Sentuhan Pertama

2257 Kata
Karena Maya akan mengantarkan makan malam, Allen mengurungkan niat untuk memesan makanan. Dia tidak pandai memasak, dan setelah bertemu dengan Mia, sosok itu beberapa kali datang ke apartemennya untuk memasak. Dan hal itu yang membuat Allen semakin yakin untuk mempersunting Mia, sosok itu memenuhi semua kriteria yang Allen inginkan. Dia berjiwa pemimpin, pintar, bisa mengimbanginya jika berbicara perihal perusahaan. Dan itu sangat menyenangkan. Namun Mia sepertinya tidak ingin terburu-buru. Untuk pacarana saja, Mia menolaknya. Allen harus bersabar untuk mendapatkan Wanita idamannya. TING TONG. Pintu bel berbunyi, sudah Allen Yakini kalau itu adalah Maya. “Ke sini jalan kaki, May?” “Jalan kaki, deket soalnya. Dan ini makanan yang Maya buat.” Allen menerimanya. “Thanks, May, nan—eh, kamu kenapa?” tanya Allen yang terlihat khawatir dengan raut wajah Maya, terlihat tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. “Boleh ikut ke kamar mandi, Mas? ikut pipis.” “Masuk aja.” Allen mempersilahkan. Yang mana membuat Maya bergegas melewatinya dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dekat dapur. Setelah pintu ditutup, Maya merubah raut wajahnya menjadi kesal. Allen tidak mempersilahkannya masuk tadi, sepertinya pria itu memang berniat hanya menerima masakan Maya dan menyuruhnya pulang lagi. Benar benar menyebalkan, Maya harus memikirkan sesuatu yang lain. Senyuman Maya melebar mendengar suara hujan deras, dia mengintip lewat jendela yang ada di kamar mandi, ternyata hujan deras. “Sesuai perkiraan, ramalan cuaca emang bisa diandalkan.” Kemudian dengan segala rencana busuknya, Maya mengguyur tubuhnya sendiri dengan air, dan menjerit. “Aaaa!” Berhasil membuat Allen khawatir. “May, kamu kenapa?” “Airnya gak mau berhenti keluar, Mas!” “Buka pintunya,” ucap Allen. Dan Maya melakukannya, hingga Allen masuk dan melangkah melewati Maya yang sudah menjauhi dari shower box. “Kok kamu bisa di sana?” “Um, tadi penasaran sama tombol tombol itu,” ucap Maya dengan polos pada control setting untuk shower box yang menempel di dinding. Allen terkekeh mendengarnya. “Emang gak pernah liat?” Maya menggeleng, dia menatap tubuhnya sendiri yang basah. “Maya pulang dulu ya, Mas.” “Hujan badai, May. Coba sini keluar.” Apartemen Allen memiliki dinding kaca disepanjang balkon, hingga terlihat dengan jelas hujan dan juga angin kencang. “Bahaya kalau pulang, nanti aja Mas anterin kalau abis makan ya. Kamu udah makan?” Maya mengangguk. “Ganti bajunya dulu ya, ada baju Kakak kamu di sini.” Ternyata tidak semudah itu menarik perhatian Allen, Maya malah diberikan pakaian milik kakaknya. “Ada di kamar Mas coba cari ya.” Maya mengangguk dan masuk ke sana. Dan senyumannya kembali mengembang saat mendapatkan celana hotpants dan kaos oversize. Maya pasti akan terlihat sangat menggemaskan. ****** Makanan yang Maya bawa ternyata sangat enak, Allen benar benar menyukainya. Persis seperti masakan ibunya yang sangat dia rindukan. CEKLEK. “May, masakan kamu en….,” ucapan Allen terhenti saat melihat Maya yang keluar dari kamar. Dia tidak terlihat memakai celana, dan Allen pening melihatnya. bagaimana paha Maya lebih putih, bersih dan mulus daripada milik Mia. Benar benar sangat polos. “Kamu pake celana kan?” “Punya kakak semuanya celana pendek.” Dan Maya dengan polosnya mengangkat kaos hingga celananya terlihat. Dan itu membuat Allen bergegas berpaling. Tadinya dia hendak menyuruh Maya memakai celananya saja, tapi mana muat. Perbandingan tubuh mereka begitu banyak. “Cuacanya dingin, kalau mau pakai selimut aja buat kaki kamu. Nanti Mas anterin kalau udah beres makan.” “Dimana selimutnya, Mas?” “Di laci yang ada di bawah meja.” Maya mengambil salah satu selimut tipis untuk menutupi pahanya, dan keheningan kembali melanda saat Allen kembali makan. Ini akan dijadikan kesempatan untuk Maya berpura pura terlelap di tempat ini hingga dia akan mudah menggoda Allen nanti malam. Sementara Allen sibuk memijat keningnya sambil makan. Hell! Dia adalah laki laki normal yang suka melihat bagian tubuh Wanita, terutama yang mulus dan original seperti Maya. Allen bukanlah laki laki suci yang jauh dari pegaulan bebas, dia bukan anak cupu yang hanya melakukan seks saat menikah. Allen tau apa itu klab malam, bagaimana luasnya dunia. Dia pernah melakukan seks, tapi dengan catatan hanya dengan Wanita yang jadi pacarnya saja, atau Wanita yang memang dia sukai dan sudah terjamin tidak menularkan penyakit. “Astaga, dia tidur,” ucap Allen ketika melihat Maya yang terlelap dengan damai di atas sofa. Allen berjongkok untuk mensejajarkan wajahnya dengan gadis itu. Kenapa Allen baru sadar kalau semua yang ada di wajah Maya sangat menarik? Bibirnya yang bergelombang dan tipis, hidung mancung. Dan satu lagi, wajah Maya begitu polos tanpa polesan make up. Berbeda jauh dengan Mia yang tidak bisa lepas dari make up nya. Menghela napas dalam untuk menghilangkan pikiran anehnya, Allen mengguncang tubuh Maya untuk membangunkan. “May, bangun… Mas anterin yuk….” “Ugghhh…” Tapi tidak berhasil, Maya malah semakin memejamkan matanya erat. tidak ada pilihan lain, apalagi hari mulai gelap. Jadi dengan pelan pelan, Allen menggendong tubuh Maya untuk ditidurkan di kamar tamu. “Dia bahkan seringan kapas,” gumam Allen. ***** Beberapa jam setelah dia terlelap dalam tidurnya, Maya membuka mata. Bukankah pukul 1 malam adalah waktu yang cocok untuk memulai kehangatan? Apalagi masih hujan badai. Jadi Maya keluar dari kamar tamu itu, dia ke kamar mandi terlebih dahulu untuk bersiap siap. Setelah keluar dari sana… CTARRRR! “Aaaaa!” Maya menjerit setelah terdengar suara kilat petir. Dia berjongkok dan memeluk kepalanya sendiri. Itu berhasil membuat Allen bangun dan langsung mencari sumber suara itu. “Astaga, May, kamu kenapa?” Ketika Maya mendongkak, Allen dikejutkan dengan air mata yang membasahi pipi. “Hiks…. Maya takut petir…. Hiks…” “Gak papa, ada Mas di sini. Kamu gak usah takut.” Allen berjongkok dan memeluk Maya, melupakan fakta kalau dirinya tidak memakai atasan. “Hiks… jangan jauh jauh dari Maya… hiks… Maya takut.” Melihat jam di dinding, masih lama untuk sampai pagi. “Tidur lagi ya, May. Ini masih malem loh.” “Hiks… ada petir. Gak mau.” “Tidurnya sama Mas, ayok Mas temenin.” Allen membawa Maya ke kamarnya dengan sengaja karena kamarnya lebih kedap suara dari luar daripada kamar yang lain. Bahkan ketika berjalan, Maya tidak melepaskan Allen sebentar saja. “Hiks… takut, Mas.” “Gak papa, ada Mas di sini. Ayok tidur, gak usah khawatir. Kamu bakalan baik baik saja.” Maya membaringkan tubuhnya tanpa melepaskan pelukan pada Allen, yang tentu saja membuat Allen mengusap rambut Maya menenangkan. Merasakan bagaimana tubuh Maya bergetar ketakutan, sambil menangis membuatnya melupakan apapun. “Hiks… hiks…” “Tidur, Mas temenin kamu sampai tidur.” CTARRRR! Maya semakin menenggelamkan wajahnya di d**a Allen, dengan tubuh yang semakin bergetar. “Percaya sama Mas, May. Kamu gak akan kenapa napa.” Tentu saja dirinya tidak akan kenapa napa, karena saat ini Maya sedang menyunggingkan senyuman karena dia bisa merasakan hangatnya kulit Allen secara langsung. Dan sial, Allen sangatlah wangi, membuat Maya basah dan tidak tahan untuk digempur semalaman. ‘Tahan, May, tunggu tanggal mainnya,’ begitu Maya berbicara pada dirinya sendiri. **** Allen terbangun dari tidurnya dan baru menyadari apa yang terjadi semalam. Maya menangis, dia panik dan ketakutan. Allen menenangkannya dengan cara mengajaknya tidur bersama. Semalam dia merasa kalau ini adalah hal yang benar, tapi ketika sadar dirinya tidak memakai atasan dan memeluk Maya erat, oh ini bukanlah hal yang benar. Melihat Maya tertidur dengan wajah polosnya. Dia adalah kebalikan dari sosok Mia yang mandiri dan juga kuat. Maya sangat membutuhkan orang, rapuh dan juga terlalu polos untuk dunia yang sangat besar. Lihat saja bagaimana dia terlelap mirip seperti anak kelinci. Lucu, menggemaskan dan juga sangat manis. Bibirnya yang berwarna pink terbuka, wajahnya mulus tanpa noda bahkan tanpa bantuan make-up. Dan sial sekali, pria di jam pagi selalu tegang. Melihat Maya membuat Allen semakin mengunci pandangan, bahkan otak kotornya bertanya-tanya seputih apa Maya di dalam sana? Apalagi pelukannya yang begitu erat dan juga hangat, Allen…… “Tidak,” ucap Allen pada dirinya sendiri. Dia harus berhenti memikirkan hal yang tidak pantas tentang Maya dan bergegas bersiap. ini masih pukul setengah enam pagi, tapi akan lebih baik jika Allen keluar dari kamar. Sebelum mandi, biasanya Allen akan olahraga di gym pribadi miliknya sendiri. Membiarkan Maya sendirian, yang kini sudah bangun perlaha. Maya tersenyum menatap langit langit kamar. Bahkan satu jam sebelum Allen bangun, Maya sudah tersadar. Dan dia menyukai fakta kalau Allen menatapnya beberapa saat. “Bentar lagi,” ucapnya mengusap dadanya sendiri. Maya membuka pintu yang menghubungkan dengan balkon, kemudian dirinya masuk ke kamar mandi untuk membasuh diri. Sementara itu di sisi lain, Allen yang menghentikan aktivitasnya sesaat untuk menelpon Mia. Namun perempuan itu tidak mengangkat panggilannya sama sekali, pesan yang kemarin saja belum dibalas. Membuat Allen menghela napas dalam, kemudian melempar ponselnya kesal. Padahal Mia dan keluarganya menginginkan perusahaannya untuk membantu perusahaan milik mereka. Allen siap memberikan dana untuk keluarga Zhong, tapi Mia belum juga menerima dirinya. Mungkin mandi bisa meredakan amarahnya. Saat masuk ke dalam kamar, Allen bingung melihat Maya tidak ada di sana. “May?” panggilnya. Namun melihat pintu yang terhubung dengan balkon terbuka, membuat Allen berspekulasi kalau Maya ke atap untuk mendapatkan udara segar. Jadi tanpa ragu, Allen masuk ke dalam kamar mandi. DEG. Dia kaget ketika melihat Maya yang telanjang membelakanginya; berada di bawah guyuran shower. Dan sepertinya gadis itu tidak menyadari keberadaan Allen, hingga pria itu lekas keluar dari kamar mandi dengan jantung berdetak kencang. Shit! Tubuh Maya benar benar putih bersih. Saking putihnya, Allen melihat lipatan sikunya bahkan berwarna pink. **** Di sisi lain, Maya tersenyum mengingat bagaimana Allen terpaku melihat tubuhnya. Hell, dia tidak bodoh untuk tidak melihat pantulan tubuh Allen; meskipun buram. Setelah dirasa bersih, Maya keluar dan memakai pakaian kakaknya lagi. Dia bahkan membereskan tempat tidur hingga benar benar bersih. Setelahnya dia baru keluar dan mendapati Allen sedang menyeduh kopi. Pria itu menyadari Maya yang baru keluar dari kamar. “Mau dibuatin roti panggang, May?” “Um, nanti bikin sendiri aja, Mas. maaf ya semalam repotin.” Allen mencoba mengontrol jantungnya. “Gak papa, kamu takut sama petir itu dari kecil atau punya trauma sendiri?” “Ada trauma sendiri sih,” ucapnya dengan suara pelan, dia mendekati Allen di dapur. Sebelum Allen bertanya, Maya mengalihkan percakapan, “Mas gak sarapan nasi ya?” “Kalau ada Mia biasanya dia yang bikinin.” “Kalau Maya yang bikin gak masalah?” “Serius? Gak repotin kamu?” “Maya gak bisa makan roti.” “Lakuin aja apa yang kamu mau. Mas mandi dulu ya,” ucap Allen kemudian bergegas masuk ke dalam kamar, dia kaget melihat kamarnya sudah rapi. Sebelumnya Allen tidak pernah merasa canggung, tapi mengingat bagaimana tubuh polos Maya. Itu sangat mengganggu. Sialan! Allen bahkan harus bermain solo karena melihat Maya. Dia kembali dikagetkan oleh gadis polos itu, dia memasak sarapan untuknya. Sebuah keinginan lama dari Allen, dia ingin memiliki istri yang bisa menjadi temannya dalam segala hal. Setelah sarapan, Allen mengantarkan Maya ke Gedung apartemennya. “Jam berapa kamu kuliah nanti, May?” “Siang, Mas.” “Pagi ini gak ada jadwal dong?” “Mau benerin lampu, Mas. kemarin ada yang pecah.” “Lampunya udah beli?” “Udah.” “Mas bantu pasang.” Maya kembali mendapatkan kartu emas saat Allen kini berjalan menuju apartemenya. Sebenarnya lampu itu dipecahkan oleh Maya secara sengaja. “Kakak kamu sering chat kamu gak, May?” “Nggak.” “Atau mungkin telpon buat kasih kabar?” Maya menggeleng. “Kakak biasanya kalau kerja keluar kota suka gak suka kalau di telpon.” Mia adalah sosok yang sempurna untuk Allen, tapi sosok itu benar benar sulit dia dapatkan. “Mana lampu yang padam?” “Di dapur, Mas. lampunya ada di meja.” “Oke, kamu ganti baju sana.” “Emangnya kenapa?” “Kayak gak nyaman aja. Ekhem!” allen berbicara sambil melangkah pergi. pria mana yang masih waras saat melihat Wanita polos yang dibalut baju kebesaran, terlihat tanpa memakai celana. Apalagi Allen sudah melihat seluruh tubuh Maya. “Maya ke kamar dulu ya, Mas.” maya dengan polosnya berucap meninggalkan Allen. ***** PRANK! “Astaga, Mas Allen!” teriak Maya kaget saat melihat tangan Allen yang terluka. “Gak papa nanti Maya yang beresin.” Kakinya melangkah dengan hati hati pada pecahan kaca lampu. “Kelepasan tadi, May. Jadi jatuh.” “Duduk di sana, Maya obatin dulu.” Allen menurut saat Maya mengambil kotak P3K. sosok itu mengobati luka Allen dengan telaten, begitu focus hingga Allen bisa dengan leluasa memandang wajah Maya yang lucu. Kini sosok itu sudah berganti memakai kaos teddy bear dan celana kebesaran. “Kamu bilang punya trauma dengan petir, kenapa?” “Dulu pas kecil Mama sama Papah selalu kecewa sama nilai nilai aku yang jelek.” Maya bercerita dengan tetap focus mengobati luka Allen. “Mereka selalu jadiin Kak Mia sebagai patokan, dan aku gak sepintar Kakak, Mas. jadi kadang mereka ngurung aku di Gudang belakang….” Napas Maya tersendat, dia bahkan tidak mampu melanjutkannya lagi. “Dan saat itu hujan petir?” Maya mengangguk sambil terus mengobati luka Allen. “Banyak tikus, tempatnya lembab. Karena aku gak sepintar Kakak, aku Cuma gadis bodoh yang mereka panggil sebagai anak gagal.” Dan setelah Maya selesai mengobati tangan Allen, pria itu menggapai dagu Maya dan mengarahkan perempuan itu untuk menatapnya. “Orangtua kamu punya pandangan yang salah. Kamu indah, dengan cara kamu sendiri. Kakak kamu bisa melakukan hal hal yang besar, tapi dia melupakan hal sederhana seperti ini,” ucapnya kemudian menarik tangan Maya hingga wajah gadis itu mendekat. CUP. Allen mengecap bibir Maya yang selalu menjadi titik fokusnya sejak mereka pertama kali bertemu. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN