Naura menutup tirai kamarnya sesaat setelah ia merasakan hawa dingin yang menyerbu kamar pengantinnya. Baru lima menit ia memasuki kamarnya, kegelisahannya sudah merayapi dan menyelimuti hatinya. Perasaannya gundah, jantungnya berdebar ketakutan dan pikirannya kalut. Berulang kali ia berguling ke kanan dan ke kiri, cemas dengan bagaimana ia akan melewati malam ini di kamar pengantinnya.
Berulang kali pula otaknya berkata bahwa ia seharusnya sudah terpejam, pura-pura tidur lebih baik. Mungkin. Tapi matanya tak ingin terpejam. Berulang kali pula ia menyugesti otaknya bahwa ia sudah jadi istri, jadi melayani suami adalah hal yang wajar, namun berulang kali itu pula hatinya menjerit-jerit disertai gelengan kepala kuat-kuat. Ia tak ingin memiliki hubungan intim dengan lelaki yang tak ia cintai.
Lalu kenapa ia setuju menikah dengan Adam?
Naura bangkit dan beranjak dari tempatnya tidur sembari kembali mengingat-ingat apa yang ditunjukkan oleh Adam kepadanya sebelum ia memantapkan hati untuk mengiyakan lamaran Adam dan menerima sejumlah uang ratusan juta yang sekarang dibawa Ayahnya untuk melunasi hutang ke rentenir karena kalah judi.
"Kau bisa saja menikahi gadis lain..." kata Naura kepada Adam sesaat setelah mereka meninggalkan halaman masjid.
"Setidaknya aku harus melunasi janji pada diri sendiri..." kata Adam, yang membuat Naura menoleh dan menaikkan satu alisnya. Melihat wajah Naura seperti itu, Adam tak bisa menahan tawanya, ia selalu rindu dengan wajah Naura yang seperti itu. Naura kesal, pikirannya mendadak buruk. "Pasti kamu lagi mikirin aku nikahin kamu karena mau menunaikan janjiku pertama kali, kan? Memberimu mahar besar dan menolongmu dari keadaan sulit keluargamu?"
"Selain itu emang ada alasan lain?" tanya Naura ketus.
"Ada."
"Apa?"
"Aku bersyukur bahwa kau hidup..." kata Adam dengan tatapan yang sangat dalam hingga tiba-tiba saja d**a Naura berdebar kencang menatap mata coklat Adam. Buru-buru Naura mengalihkan pandangannya dari Adam karena tak ingin ketahuan Adam kalau ketika ia gugup pelipisnya akan mengeluarkan keringat dingin.
"Kenapa mesti aku?" tanya Naura lagi, rasa penasarannya masih belum tuntas meski ia tahu Adam tak akan mengatakan alasannya. "Kenapa mesti aku yang kamu tolong?" tanya Naura lagi.
"Karena aku bersyukur bahwa kau masih hidup..."kata Adam lagi. Naura tak puas tiap kali Adam menjawabnya dengan kalimat itu, ia tak mengerti dan Adam selalu tak ingin menjelaskan maskud kalimatnya.
"Aku butuh keyakinan dan maksud kejelasan kalimatmu!"
"Bagian mana yang kurang jelas dari kalimatku?"
"Maksudmu bersyukur aku hidup? Emang aku pernah mau mati?" tanya Naura kesal, Naura tak bisa melihat dan merasakan apa yang dirasakan Adam saat ini. Ketika Naura mengatakan bahwa ia mau mati, tubuh Adam seketika kaku hingga cepat-cepat ia beristighfar dan menghentikan mobilnya mendadak. Napasnya naik turun dan Naura cemas tiba-tiba melihat keringat dingin keluar dari pelipis Adam. "Kamu sakit?" tanya Naura seraya mengukur suhu tubuh Adam dengan telapak kanan kirinya di atas dahi Adam. Adam menyingkirkan tangan Naura lembut dari dahinya, ia menoleh ke arah Naura yang menyaksikannya lemas. "Pindah, ganti aku yang nyetir!" kata Naura kepada Adam, Adam hanya menggeleng lemah. "Aku dokter! cepat!" imbuh Naura lagi. Adam tak bergeming dari posisinya. "Adam!" Adam menoleh dan menatap Naura dalam sekali, baru kali ini sejak mereka bersama Naura menyebut namanya dan membuat Adam seketika merasa sejuk.
"Aku baik-baik saja."
"Turuti perintahku. Aku mohon!" kata Naura. Adam menyerah ketika ia melihat ketulusan Naura. Ia bergegas turun dan pindah ke kursi Naura. "Kita ke rumah sakit?"
"Aku baik-baik saja. Kita ke salon yang sudah kupesan."
"Tapi kau pucat!"
"Aku baik-baik saja..." Naura menghela napas. "Sebentar..." kata Adam sebelum Naura menjalankan mobilnya. Adam mendekat dan menarik sabuk pengaman lalu mengaitkannya di kursi Naura. Dengan jarak sedekat itu, Adam menatap Naura "Jika kau keberatan menikah denganku hari ini, kubebaskan kau, aku akan tetap melunasi janjiku memberi Ayahmu uang. Aku cukup bahagia melihatmu hidup."
"Memang aku bisa menolak?"
"Aku tak pernah memaksa, kecuali di depan Ayahmu..."
"Aku masih tak mengerti kenapa kau menikahiku dengan mahar yang jumlahnya gila dan alasanmu yang tak kumengerti."
"Kau bersedia?" tanya Adam. Naura diam, dia bingung harus menjawab apa.
"Aku punya waktu untuk memikirkannya."
"Sebelum kita sampai ke salon, lima belas menit..."
"Maka sebenarnya aku tak punya waktu memikirkannya..."
"Dalam lima belas menit untuk kebebasan pilihanmu itu sudah cukup..."
"Aku terima."
"Kenapa?"
"Karena aku ingin tahu maksudmu dengan bahagia melihatku hidup... Kita lihat apa aku juga masih bisa bahagia ketika bersamamu?"
"Kedengarannya kau tak yakin..."
"Aku tak punya keyakinan sebesar dirimu..."
"Sebenarnya aku juga tak memiliki keyakinan itu."
"Jadi kau menyesal? Bagaimana jika uang yang kau berikan kepada Ayahku kuanggap hutang, dan ketika lunas maka kita bisa berpisah, aku jaminannya." Lagi-lagi Naura merasa kesal.
Adam menghela napas. "Aku tak memiliki keyakinan bisa membahagiakanmu... Tapi aku memiliki keyakinan bahwa bersamamu aku akan bahagia, jadi maafkan aku jika kelak aku benar-benar tak bisa membahagiakanmu, maafkan aku yang egois dan maafkan aku yang melihatmu saja aku sudah sangat bahagia..." kata Adam sangat dalam sehingga Naura pun bisa merasakan ketulusan dan kesungguhan pria bermata coklat di hadapannya.
Naura menelan ludah, memalingkan wajahnya ke jendela mobil dan mencoba menetralisir gejolak hatinya. Tak ingin berdiam diri, ia mulai menyalakan mesin mobil dan menjalankannya sembari sesekali memerhatikan Adam yang memejamkan matanya dan bersandar di kursinya. Naura menilai ketampanan Adam yang lumayan dengan postur tubuh yang ideal di kalangan lelaki. Ia masih terus bertanya-tanya kenapa pemuda sepertinya memilih gadis sepertinya?
Saat sudah sampai di salon tujuan, Adam turun ketika melihat perempuan paruh baya menyambutnya dengan senyuman hangat.
"dr. Adam, senang sekali datang kemari..." mendengar itu Naura mengerutkan kening. Dokter? Adam dokter? Perempuan paruh baya itu berbincang dengan Adam sedikit lalu menoleh dan tersenyum ke arah Naura. "Oh jadi ini dr. Naura? cantik sekali..." Naura semakin mengerutkan keningnya tak mengerti dengan kondisinya saat ini, saat ponsel perempuan tua itu berdering dan menjauh dari mereka, barulah Naura buru-buru menghampiri Adam.
"Kamu dokter? kenapa perempuan tua itu juga tahu kalau aku dokter?"
"Sebelum kemari kukatakan padanya calon istriku dokter."
"Oke. Tapi kenapa kau tak bilang padaku bahwa kau seorang dokter?"
"Apa kau pernah bertanya?" tanya Adam.
"Apa harus?"
"Jika tidak ada pertanyaan buat apa aku memberitahumu profesiku, toh nanti kau tahu sendiri." Naura terlihat kesal dan bibirnya mengerucut.
"Dari mana kau tahu aku seorang dokter?"
"Bagaiamana bisa aku menikahimu tanpa tahu siapa kamu?" kalimat Adam benar-benar membuat Naura berpikir keras dan bertanya-tanya hingga ia mematung di tempatnya. "Setelah memasuki tempat itu kau berarti setuju menikah denganku." Naura tak mendengar, ia sibuk dengan berbagai pertanyaan yang ada di otaknya hingga tanpa ia sadari Adam dan perempuan paruh baya itu sudah berjalan dan memasuki salon sedang ia masih mematung di luar. Menyadari bahwa Adam telah hilang dari hadapannya, ia berlari memasuki salon, bukan karena ia setuju menikah dengan Adam melainkan ia ingin penjelasan Adam.
"Alhamdulillah..." Naura disambut dengan hamdallah ketika ia benar-benar telah memasuki salon dan perempuan paruh baya yang berdiri di samping Adam juga ikut tersenyum.
Sebentar. Apa maksudnya dengan Alhamdulillah? batin Naura.
Tak lama kemudian ia ingat ucapan Adam di laur tadi "Ketika kau memasuki salon, itu tandanya kau setuju menikah denganku."
Apa? Setuju? Aku setuju? Tidak, aku tidak bilang setuju... Aku ke sini untuk...
Pikiran Naura penuh dan ketika ia ingin mengatakan sesuatu, perempuan paruh baya itu memeluknya tiba-tiba. "Kau akan bahagia, nak... InsyaAllah..." kata perempuan paruh baya itu mantap. Naura yang bingung dan ingin protes tiba-tiba saja terdiam seribu bahasa, seolah ia sendiri yakin bahwa jalan yang dipilihnya benar meski ia tak mencintai pemuda yang bakal menjadi suaminya. Apa ia tak mencintai? atau ia hanya belum mau mencintai? Entahlah...