5 - KISAH DUA ALAM

1800 Kata
Bhanu Cakrabuwana, pria itu tidak benar-benar meninggalkan istrinya. Rasa cinta Bhanu terhadap Elin akan selalu melekat dan takkan mudah tergerus begitu saja, seperti halnya saat ini, ia berdiri tepat menghadap sang istri yang tengah meringkuk di atas ranjang. Bhanu menatap lekat Elin yang sedang tidur pulas, diamatinya wajah manis itu dengan diam. Sejak pertama kali ia bertemu Elin di gunung, saat itu pula Bhanu langsung jatuh cinta. Kala itu Bhanu sudah masuk waktunya menikah dan dia sama sekali tidak ingin memiliki pasangan dari golongannya, Bhanu menginginkan pasangan dari bangsa lain, hingga akhirnya pertemuan mereka berdua mengantarkan Bhanu pada pernikahan bersama Elin. Bhanu sangat mencintai istrinya, tidak akan melepaskan wanita itu barang sedikit pun. Beberapa hari ini ia terpaksa sedikit menjauh sejenak dari istrinya, Bhanu hanya akan bersembunyi dari Elin, tapi di saat-saat tertentu akan memunculkan dirinya. “Elin istriku, kenapa kamu tidak bisa menerimaku? Apa karena kita berbeda sehingga kamu menolakku?” Bhanu bergumam dengan pelan, matanya terus tertuju pada sosok kesayangannya itu. Mata Bhanu berpindah menatap pada sosok bayi mungil yang berada di gendongannya saat ini. Itu adalah Manggala, buah cintanya bersama Elin. Tidak hanya menolak Bhanu saja, Elin juga menolak anaknya juga, rasa sakit mendalam Bhanu rasakan. “Meskipun kamu membenci anak kita tapi ikatan darah tidak bisa berbohong. Manggala ada dari hasil cinta kita, ia lahir dari rahimmu, bagaimana pun juga kamu tetap lah ibunya.” Bhanu kembali berbisik pelan. Matanya menatap Elin dengan lekat, sudah berhari-hari anaknya menangis karena kelaparan. Di usia yang masih kecil ini Manggala sangat membutuhkan ASI dari ibunya, sedangkan Elin tidak sudi memberikannya secara suka rela. Maka dari itu, Bhanu akan menghalalkan segala cara agar putranya mendapat ASI dari Elin. “Bersabar lah sedikit, Putraku. Ayahanda akan membawa Ibundamu kembali bersama kita,” janji Bhanu pada anaknya. Seakan mengerti dengan ucapan ayahnya, Manggala yang tadinya terpejam pun kini mengerjapkan matanya dengan pelan. Mata berwarna merah terang itu langsung bertemu dengan manik mata milik Bhanu, pria dewasa itu tersenyum menyapa sang anak. “Kamu lapar, Manggala? Sekarang kita sudah bertemu ibundamu, kamu bisa menyusu hingga kenyang.” Pertama-tama Bhanu meletakkan anaknya di samping Elin, Manggala bahkan tidak rewel sama sekali, seakan tahu bahwa saat ini ayahnya sedang berjuang untuk dirinya. Bibir Bhanu menggumamkan kalimat-kalimat yang cukup panjang dan sulit untuk dimengerti, setelahnya ia meniup wajah Elin hingga tiga kali. Bhanu memposisikan tubuh Elin agar duduk menyender pada kepala ranjang, sedangkan si empunya sama sekali tidak terbangun karena aktivitas itu. Sebelum melakukan aksinya, Bhanu mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Bukan niatnya melakukan pelecehan terhadap Elin, hanya saja ini semua demi putra mereka. Jari-jari Bhanu bergerak dengan lihai membuka kancing baju milik istrinya, ia juga melepaskan kaitan bra milik Elin. Terlihat lah dua gunung kembar milik Elin yang terpampang merekah, Bhanu mengalihkan tatapannya, tujuan utamanya adalah mendapatkan ASI untuk Manggala. Segera Bhanu meraih Manggala dan meletakkannya di pangkuan Elin, dengan begitu maka putranya bisa menyusu pada sang ibu. Manggala langsung menyesap ASI milik Elin seolah-olah telah menantikan lama momen ini, anak bersisik itu benar-benar kelaparan. Bhanu menatap putranya dengan binar bahagia, akhirnya Manggala mendapatkan haknya sebagai anak. Ditatapnya wajah Elin yang masih tidur dengan nyenyak. “Maafkan aku karena harus melakukan ini,” ucapnya. Bhanu masih terus berupaya untuk mendapatkan Elin lagi meski dengan cara-cara yang tergolong lembut dan perlahan. Sesekali ia muncul dalam gelapnya malam, ingin sekadar memberikan kode pada istrinya bahwa ia juga hadir di sana. Kepala Bhanu terarah untuk mencium dahi sang istri. CUP! “Aku sangat mencintaimu, Elin Mahardika.” Sementara itu bayi mungil berkulit merah bersisik itu sangat lahap menikmati ASI dari ibunya, terlihat bahwa kini Manggala semakin anteng berada di pangkuan Elin. Tidak ada makanan lain yang bisa menggantikan ASI, bahkan s**u formula sekali pun. Hanya ASI dari Elin lah yang membantu Manggala untuk bisa tetap tumbuh dan berkembang, Bhanu lah yang perlu banyak berjuang untuk pertumbuhan putranya. Selama kurang lebih satu jam Bhanu memperhatikan anaknya hingga kekenyangan, dirasa sudah cukup, ia mengangkat Manggala dari pangkuan Elin. “Sudah cukup untuk malam ini, kita akan bertemu ibundamu lagi beberapa hari ke depan.” Bhanu mengecup pipi gembul anaknya. Tak lupa ia juga mengembalikan posisi seperti sebelumnya. Mengaitkan lagi bra milik Elin hingga menutup kembali kancing bra istrinya. “Terima kasih untuk malam ini, Istriku.” Bhanu menggendong Manggala dalam pelukannya, putranya terlihat kekenyangan hingga akhirnya kembali tidur. Dalam gelapnya sudut ruangan, perlahan-lahan Bhanu menghilang ditelan kabut tipis hingga sosoknya benar-benar lenyap dari sana. - “Eunghh...” Elin melenguh pelan, ia merentangkan tangannya untuk melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal. Wanita itu mengerjapkan matanya dengan perlahan hingga manik berwarna cokelat itu pun terbuka sempurna. Diliriknya jam di dinding menunjukkan pukul lima pagi, Elin bangkit dari tidurnya dan duduk di atas ranjang. Ia merasakan ada yang berbeda dari tubuhnya, terasa lebih enteng dari sebelumnya. Elin menunduk melihat dadanya sendiri, tidak sakit seperti sebelum-sebelumnya. Padahal sebelum tidur tadi malam ia masih merasakan sakit karena ASInya penuh dan sesak, tapi sekarang terasa lebih lega. Buru-buru Elin memeriksanya, ia melepaskan kancing pengait bajunya. Dirabanya dadanya sendiri. “Benar, tidak sesakit sebelumnya.” Jari telunjuknya mengusap setitik cairan yang tertinggal di ujung miliknya, Elin melamun sejenak. Kenapa tiba-tiba saja payudaranya tidak sesakit sebelumnya? Seolah-olah sudah ada yang menghisapnya untuk meringakan rasa penuh nan sesak itu. “Ahh, mungkin saja memang karena sudah waktunya terasa ringan.” Elin mengendikkan bahunya asal, ia tidak mau menduga-duga hal aneh lagi. Wanita itu bangkit berdiri untuk pergi ke kamar mandi, membersihkan diri dan melakukan kegiatan pagi seperti biasanya. Banyak hal yang harus Elin kerjakan hari ini, seperti menata kembali kursi atau meja yang sebelumnya pernah digunakan sang ibu untuk berdagang roti. Seharian ini Elin benar-benar sibuk meski dirinya belum benar-benar membuka kembali toko roti. Beberapa tetangga lain yang melintasi depan rumahnya pun sempat mampir sejenak untuk sekedar mengobrol basa-basi karena sudah lama Elin tidak menempati rumah itu. “Elin, itu kamu?” Seorang gadis yang usianya setara dengan Elin menajamkan penglihatannya. Mendengar ada yang memanggil namanya pun membuat si empunya menoleh ke sumber suara. “Venda?” balas Elin. Gadis bernama Venda itu tersenyum lebar, ia tidak salah menduga rupanya. Setelahnya ia buru-buru turun dari motor maticnya untuk menghampiri Elin. “Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi, sudah berapa lama sejak kita berpisah dari SMA?” Venda meletakkan helm miliknya ke sembarang tempat, saking bahagianya bisa bertemu dengan teman lama SMA-nya dulu. Elin memeluk Venda dengan erat, benar sudah lama sekali sejak mereka berpisah dulu. “Ke mana saja kamu selama ini?” tanya Venda sembari melepaskan pelukan keduanya. “Setelah lulus SMA aku mencoba peruntungan di perusahaan luar kota,” balas Elin. Venda menganggukkan kepalanya pelan. “Sudah menikah?” Mendengar pertanyaan Venda yang satu ini membuat Elin terdiam, Venda yang menyadari ada perbedaan ekspresi temannya itu pun buru-buru menarik ucapannya. “Maaf, lupakan saja pertanyaanku.” Venda meringis kecil. Elin berusaha untuk mengulas senyumnya agar tidak terlihat sedih. “Aku sudah menikah, hanya saja hubungan kami rumit dan yah.. begitu lah.” “Ohh begitu.” Venda mengakhiri pembahasan seputar suami, takut menyinggung Elin lebih dalam. “Kamu sendiri bagaimana?” tanya Elin balik. “Masih sama seperti sebelumnya, membantu Abah mengelola pondok praktisi sampai tidak sempat mencari jodoh.” Elin tertawa geli mendengar jawaban dari Venda. Orangtua Venda memiliki pondok praktisi ruqiyah yang sudah lama berdiri, bahkan sebelum gadis itu lahir. Venda adalah anak satu-satunya yang harus meneruskan usaha kedua orangtuanya itu, karena bisnis yang terbilang ‘aneh’ itu akhirnya laki-laki yang mendekati Venda pun harus berpikir seratus kali. “Kamu lagi bersih-bersih apaan sih?” tanya Venda. Tadi ia tak sengaja lewat di depan rumah ini, ia melihat sosok yang tak asing dimatanya sedang membersihkan area rumah. Hingga Venda sadar bahwa sosok itu adalah teman SMA-nya dulu, Elin. “Bersihin toko mendiang ibu, rencananya aku mau melanjutkan usaha toko rotinya.” “Nah ini baru yang namanya usaha dan bisnis, normal. Nggak kayak usaha yang harus aku lanjutin, aghh...” Venda mengerang dengan kesal. Usaha toko roti kan bagus, bukan seperti dirinya. “Sudah, namanya juga nasib pasti tiap orang beda-beda kan. Bagaimana kabar orangtua kamu, masih sehat-sehat kan?” “Iya, mereka masih sehat.” “Syukur lah kalau begitu. Ohh ya sampai kelupaan, ayo masuk ke dalam.” Elin mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah. Venda melepaskan sepatunya, ia masuk ke dalam rumah Elin. Untuk sejenak ia merasakan aura yang berbeda, rumah ini terasa penuh meski tidak ada orang lain yang tinggal di dalamnya. “El, kamu tinggal sendiri kan ya?” tanya Venda untuk sekadar memastikan. “Iya, Ve.” Elin masuk ke dalam dapur mengambil botol air minum untuk temannya. “Kenapa? Mau nginap di sini temenin aku?” tanya Elin setelah keluar dari dapur. Venda menyengir kuda. “Boleh-boleh aja buat tempat pelarian kalau lagi bertengkar sama Abah atau Umi.” Mata Venda menelisik ke seluruh ruang tamu itu. Ia tidak menemukan apapun yang bisa dilihat dengan mata istimewanya, hanya saja aura yang ia rasakan sangat pekat. Namun, untungnya aura ini bukan negatif, melainkan positif. Seperti ada yang tengah melindungi Elin, batin Venda berujar. “Diminum gih, cuma punya air mineral doang, baru pindah lagi ke sini tiga hari lalu.” Elin menyodorkan sebotol air mineral itu pada Venda. Gadis berlagak tomboy itu menerima dan meneguknya hingga tandas. “Tadi kamu bilang mau buka usaha toko roti milik ibu kamu?” “Iya, itung-itung buat menyambung hidup sekaligus meneruskan warisan orangtua.” Elin ikut duduk di sofa, berseberangan dengan Venda. “Ide bagus, dulu Umi juga pernah beli roti buatan ibu kamu, katanya enak dan mau beli lagi kalau ada. Kamu segera rilis aja ini toko, kenalan pengajian Umi banyak, nanti aku bantu promosikan deh.” Venda menjentikkan jarinya. Uminya cukup disegani oleh ibu-ibu pengajian di daerah rumahnya, Venda bisa merekomendasikan usaha temannya pada mereka nanti. Elin tersenyum senang. “Woah, oke siap.” Venda melirik jam yang melingkar ditangannya. “Aku balik dulu ya, takut dicariin Abah.” “Iya, hati-hati di jalan.” Venda memberikan jari jempolnya sebagai jawaban, setelahnya gadis itu pun keluar dari rumah Elin. Elin mengantar temannya hingga ke gerbang halaman. Sejujurnya Venda ingin meminta agar Elin lebih berhati-hati, pasalnya meski makhluk yang bersemayam di rumah temannya itu tergolong jinak dan hendak melindungi, tapi tetap saja manusia tidak boleh percaya begitu saja pada bangsa jin, karena golongan mereka suka sekali menipu. Tapi untuk sekarang ini Venda mengurungkan niatannya, ia tidak enak hati, sekaligus tak mau membuat Elin ketakutan. Biar lah masalah ini ia simpan dulu, kapan-kapan ia akan membahasnya pada wanita itu. Venda mengenakan kembali helmnya, lalu menghidupkan motor matic kesayangannya. “Bye Lin, lain kali aku akan main lagi ke sini.” Gadis itu agak berteriak, membuat telinga yang mendengarnya berdengung. Elin hanya bisa mengangguk sebagai jawaban, setelah kepergian Venda, ia pun kembali berkutat dengan kegiatan bersih-bersih sama seperti sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN