3 - KISAH DUA ALAM

1040 Kata
Elin mengemasi barang-barangnya pada koper, wanita yang baru saja melahirkan beberapa hari lalu itu telah memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Sebelumnya Elin memiliki sepetak rumah peninggalan orangtuanya di pinggiran kota, rencananya ia akan tinggal di sana untuk melanjutkan hidupnya. Sudah cukup waktu yang ia habiskan di rumah ini bersama sang suami, Bhanu sudah pergi, tidak ada alasan lagi untuk Elin bertahan. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, wanita itu pun segera menyeret kopernya keluar. Di tatapnya rumah itu sekali lagi, rumah yang selama satu tahun ini menjadi saksi bisu rumah tangganya bersama Bhanu, rumah yang juga menjadi saksi perpisahan mereka. Elin tidak tahu dan tidak mau tahu ada di mana anak dan suaminya sekarang, mungkin mereka sudah kembali ke alamnya. “Selamat tinggal,” gumam wanita itu. Elin mulai melangkahkan kaki menjauh dari rumah kayu yang letaknya berdekatan dengan hutan itu. Ia harus berjalan kurang lebih lima belas menit untuk sampai di jalanan desa, selanjutnya ia baru bisa memesan ojek di sana. “Dari mana, Bu?” tanya tukang ojek yang kini menjadi tumpangan Elin. Elin tidak mungkin menjawab bahwa ia memiliki rumah di perbatasan antara hutan sana, bisa-bisa tukang ojek itu berpikir Elin sangat aneh. “Habis dari penelitian hutan, Bang.” Setelah berpikir cukup lama ia pun menjawab sebisanya. Tukang ojek itu pun mengangguk sebagai jawaban, Elin harus menumpang ojek untuk sampai di terminal, dari sana ia harus menaiki bus agar sampai di rumahnya. Perjalanan membutuhkan waktu satu setengah jam, akhirnya wanita itu tiba di rumah lamanya. Meskipun sudah tidak ditempati cukup lama, tapi halaman rumahnya masih bersih, sesekali ia membayar tetangganya untuk membersihkan rumah ini. “Lho, Elin kamu sudah pulang?” tanya Bu Endah, tetangga yang bertugas membersihkan rumah wanita itu. Bu Endah melongokkan kepalanya dari balik gerbang, penasaran dengan kepulangan Elin yang sendirian, ke mana suaminya? Elin tersenyum simpul, mau tak mau ia pun mendekat pada Bu Endah. “Bu Endah menyimpan kunci rumah saya?” “Iya, sebentar saya ambilkan.” Bu Endah buru-buru masuk ke dalam rumahnya, Elin menunggu dengan sabar. Tak berlangsung lama Elin menunggu, Bu Endah tergopoh-gopoh memberikan kunci rumah wanita itu. “Ini kuncinya, kamu pulang sendiri, di mana suami kamu?” Bu Endah masih menengok ke kanan dan kiri berusaha mencari Bhanu, tapi tidak mendapati sosok pria satu pun yang ikut dengan Elin. “Saya pulang sendiri. Ohh ya terima kasih karena Bu Endah membersihkan rumah saya, mulai sekarang saya akan menempatinya.” Elin langsung mengalihkan obrolan, tidak ingin memperpanjang rasa penasaran Bu Endah mengenai suaminya. Bu Endah mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, kini ia paham kenapa Elin pulang sendiri, pasti ada masalah dengan suaminya. “Baiklah kalau begitu, kita akan menjadi tetangga lagi.” Elin akhirnya pamit undur diri, rumah Bu Endah berada persis di depannya, hanya terpisah oleh jalanan desa kecil dan juga gerbang yang cukup tinggi. Elin menggunakan kunci itu untuk membuka rumahnya. Pekerjaan Bu Endah cukup baik, terlihat bahwa tidak ada sarang laba-laba di rumahnya, sedikit debu tidak masalah karena Elin bisa membersihkannya. Ia memasukkan kopernya ke dalam, di rumah ini ia akan membuka lembaran baru dan kisah baru. “Aku harus mendapat pekerjaan untuk menyambung hidup,” gumamnya dengan diri sendiri. Elin memeriksa setiap inci rumah lamanya, di bagian depan terdapat ruko kecil yang dulunya digunakan mendiang sang Ibu berjualan roti. Secercah ide muncul dari otaknya, sepertinya ia bisa mendirikan lagi usaha yang sudah lama layu itu. Toko roti milik mendiang ibunya cukup laris dan terkenal pada masanya, beberapa pelanggan lama juga pernah mendesaknya untuk melanjutkan bisnis ini. Namun, semenjak Elin menikah dan pindah rumah, ia tidak memiliki waktu untuk itu. Bhanu melarangnya bekerja, pria itu juga telah memberikan nafkah yang cukup bahkan lebih-lebih untuknya. “Okey, aku akan menggunakan resep warisan ibu untuk membuka kembali usaha roti ini.” Elin sudah sendiri meskipun status pernikahannya belum berpisah, anggap saja kini dirinya sudah menjadi janda. Pertama-tama yang harus Elin lakukan adalah menata tempat agar terlihat nyaman dan menarik pembeli. Hari pertama setelah kembali ke rumah ini, Elin langsung menyiapkan segalanya, ia ingin disibukkan dengan karir tanpa memikirkan masalah Bhanu. Setelah berkutat dengan perabotan rumah, wanita itu memilih untuk duduk dan istirahat di sofa yang telah usang miliknya. Kepala Elin melihat ke langit-langit ruangan, meskipun berusaha untuk melupakan Bhanu dan Manggala, tapi tetap saja otaknya tak bisa berbohong. Drtt... Drrttt.. Ponsel wanita itu bergetar pertanda ada notifikasi masuk, Elin melihat pemberitahuan ponselnya. Matanya menyipit melihat sebuah teks di sana. “Kenapa Bhanu masih memberiku uang? Kita sudah berpisah, seharunya ia tidak perlu menafkahiku lagi.” Terhitung sudah dua hari sejak Elin mengatakan perpisahan, dan hari ini adalah tanggal 1 di bulan baru, jadwal Bhanu mengirim uang ke rekeningnya. Nominalnya juga tidak kecil, bahkan dua kali lipat dibandingkan bulan-bulan biasanya. Elin menggelengkan kepalanya pelan, ia tak mau menggunakan uang Bhanu sebagai penyambung hidup. Biarlah uang itu mengendap di rekeningnya, dan Elin akan memulai usahanya kembali. Disimpannya ponsel itu ke dalam tas, lalu ia beranjak pergi menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kucuran air dingin membasahi tubuh wanita satu anak itu, Elin menikmati kegiatan mandinya dengan tenang. Matanya terpejam seiring dengan aliran air yang terus menetes, tapi lama kelamaan punggungnya terasa merinding seakan ada sesuatu yang tengah menatap dirinya dari belakang. Elin mencoba melirik ke belakang, tidak ada siapapun. Mungkin hanya perasaannya saja, pikirnya. Ia segera menyelesaikan aktivitas mandinya, sungguh menyegarkan karena sejak siang hingga sore tadi ia berkutat dengan kegiatan yang menghasilkan banyak keringat. Elin mengenakan handuk yang melilit tubuhnya, ia meringis pelan saat tangannya tak sengaja menyentuh payudaranya sendiri, terasa perih dan nyeri. ASInya terasa penuh, dadanya juga terasa sesak, Elin benar-benar tidak nyaman dengan hal ini. Ia bergegas mengenakan pakaiannya, diliriknya jam tangan yang ia letakkan di atas nakas, pukul tujuh malam. Tapi kenapa tiba-tiba hawanya menjadi sepi dan senyap seperti ini? Elin mengedarkan pandangan ke sekitar, lagi-lagi perasaan diawasi hinggap dibenaknya. Dilihatnya jendela yang tertuju ke halaman rumahnya, terlihat gelap karena halaman itu belum terpasang lampu. Elin menyingkap gorden untuk menutupnya, lalu menghela napas pelan. “Aku tak boleh banyak berhalusinasi, sumber halusinasiku selama ini adalah Bhanu—dan sekarang dia sudah jauh dariku.” Elin berusaha menanamkan pikiran positif. Ia hanya tidak tahu bahwa suaminya tidak akan melepaskan sang istri begitu saja. Kemana pun Elin pergi, Bhanu pasti selalu ada disisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN