinya. “Lo serius mau jadi cupu lagi, hm?!” “Grace lepasin Grace!” Gadis berambut sebahu itu menyentakkan kepala Chelsea. Ketua kelas masuk, dan kelas yang awalnya ramai berubah jadi senyap. “Hari ini Bu Widya lagi ada tugas di luar kota, kita disuruh merangkum materi Sejarah bab-14" Grace menyeringai ke arah teman-temannya, dia melipat kedua tangan didepan d**a. “Well, dewi fortuna lagi berpihak ke kita nih guys.” gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajah Chelsea, “Lo mau bully Kayana, atau kita yang akan bully lo, my baby Chelsea??” “Nggak, Grace. Gue nggak akan ngebully siapapun lagi” ucap Chelsea, dia mati-matian meminta maaf kepada Ronald kemarin, dan pria itu memberinya satu kesempatan untuk mengubah perilaku buruknya mulai dari sekarang, juga kembali menjadi Chelsea yang dulu. Baik, penurut dan juga mau berteman dengan siapapun. Tidak ada Chelsea yang kasar dan suka membully lagi. “Baiklah, kalau gitu.. lo yang bakal kita bully” Grace menyeringai senang. Dia melingkarkan lengannya di leher Chelsea, gadis itu langsung menyeret Chelsea entah menuju kemana. Teman-teman sekelas mereka tidak ada yang bisa mencegah, toh mereka sudah terbiasa dengan semua itu. Mereka hanya tidak ingin mendapatkan masalah, dan lebih baik pura-pura buta dan tuli saja. Tapi, diantara mereka semua ada satu orang yang tidak bisa berpura-pura lagi. Steffan, si ketua kelas. Cowok itu diam-diam membuntuti kemana perginya Chelsea dan teman-temannya, sudah cukup selama ini dia menutup mata dan tidak menjalankan perannya sebagai ketua kelas dengan baik karena tidak mau tau masalah teman-temannya, khususnya Chelsea dan Grace. “Kali ini gue nggak akan biarin kalian semena-mena lagi” gumam Steffan, cowok itu terus membuntuti. Dia menjaga jarak agar tidak ketahuan, cowok itu berbelok, dan bruk! “Sori, sori” Steffan langsung berjongkok, dia membantu seseorang yang baru saja ditabrak memungut buku yang berserakan. Kayana mengangguk, ikut memungut bukunya. “Nggak papa, lagian kenapa jalannya diem-diem gitu?” tanya gadis itu, dia mengenal siapa Steffan meskipun mereka tidak terlalu dekat. “Ah, tadi gue lagi ngikutin si Grace sama Chelsea, kayaknya mereka mau bullying lagi deh” Jantung Kayana berdetak lebih cepat, Steffan menyerahkan tumpukan buku itu kepada Kayana. “Gue duluan ya, dan sori sekali lagi.” Kayana tak menjawab karena Steffan sudah keburu pergi. Bullying? Tapi, kenapa mereka pergi ke arah selatan? Sedangkan kelas Kayana ada disebelah utara? Siapa kali ini yang jadi target bullying Chelsea? Selama ini, Chelsea hanya membully Kayana, tidak ada yang lain. Otak Kayana terus berputar. Gadis itu berjalan mengikuti Steffan, tak peduli kalau sekarang dia tengah membawa tumpukan buku teman-teman sekelasnya. Mempercepat jalannya, Kayana semakin penasaran. Dia menemukan Steffan tengah mengintip di balik pilar, gadis itu menyipitkan mata. Dia berjalan mendekat dan bersembunyi di balik pilar lain. Netra Kayana membulat saat dia mendapati Chelsea lah yang tengah dibully oleh teman-temannya sendiri. Ada apa ini? Kenapa? Kayana sudah hendak menolong, tapi suara Steffan membuat dia mengurungkan niatnya sekejap. Steffan memberi isyarat agar Kayana tidak ikut campur karena dia sedang merekam. Akhirnya, gadis itu menuruti perintah Steffan sampai cowok itu selesai dengan kegiatannya. “Psst, Kayana!” Panggil Steffan, dia mengisyaratkan agar Kayana menerima ponsel yang hendak ia lemparkan. Gadis itu mengangguk, dia meletakan tumpukan bukunya dilantai. Steffan melemparkan ponselnya dengan mulus, untung saja Kayana sigap menangkap. “Buka” kata Steffan lagi dengan isyarat tangan. Kayana membuka screen nya, disana ada sebuah note dari Steffan. “Berikan ponsel itu pada Bu Merry, cepat!” Gadis itu mengangguk, dia langsung berlari menjauh begitu saja, bahkan Kayana lupa dengan buku-buku yang masih tergeletak dilantai. Steffan keluar dari tempat persembunyiannya. “STOP!” Teriak cowok itu, Grace yang tengah tertawa kini langsung berhenti. Dia menatap Steffan dengan datar. “Lo bener-bener keterlaluan, Grace. Gue udah muak sama kelakuan lo selama ini” desis Steffan tajam, cowok itu berjongkok, mengamati wajah Chelsea yang sudah lebam-lebam, rambutnya acak-acakan dan.. seragamnya lusuh. Steffan kembali berdiri, dia berhadapan langsung dengan Grace. “Kenapa hobi lo nggak pernah berubah, hm? Bully bully bully, lo pikir mereka apa?! Mainan lo?!” “Lo nggak usah ikut campur deh, ketua kelas sok suci! Pergi lo!” “Pergi? Lo nyuruh gue pergi, tapi lo yang bakalan pergi dari sini, Grace. Pengaruh kedua orang tua lo masih dibawah pengaruh keluarga Chelsea, dan well, apa lo nggak bisa bayangin kalo sampe kedua orang tua dia tau semua ini?” “Steffan, jangan!” Bukan Grace yang menyela melainkan Chelsea, “Please, jangan sampai kedua orang tua gue tau” kata dia dengan mata berkaca-kaca. Steffan tersenyum tipis, “Telat, Chel. Mungkin sebentar lagi, kedua orang tua lo bakalan dateng kesini.” “Maksud lo apaan sih, hah?!” Grace mendorong bahu Steffan, “Lo mau coba ngadu ke bu Marry?” Tanya Grace dengan suara meninggi dan sedikit gemetar. “Coba aja, kalo lo mau bokap lo didepak dari perusahaan bokap gue!” “Grace, Grace, selalu itu ancaman yang lo layangkan ke gue. Mungkin dulu gue takut, tapi sekarang, gue nggak takut lagi. Toh, bokap gue nggak terlalu senang bekerja sama orang yang punya hobi korupsi!” “DIAM!!” Tangan Grace hampir saja mendarat di pipi Steffan, tapi sebuah tangan lain mencegahnya. Grace menoleh dan mendapati Kayana berdiri disana seraya menahan lengannya. Dengan gerakan kilat Kayana memelintir tangan Grace membuat gadis itu langsung menjerit kesakitan. “LEPAS!! KAYANA GILA! LEPASIN!” Teriak Grace dengan suara nyaring seraya menjerit-jerit, tak akan ada yang mendengar karena koridor gudang ini cukup sepi. Jarang ada siswa dan guru yang melintas disini. “Sakit kan? Lo pikir Chelsea nggak kesakitan pas lo tampar dan jambak dia dengan seenaknya? Lo pikir nggak sakit saat lo dorong-dorong kepala dia sampe kebentur tembok, lo pikir nggak sakit, hah?!” Kayana mendesis tajam, gadis itu sebenarnya tidak lemah. Dia bisa melakukan hal yang kejam kepada orang lain, tapi tidak ketika orang itu adalah Chelsea. Dia sudah memutuskan untuk melawan setiap pembullyan yang akan ditujukan untuk dia. Kayana mendorong tubuh Grace sampai membentur tembok. “Jangan sentuh Chelsea atau lo akan tau akibatnya.” Kayana menarik paksa tubuh Chelsea, dia membawanya menuju UKS untuk diobati. Steffan tersenyum miring ke arah Grace. Dan berlalu begitu saja. (^_^)(^_^) “Chelsea! Dimana kamu sayang, Chelsea!” Mama Anya menerjang masuk ke UKS dengan raut wajah yang super Khawatir saat mendapatkan telepon dari pihak sekolah kalau Chelsea menjadi korban bullying. Dia bahkan belum mampir ke ruang Bu Marry, lagipula, melihat kondisi Chelsea lebih penting daripada harus mampir ke ruangan BK. Anya hanya datang sendiri karena Ronald saat ini berada di Singapura. “Mama..” lirih Chelsea, Anya langsung memeluk putrinya, “Wajah kamu, Chel.” Anya mengelus wajah Chelsea yang lebam. “Haruskah Mama bawa kamu buat operasi plastik biar jadi cantik lagi?” Chelsea menggeleng lemah. “Chelsea nggak papa, Ma. Bentar lagi juga kempes kok lebamnya” Anya kembali memeluk putrinya. “Siapa yang berani-beraninya nyakitin anak Mama, hm? Bilang?! Mama nggak akan maafin dia!” “Chel—“ ucapan Kayana terhenti saat mendapati ada Anya di samping ranjang Chelsea, gadis itu menatap Chelsea dan Anya bergantian. Anya menderap, menjambak rambut Kayana dengan keras. “Pasti kamu, kan, yang bikin anak saya jadi seperti ini?!” “Tante, lepasin tante” “Ma, bukan Kayana, Mama lepasin!” Anya melepaskan jambakannya, dia menatap Chelsea dengan wajah cengo. “Hah? Bukan dia?” Chelsea menggeleng. Mama Anya kembali menatap Kayana, “Tapi kemarin..” “Grace dan temen-temen nya yang bikin aku kayak gini, Mama. Bukan Kayana, justru dia yang tolong aku” Anya berdehem, dia kembali berjalan ke pinggir ranjang Chelsea tanpa meminta maaf kepada Kayana, gadis itu tak mempermasalahkannya. “Oohh, Mama nggak tau” “Nggak papa, tante” Kayana meletakan segelas teh hangat di nangkas. “Kalo gitu gue ke kelas duluan, Chel.” “Kayana, thanks” Kayana hanya tersenyum tipis. Jantungnya berdetak lebih cepat, dia tidak boleh terlihat lemah didepan Chelsea karena dia tidak tau kapan Chelsea akan berubah menjadi seperti dulu, senang membullynya. Kayana keluar UKS, dia berjalan di koridor. Steffan baru saja keluar dari BK, "Steff" Panggil Kayana. "Kay" "Gimana?" tanya gadis itu lagi. "Bu Merry bakalan panggil kedua orang tua mereka semua, khusus nya Grace. Kayaknya mereka bakalan diskorsing" tutur Steffan, "Gue duluan ya, Kay." "Iya" (^_^)(^_^) Kayana mengusap pinggiran cermin yang ada di gudang, gadis itu langsung pergi ke gudang setelah jam pelajaran selesai. Tapi dia tidak langsung menuju gudang, gadis itu mampir ke kantin dulu dan menunggu semua teman-temannya pulang. Mungkin masih tersisa beberapa siswa yang mengikuti ekstra. “Apa sebaiknya hari ini gue langsung pulang aja ya, kalo gue pergi ke dunia fantasi itu sekarang nggak menutup kemungkinan gue bakalan pulang larut lagi. Mama pasti khawatir banget" Gadis itu menarik nafas panjang, menghembuskannya. Ya sudahlah, toh dia juga sudah tidak begitu tertarik untuk pergi ke dunia fantasi itu lagi. Akhirnya Kayana memutuskan untuk pergi, tapi baru tiga langkah, tiba-tiba cermin itu mengeluarkan cahaya, Kayana menoleh dan silau menatap cahaya tersebut, tiba-tiba saja Kayana merasa ada magnet yang menariknya. “Aaaaaa!!!!” jeritan Kayana lenyap saat tubuhnya masuk ke dalam cermin, selang beberapa menit cahaya itu menghilang. Kayana telah pergi ke dunia fantasi itu lagi meski dia tidak ingin pergi ke sana. Cermin itu selalu menelan korban, dan Kayana telat untuk menyadari, juga karena seseorang telah menyetujui kepergian Kayana. Lantas, kali ini kemana Kayana mendarat? (^_^)(^_^) “Mama, Kayana tidak akan pulang untuk beberapa hari. Kayana ada tugas penelitian di Bandung, surat izin akan dikirim oleh pihak sekolah ke Mama. Mama nggak usah cemas, Kayana pasti baik-baik saja. Selamat tinggal, Ma” “Aneh banget pesannya.” gumam Mama Intan setelah membaca pesan yang baru saja dikirim oleh Kayana. Kenapa acara nya mendadak seperti ini? Tidak biasanya Bina melakukan hal yang dadakan, perasaan Mama Intan tidak tenang. Ketukan pintu terdengar, Mama Intan segera berjalan kedepan untuk membukakan pintu. Saat pintu terbuka berdirilah seorang pria dengan setelan rapi, pria itu tersenyum ke arah Mama Intan. "Selamat pagi, saya datang untuk mengantarkan surat izin dari SMA Bina Jakarta” “Aaahh..” Mama Intan menerima surat tersebut, wanita itu membukanya dan membaca isinya. petugas yang mengantar surat menyerahkan bolpoin. “Kenapa suratnya datang dadakan? Biasanya kalau ada acara seperti ini pasti diberi tahu beberapa hari sebelumnya” “Pengumuman ini baru disampaikan kemarin, Bu. Dan Kayana tidak masuk sekolah saat itu.” “Oh begitu, baiklah.” Mama Intan menandatangani surat tersebut, seseorang itu tersenyum tipis. “Ini” Mama Intan menyerahkan kembali amplop coklatnya. “Jangan cemaskan Kayana, dia pasti akan bersenang-senang disana” “Iya, saya percaya.” “Kalau begitu saya permisi dulu” Perasaan Mama Intan tidak enak, dia jadi gelisah sekarang. Apakah putrinya baik-baik saja? Mungkin Mama Intan harus menghubungi Kinara dan Kayana untuk memastikan mereka baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN