4 - KISAH DUA ALAM

1424 Kata
“Ibunda...” Suara lirih terdengar, memanggil-manggil sosok ibunya yang menjauh darinya. Sementara seorang wanita yang terbaring di ranjangnya pun tampak bergerak tidak nyaman, peluh membanjiri dahinya, napasnya juga naik turun tak beraturan. Jari-jarinya meremat seprei dengan erat, kepalanya bergerak ke sana ke mari. “Ibunda...” "Ibunda... Jangan meninggalkanku, aku menyayangimu.” Suara itu bagaikan kaset rusak yang terus berputar dan terngiang-ngiang dalam otak. “Aku bukan ibumu, menjauh lah dariku.” Teriakan itu terdengar melengking, ia tidak suka dipanggil ibunda oleh sosok mungil mengerikan itu. “ARGHH!” Wanita itu menjerit kala sosok kecil tersebut menghinggapi dirinya dan berusaha untuk memeluknya. Detik berikutnya, Elin terbangun dari mimpi buruknya dengan tersengal-sengal. Wanita itu melihat ke sekeliling, ia bernapas lega karena masih berada di kamarnya. Ia terduduk di atas ranjang, mengusap wajahnya dengan kasar. Beberapa saat lalu ia bermimpi aneh, ada sosok anak kecil berkulit merah berusaha menggapainya, berusaha untuk memeluknya. Elin yang merasa jijik pun terus menghindar, tak lupa anak itu juga memanggil-manggil dirinya dengan sebutan ‘ibunda' membuat Elin semakin kebingungan. Wanita itu melirik ke atas nakas, ia ingin mengambil gelas yang berisi air minum. Saat tangannya terulur untuk meraih gelas itu, tiba-tiba saja dahinya mengernyit bingung melihat ada bekas tanda kemerahan pada pergelangan tangannya. “Tidak mungkin, aku hanya bermimpi tadi.” Elin tak habis pikir, dimimpinya tadi sosok anak kecil itu meraih tangannya dan menggenggamnya, tapi kenapa bekas genggaman itu terbawa hingga di dunia nyata? Ia hanya bermimpi, bukan mengalaminya secara nyata. Di saat-saat seperti ini ia teringat dengan buah hatinya, sosok kecil berkulit merah tadi persis seperti Manggala—anak yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri. Jantungnya terasa bergemuruh, Elin benar-benar takut jika ia ditangani oleh putranya sendiri. Ia mengecek ponselnya, pukul tiga dini hari. Sepertinya ia tidak bisa kembali tidur lagi, sekaligus menunggu hingga adzan subuh berkumandang. “Apa dia benar-benar anakku?” Jujur saja Elin takut dengan anak kandungnya sendiri. Manggala tidak seperti bayi pada umumnya, anak itu mengerikan seperti monster. Elin juga tidak mau berada di posisi saat ini, membenci anaknya sendiri. Ini semua karena Bhanu, pria itu membohongi dirinya hingga Elin harus ikut-ikutan membenci anaknya juga. Setelah beberapa saat berkutat dengan pikirannya sendiri, akhirnya suara adzan pun berkumandang, Elin buru-buru menyingkap selimutnya untuk mengambil wudhu. Wanita itu mencurahkan segala kerisauan hatinya terhadap sang pencipta, air mata terus mengalir deras dari maniknya. Kenapa harus dirinya yang mengalami nasib seperti ini? Elin hanya gadis biasa sebelumnya, ia juga tak pernah bersentuhan dengan hal-hal gaib. Tapi semenjak ia mendaki salah satu gunung lalu sempat tersesat, di sana lah ia bertemu dengan Bhanu. Suaminya menolong dirinya dengan menunjukkan jalan yang benar. Saat itu Elin sama sekali tidak curiga, kenapa tiba-tiba Bhanu muncul di tengah rindangnya hutan, hubungan mereka juga semakin dekat, Bhanu sering menemui Elin dan akhirnya keduanya pun sepakat mengikat kisah cintanya. Setelah mencurahkan segala keluh kesahnya pada sang pencipta, wanita itu pun bangkit berdiri dan menyimpan kembali peralatan sholatnya. Mulai hari ini Elin akan mencoba membuat roti—resep warisan mendiang ibunya. “Semangat El, kamu pasti bisa!” ujar wanita itu menyemangati dirinya. Pukul enam pagi, Elin bersiap ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Sudah satu tahun ia tak berada di kawasan ini, semuanya begitu cepat berubah, ada bangunan-bangunan baru sepanjang dirinya berjalan menuju ke pasar. Bahan-bahan yang dibutuhkan sudah ia dapatkan, tepung, telur, gula dan sebagainya. Ia membaca resep di kertas yang sudah usang, di sana ada tulisan tangan mendiang sang ibu mengenai berapa banyak takaran masing-masing bahan. Sekitar dua jam ia berkutat di dapur untuk menyelesaikan satu roti, cukup susah tapi Elin tidak akan menyerah begitu saja. “Akhirnya...” gumam wanita itu. Elin melihat roti buatannya yang sudah terpanggang dengan sempurna, terlihat montok dan menggiurkan. Percobaan pertama ia membuat roti brownies, kue berwarna cokelat gelap itu mengembang dengan baik, Elin menatap hasil karyanya dengan puas. Meraih pisau kecil, ia memotong sedikit bagian brownies itu lalu mencobanya. “Enak, tidak buruk juga.” Elin berdecak senang, rasa brownis ini hampir-hampir mirip seperti buatan tangan sang ibu, meski tidak seratus persen mirip, tapi terdapat kesamaan. Elin berniat memberikan brownies itu pada tetangga depan rumahnya—Bu Endah. Ia membuka gerbang milik Bu Endah, lalu mengetuk pintu tetangganya itu. “Eh Elin, ada apa?” Bu Endah membuka pintu sambil menatap Elin dengan penasaran. “Saya membuat brownies, ini untuk Bu Endah cicipi.” Mata Bu Endah terlihat berbinar, wanita paruh baya itu terkekeh pelan. “Ahh Elin, kamu repot-repot segala,” ujarnya sembari menerima bungkusan tersebut. Elin hanya tersenyum simpul. “Saya berniat membuka usaha mendiang ibu lagi, sejak dulu saya selalu diminta untuk melanjutkan usahanya tapi belum bisa kesampaian.” “Duduk dulu gih,” Bu Endah mempersilakan Elin untuk dudu di kursi terasnya. Wanita bertubuh gempal itu mencoba roti buatan tetangganya itu. “Enak kok, hampir mirip sama buatan Bu Sri dulu, bagus kalau kamu melanjutkan usahanya. Ohh ya tetangga kita yang tinggal di paling ujung sana juga membuka usaha roti, tapi saya yakin kalau toko roti kamu yang bakal lebih maju.” Elin menautkan keningnya. “Jadi, sudah ada yang membuka toko roti di sini?” Bu Endah mengangguk mengiyakan. “Iya, tapi rasanya nggak enak. Rotinya keras dan agak hambar, kamu sebagai anak Bu Sri sudah seharusnya membangun kembali usahanya yang sempat terhenti. Roti Bu Sri cukup dikenal orang-orang pinggiran kota ini, bisa dibayangkan bagaimana antusiasme pembeli-pembeli langganan Bu Sri kala mengetahui kalau roti favorit mereka berdiri lagi.” Bu Endah memberikan semangat pada wanita itu. Namun, Elin merasa tak percaya diri setelah mengetahui ada tetangganya yang sudah membuka toko roti juga. “Tapi saya nggak enak sama tetangga, nanti dikira mau menyaingi.” Bu Endah berdecak pelan. “Mana bisa begitu, toko roti Bu Sri kan lebih dulu ada dibandingkan punya dia. Sudah percaya diri aja, pembeli roti Bu Sri lebih banyak kok.” Elin merekahkan senyumnya, tidak ada salahnya untuk mencoba. Benar yang dikatakan Bu Endah, toko roti mendiang ibunya lebih dulu berdiri dibandingkan milik tetangganya yang baru berdiri sekitar enam bulan lalu. “Terima kasih banyak atas sarannya Bu Endah.” Bu Endah menepuk bahu wanita itu sambil tersenyum malu-malu. “Justru saya yang berterima kasih padamu karena sudah dicicipi roti favorit ini. Dulu mendiang Bu Sri juga sering membantu saya ketika kesusahan, ibumu orang yang baik.” Ya, dulu ibu Elin memang terkenal baik dan ramah di mata semua tetangganya. “Baiklah kalau begitu, saya pamit pulang dulu.” “Silahkan..” Elin berbalik untuk kembali ke rumahnya, saat baru saja melangkah sekitar lima jengkal, Bu Endah kembali memanggilnya. “Elin, tunggu sebentar.” Wanita itu tergopoh-gopoh mendekati Elin. “Ya, Bu?” Bu Endah mendekati Elin, sesekali matanya melirik ke rumah wanita itu. “Saya hampir kelupaan, tadi malam saya melihat ada laki-laki yang berdiri di depan rumah kamu.” Bu Endah sedikit memelankan suaranya. Elin menautkan keningnya bingung. “Laki-laki seperti apa rupanya?” “Tubuhnya tinggi tegap, potongan rambutnya cepak, saya nggak bisa melihat wajahnya karena halaman rumah kamu gelap tadi malam. Dia hanya berdiri sambil menghadap rumah kamu, baru sebentar saya tinggal buat ambil minum, tiba-tiba saja dia sudah hilang.” Bu Endah bercerita sambil berbisik-bisik. DEG! Jantung Elin ingin melompat dari tempatnya, apa benar perasaannya semalam seperti tengah diawasi benar-benar nyata? Dan juga ciri-ciri yang disebutkan Bu Endah sama persis seperti suaminya, Bhanu. Air muka Elin menjadi tidak enak, tak mungkin kan Bhanu mengikutinya sampai ke rumah ini? Jika pun ya, apa yang diinginkan mantan suaminya itu? “Elin, kamu mengenalnya?” Bu Endah mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah wanita itu, melihat Elin terdiam cukup lama membuatnya penasaran. Elin terkesiap kaget, buru-buru ia menggeleng. “T-tidak, mungkin saja orang iseng.” Bu Endah terlihat ragu, tapi ia akhirnya mengangguk membenarkan saja. “Kamu harus kunci semua pintu atau jendela, memang kadang-kadang ada orang gila yang suka seenaknya numpang tidur di rumah warga sini.” Meskipun Bu Endah sendiri tidak yakin jika yang ia lihat semalam adalah orang gila, pasalnya dari pakaian yang dikenakan pria semalam terlihat normal-normal saja, tidak seperti gembel. Bahkan terkesan bersih dan rapi, postur tubuhnya juga tampak kekar meski pencahayaan cukup minim. Elin berdehem pelan lalu kembali berujar, “Saya balik pulang dulu.” Bu Endah mengangguk mengiyakan. Sepanjang berjalan menuju ke rumahnya, Elin menelan ludahnya susah payah. Kenapa ia jadi takut terhadap Bhanu dan Manggala sekarang, setelah mengetahui rahasia mereka, Elin benar-benar tidak ingin lagi bersinggungan dengan alam yang berbeda. Wanita itu menutup pintu rumahnya, tak lupa juga memeriksa setiap jendela. Sudah tertutup dengan sempurna, meskipun ini masih siang hari tapi tidak menutup kemungkinan kalau Bhanu mendatanginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN