Back to Reality 4.1

2444 Kata
“b*****t!!” Umpatan itu keluar dari bibir seorang Jovan, dia menatap cowok yang saat ini ada di depannya dengan tajam. Emosinya sudah memuncak lantaran cowok itu menumpahkan kuah bakso di bajunya, apa cowok itu tidak tau betapa panas nya kuah bakso tersebut?? Sebelum terjadi baku hantam cowok yang tidak sengaja menumpahkan kuah bakso tadi meminta maaf kepada Jovan. “Sori, sori” “Sori matamu! Lo pikir itu kuah nggak panas?!” bentak Jovan lagi, tangannya sedikit mengipas-ngipas bajunya yang basah serta kulitnya yang kepanasan karena tersiram kuah. “Gue nggak sengaja” cowok tadi kembali melayangkan sebuah pembelaan. Tapi Jovan sudah terlanjur emosi. “Jalan pake mata dong makanya!” Karena Jovan masih terus saja berbicara dengan nada tinggi akhirnya si cowok tadi ikut tersulut juga emosinya. Dia meletakan mangkuk yang saat ini dipegang ke atas meja, suara benturan antara mangkuk dan meja tidak dapat dihindari membuat atensi pengunjung warung bakso tersebut tercuri. Mereka menatap dua remaja yang saat ini saling menantang. “Gue kan udah minta maaf, lo kok nyolot sih?!” “Gimana nggak nyolot, kalo kulit gue melepuh, lo mau tanggung jawab, hah?!” Sebelum terjadi baku hantam, pemilik warung tersebut segera menengahi. Jangan sampai warung kecilnya ini porak poranda karena ulah kedua remaja tersebut. Dia tidak ingin sampai ada kejadian gerobak terdorong, kursi terjungkal dan para pengunjung terguling-guling serta baksonya yang menggelinding, tidak, tidak, dia akan menyelamatkan tempat jualannya. "Kalian ini! Jangan berantem disini, sana keluar!" usir pemilik warung. Jovan menatap cowok tersebut tanpa takut, dia akan terus mengingat wajah si cowok itu sampai kapanpun. "Pengecut!" (^_^)(^_^) Chelsea suntuk. Target bullying nya tidak masuk sekolah hari ini membuat tangannya gatal sekali. Kenapa sih Kayana harus sakit? Kan, dia jadi tidak punya mainan di sekolah. Di sekolah begitu membosankan tanpa kehadiran Kayana, dan rasa bosan itu membuat mood Chelsea benar-benar buruk. Ditambah, saat dia mengajak teman-temannya untuk ke mall mereka semua menolak dengan alasan sibuk. Sibuk apa sih mereka itu? Di saat seperti ini Chelsea bersyukur dia masih punya Danu, saudara laki-lakinya yang stand by 24 jam untuk dia. Selama ini Danu belum pernah menolak keinginan Chelsea, apapun itu. Danu dan Chelsea selalu rukun dan saling mensupport satu sama lain, singkat kata mereka itu sibling goals. Sore ini, Chelsea tetap akan pergi ke mall bersama Danu untuk menghilangkan rasa suntuknya. Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin, setelah dirasa cukup cantik dan penampilannya oke, Chelsea tersenyum senang. Tapi senyum itu tak bertahan lama saat netranya tak sengaja menatap sebuah photo yang terpantul dari cermin nya. Chelsea menoleh, menyorot tajam ke arah photo tersebut. "Chelsea.. please lupain dia. Dia udah pergi, dia nggak bakalan kembali lagi. Stop!" Chelsea menutup telinganya, kepalanya berputar-putar saat mengingat tentang dia, seseorang yang ada di photo tersebut. Gadis itu menderap, meraih pigura itu dan membantingnya dengan kasar. Pecahan kaca langsung berserak. Chelsea menyambar tasnya dan segera keluar kamar. Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Chelsea mulai menuruni anak tangga, dia melihat Danu tengah bermain game di ruang tengah. “Dan!” Panggilan Chelsea membuat fokus Danu terpecah, meski begitu dia tampak tak kesal sama sekali. Cowok itu justru mengembangkan senyumnya, dia meletakkan stick ps dan segera berdiri. "Udah siap?" Chelsea mengangguk. Saat hendak beranjak, suara bariton yang amat sangat dikenali oleh Chelsea maupun Danu terdengar. Mereka berhenti dan kompak menoleh. Papa Ronald berdiri di anak tangga, "Papa ingin bicara sama kamu, Danu." Suara itu terdengar datar dan dingin. Danu dan Chelsea saling melempar tatapan khawatir. “Tapi, Pa. Aku sama Danu—“ ucapan Chelsea terhenti saat Ronald mengangkat telapak tangannya, tanda kalau Chelsea tidak boleh berbicara lagi. Gadis itu menelan silva, di rumah ini tidak ada yang bisa menolak keinginan Ronald dan membantah ucapan pria itu. Semua harus nurut dan tunduk kepadanya. Danu menepuk pundak saudaranya, dia tersenyum tipis. "Next time, Chel" kata Danu sebelum melangkah untuk menemui Ronald di ruang kerja milik pria itu. Chelsea menghela nafas. Hari ini benar-benar buruk, Chelsea tidak mendapatkan kebahagiaan apapun, hidupnya tampak sangat membosankan. Tidak ada pilihan lain selain kembali ke kamar, "Andai aja lo nggak pergi, Ga" gumam dia lirih. Chelsea sudah tidak mood untuk pergi ke mana-mana, dia mulai menaiki anak tangga. Saat membuka pintu kamar netranya langsung disuguhkan oleh pecahan kaca yang masih berserakan dilantai. “Bibi!” Mendengar teriakan majikannya, pembantu yang kira-kira berusia 48 tahun itu datang. Chelsea menatap asisten rumah tangganya, dia menunjuk ke arah pecahan kaca. “Bersihin kaca-kaca ini, jangan lupa beliin pigura lagi terus pasang fotonya. Oh iya, taruh aja di gudang setelah itu” “Baik, Non” Di ruangan tempat sang Papa menunggu, Danu masuk. Aura mencengkam sangat terasa, cowok itu sampai harus menahan nafas selama beberapa detik, kalau selama beberapa menit Danu tidak sanggup. Ronald yang awalnya duduk di kursi kerjanya kini bangkit, pria itu berjalan mendekati Danu yang berdiri di samping sofa. “Danu, kamu masih ingat apa yang papa ajarkan saat kamu berusia 6 tahun?" "Tidak boleh berbohong, harus nurut sama Papa, tidak boleh jadi anak nakal, harus jadi yang terpintar, harus baik dan berteman dengan siapa aja, dan.. menjaga Chelsea saat dia diganggu" Ronald tersenyum saat Danu mengucapkan semua itu dengan lancar, itu artinya anak laki-lakinya masih mengingat semua yang ia ajarkan sejak kecil. Tidak sia-sia Ronald mendidik Danu dengan keras selama ini. Ronald menepuk pundak Danu dengan bangga, lantas berucap. “Kalau begitu, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di SMA Bina kemarin. Tentang Chelsea, gadis bernama Kayana, dan juga.. kamu yang tiba-tiba menerobos masuk bersama dengan pacarmu itu.” Danu menunduk dalam-dalam, dadanya bergemuruh. Detak jantung cowok itu sudah tak bisa didefinisikan lagi ritmenya. Bagaimana Ronald bisa tau tentang dia yang menerobos masuk ke Bina? Cowok itu sedang dilema sekarang, kalau dia jujur maka tamatlah riwayat Chelsea di tangan Ronald, tapi kalau Danu berbohong demi melindungi kesalahan Chelsea, maka hukuman untuk mereka berdua akan semakin berat. Danu tidak ingin, akhirnya dia memutuskan untuk berkata jujur. “Chel-chelsea…” Dan mengalirlah cerita Danu, tentang dia dan Kinara yang mengetahui kejadian dimana Chelsea membully salah satu murid SMA Bina. Bahkan Danu merekam dengan mata kepalanya sendiri saat Chelsea dan Kinara bertengkar. Tak ada yang Danu tutup-tutupi sama sekali. Papa Ronald mengepalkan tangannya, urat-urat di pelipis laki-laki itu mulai muncul. Dia bukan hanya marah dengan Chelsea, tapi juga dengan sang istri yang tau kejadian itu tapi malah menutupinya. Papa Ronald tidak bisa menoleransi kesalahan apapun, apalagi kalau kesalahannya sudah sefatal ini. Ternyata laporan yang selama ini masuk terbukti benar bahwa anak gadisnya adalah seorang pembully. Chelsea sudah melanggar janjinya dan melupakan semua ajarannya. Tepat setelah Danu menyelesaikan ceritanya, Ronald meringsek, dia mendorong Danu hingga terjatuh tepat diatas sofa, meski agak kasar tetap saja Ronald tidak ingin mencelakakan anak laki-lakinya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Danu sekarang, Ronald sudah marah, kalau sampai perbuatan Chelsea tersebar maka reputasinya akan hancur, citra baik keluarganya berikut dirinya dipertaruhkan disini hanya karena kelakuan putrinya yang tidak pernah berpikir sebelum bertindak. Chelsea harus diberi pelajaran. Di dalam kamar, Chelsea tengah asik menabur hujatan pada kolom komentar postingan Kayana. Ternyata gadis yang sering jadi bahan bully an nya tengah jatuh sakit. Pantas saja hari ini tidak masuk. Tentu itu membuat Chelsea semangat dan merasa senang, mood nya perlahan membaik. Kayana memang pantas mendapatkan rasa sakit itu, pikir Chelsea. Gadis itu terlonjak saat pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dengan kasar, Papa Ronald masuk dengan amarah yang sudah memuncak. Dengan kasar laki-laki itu merebut ponsel Chelsea dan membantingnya begitu saja. Padahal, ponsel itu keluaran terbaru yang ia beli dua bulan yang lalu. Chelsea hanya bisa menatap benda pipih kesayangannya remuk, almarhum. “Papa apa-apaan sih?!” Teriak gadis itu marah. Dia lupa dengan siapa saat ini berhadapan. Papa Ronald menjambak rambut Chelsea membuat gadis itu menjerit kesakitan dan meronta minta dilepaskan. “SAKIT?! SAKIT HAH?!” “Papa lepas!! Sakit, Pa!!” “KALAU KAMU TAU INI SAKIT, KENAPA KAMU MALAH MEMBULLY TEMANMU, CHELSEA?!” Papa Ronal menyentakkan kepala anaknya membuat jambakannya terlepas. Chelsea jatuh di atas ranjangnya, dia menangis sesenggukan seraya memegangi surainya yang nyeri karena jambakan Ronald terlalu keras. Untung saja Ronald menyentak nya di atas ranjang bukan di lantai, bisa babak belur nanti Chelsea. “Ada apa denganmu, Chelsea?! Kenapa perangaimu berubah seperti binatang?! Membully orang, hah?! Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk menjadi seorang penindas! Papa malu, Chelsea, Papa malu!" Mendengar hinaan meluncur dari mulut sang Papa membuat Chelsea tak tahan, pada akhirnya dia meledak juga. Baru kali ini Chelsea terlihat begitu marah. Lagipula, siapa yang tidak marah saat disamakan seperti binatang oleh orang tua sendiri? “Papa stop! Chelsea punya alasan, Pa. Chelsea tau Chelsea salah, Chelsea minta maaf, Papa!” Sangking marahnya, Chelsea tidak bisa membentak. Bahkan suara tangisnya kian lirih. Hati Chelsea sakit. Gadis itu bersimpuh dibawah kaki Ronald dan meminta pengampunan, gadis itu kembali menangis dengan histeris. Danu mengepalkan tangannya kuat-kuat, dia bahkan tak bisa melindungi Chelsea kali ini karena lawannya adalah sang Papa. "Maafin gue, Chel, maafin gue" gumam Danu seraya memejamkan matanya. "Papa, maafin Chelsea.." gadis itu kembali meminta maaf, tapi sang Papa sepertinya belum bisa memaafkan tindakan Chelsea. “Minta maaf katamu?! Setelah semua yang sudah kamu lakukan kepada gadis itu sekarang kamu minta maaf?!” Papa Ronald berjongkok, tangannya meraih rahang Chelsea. Sorot mata itu, baru kali ini Chelsea melihatnya. "Papa menjadi salah satu donatur disana, Chelsea. Kalau sampai perbuatanmu itu diketahui banyak orang, apa yang akan mereka katakan nanti?! Reputasi Papa bisa hancur gara-gara kamu!" Dia tidak pernah menyangka Papa nya akan sekasar ini kepadanya. “Papa sama Mama ngedidik kamu dan Danu dengan penuh kasih sayang, semua yang kamu inginkan selalu Papa turuti. Kamu lupa pesan Papa? Jadi anak baik dan penurut, Chelsea. Apa susahnya?” Ronald memelankan suaranya, meski pelan tapi tetap dingin dan tajam. “Mana Chelsea yang baik dan ceria seperti dulu? Mana Chelsea yang suka membantu teman-temannya dan selalu merangkul mereka, MANA?!” Papa Ronald menyentakan rahang Chelsea begitu saja. Chelsea memejamkan mata, hatinya sakit melebihi bekas jambakan sang papa. “Papa bener-bener kecewa sama kamu Chelsea. Kamu pikir, Papa nggak tau kelakuan kamu selama ini? Kalau kamu berpikir seperti itu, kamu salah, Chelsea. Papa selalu memantau tingkah laku baik kamu maupun Danu. Karena Papa harus memastikan penerus Reandra punya kepribadian yang baik dan sempurna." Setelah mengatakan itu, Papa Ronald keluar kamar Chelsea dan mendapati Danu di luar. Dengan gerakan kepala Papa Ronald meminta Danu untuk masuk ke kamar sang adik. Melihat saudaranya datang Chelsea langsung menghambur, dia butuh seseorang yang mau memeluknya disaat seperti ini. Dan Danu selalu ada untuk Chelsea. “Ssshh, udah ya, Papa lagi emosi aja sekarang” kata Danu lembut, tangannya mengusap rambut gadis itu dengan sayang. “Lo seharusnya tau resikonya kalo ngelakuin hal yang seharusnya nggak lo lakuin, Chel.” Chelsea masih menangis sesenggukan di dalam dekapan sang kakak. Tidak ada yang akan paham tentang perasaannya karena tak satu orang pun tau alasan kenapa dia sampai membully Kayana. Untuk sekarang, Chelsea tidak ingin berbicara dulu, dia hanya ingin menangis. “Gue sebenernya nggak suka lihat lo nangis, lihat lo di siksa sama Papa, lihat lo di tampar sama Kinara. Gue ikut ngerasain sakit itu, Chel. Hanya saja, gue nggak bisa ngelindungi kesalahan lo” Danu berhenti sejenak. Cowok itu menguraikan pelukan nya. Netra Danu menyorot sendu ke arah Chelsea. Chelsea balas menatap Danu, tangan Danu bergerak mengusap air mata yang baru saja jatuh. “Mulai sekarang lo harus janji nggak akan melakukan bullying lagi. Lo juga harus janji bakalan kembali jadi Chelsea yang baik dan penurut” Lagi-lagi Chelsea tidak menjawab, dia bungkam seribu bahasa. “Sekarang lo istirahat dulu ya” Saat Danu hendak beranjak, lengan nya ditahan oleh Chelsea, gadis itu tersenyum tipis. Danu membalas senyuman sang adik, cowok itu mendekatkan bibirnya ke kening Chelsea, mengecupnya singkat. “Maafin Papa ya, Papa lagi emosi tadi” Chelsea hanya mengangguk. (^_^)(^_^) ‘Seharusnya kamu menjadi contoh yang baik untuk Jovan!’ ‘Masalah apalagi kali ini hah?! Apa hukuman Papa belum bisa bikin kamu jera?!’ ‘Papa sudah capek ngurus kamu!’ ‘Terserah! Terserah apa yang ingin kamu lakukan sekarang!’ Jovan membuka matanya, nafas cowok itu naik turun tak beraturan. Dia mengusap wajah, menatap sekelilingnya yang sudah sepi. Kemana teman-temannya pergi?? Sial! Jovan ketiduran saat kelas sedang berlangsung dan sekarang saat kelas sudah selesai tidak ada yang membangunkannya. Mimpi itu, kenapa mimpi itu terus saja menghantuinya? Membuat Jovan merasakan sakit dan rasa bersalah yang teramat dalam kepada kakaknya. Kalau seandainya dia bisa bertemu sang kakak kembali, Jovan bersumpah akan berlutut dihadapan kakak nya. Dia akan meminta maaf dan menebus segala dosa-dosanya. Bahkan sampai sekarang Jovan belum memberitahu kedua orang tua mereka tentang apa yang selama ini terjadi. Tentang bagaimana sang kakak selalu melindungi Jovan dan bersedia untuk kena marah serta hukuman demi Jovan yang punya sifat menyebalkan. Meraih tas nya, Jovan keluar kelas. “DOR!” “Kambing!” Dea cekikikan karena berhasil mengagetkan Jovan, gadis itu berhenti tertawa dan merubah ekspresinya jadi sepolos mungkin. “Jovaaann.. gue nebeng ya? Pliss, sekali ini aja” Jovan terdiam sejenak, lantas mengangguk membuat senyum di wajah Dea langsung muncul. Mereka berjalan bersama menuju tempat parkir. Dea sudah bisa menebak, Jovan tidak akan pernah menolak nya. Mereka sudah memutuskan untuk berteman. “Jo, kalo kapan-kapan gue ajak lo main, boleh nggak?” “Boleh boleh aja sih.” Dea meninju udara, dia senang. “Asal lo nggak baper aja” Ucapan Jovan barusan memudarkan senyum Dea, tapi tak lama gadis itu menerbitkan lagi senyumannya. “Nggak bakal, tenang aja” Jovan hanya membalasnya dengan senyum tipis. Perjalanan dari kampus menuju ke rumah Dea membutuhkan waktu sekitar 23 menit, karena Jovan mengendarai mobilnya dengan santai mungkin waktu yang mereka butuhkan untuk sampai cenderung lebih lama. “De, gue tadi habis mimpi buruk” celetuk Jovan tiba-tiba. Kalian masih ingat saat Jovan bilang dia tidak keberatan bercerita tentang masalahnya kepada siapapun, nah inilah maksudnya. “Kenangan saat kakak gue kena marah karena ulah gue selalu menjadi mimpi buruk yang terus menghantui gue, buat gue semakin ngerasa bersalah, De. Seandainya gue tau dimana dia sekarang gue pasti akan nemuin dia dan minta maaf, semua keluarga gue udah anggep dia meninggal, De.” “Kok tega banget sih” “Itu karena dimata mereka kakak gue anak yang tidak tau diri, buruk, makanya mereka nggak terlalu sedih dan merasa kehilangan” “Keluarga lo terlalu rumit, Jo” Mobil Jovan menepi, “Tunggu bentar ya, gue beliin lo jus” cowok itu keluar tanpa meminta persetujuan atau menawarkan terlebih dulu kepada Dea. Karena Jovan tau cewek itu sukanya jaim, kalau di tawari pasti minta dipaksa dulu, padahal dalam hati sejak penawaran pertama mereka pasti langsung setuju. "Kayak perasaan gue kalo sampe beneran suka sama lo, Jo. Bakalan rumit" gumam Dea saat Jovan sudah keluar dari mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN