Mulai mengejar

2832 Kata
Sarapan di apartemen Allen dihiasi dengan keheningan, Maya hanya diam ketika melihat dua oang di depannya saling bertukar pikiran tentang investasi masa depan. Bahkan mereka seolah mengabaikan keberadaannya. Mengingat kegiatan seks yang mereka berdua lakukan benar benar membuat Maya ingin menelan kakaknya hidup hidup. Mia mendapatkan semua hal, dan Maya hanya ingin Allen, kenapa sangat susah? “Kalian sudah paacaran ya?” tanya Maya memecah percakapan diantara mereka. “Serasi sekali,” lanjut Maya dengan wajahnya yang manis dan polos. Sontak membuat Mia tertawa. “Kakak udah janji kalau kamu akan jadi orang pertama yang kakak kasih tau kalau kakak punya pacar,” jawabnya dengan santai. Dimana Allen langsung melanjutkan, “Makanya tolong buat Kakakmu cepat cepat meresmikan hubungan ini, May. Sakit sekali digantung seperti ini.” “Tolong mengerti, aku merasa banyak tuntutan jika memiliki pasangan,” ucap Mia. “Kakak pernah bilang kalau dia punya trauma dalam berpacaran, tapi sampai sekarang gak ngasih tau akua pa sebabnya,” ucap Maya sambil mengunyah makanan. Allen tertawa mendengarnya. “Mas gak nolak kok kalau kakak kamu maunya langsung nikah aja. Iya gak?” “Udah ah, jangan bahas itu mulu,” ucap Mia menyenggol bahu Allen, terlihat malu malu. “Tenang, May. Pokoknya kalau ada apa apa diantara kita, pasti kakak kasih tau kamu kok. Buat sekarang kita Cuma temen.” “Temen deket,” jawab Allen langsung. Padahal Maya mengingat bagaimana Allen yang terlihat tidak mood dan malas ketika bertemu kedua orangtua Maya. Saat itu, posisi Mia sedang di luar pulau. Jadi Maya berspekulasi kalau Allen sudah lagi tidak tertarik dengan Mia. Kenyataannya, begitu Mia datang, Allen terlihat bersemangat lagi. Setelah sarapan itu, Mia mengantarkan Maya ke kampus. dan Maya tidak bisa bicara apapun lagi, sebab Mia sedang menelpon. Dan tebak itu siapa? Ya, itu adalah Allen. Kenapa mereka terus saja berbicara setelah tadi mengabaikannya? Badmood, itu yang Maya rasakan saat ini. “Maaf, kamu gak kesel kan daritadi kakak diemin mulu?” tanya Mia melepaskan earpiece di telinganya, dan mengusap tangan Maya. “Tadi Mas Allen nelpon lagi, katanya mau makan siang bareng. Heheh.” “Yakin kalian gak pacarana?” “Enggak yaampun, May. Kan kakak udah bilang kalau kakak punya trauma di masa lalu perihal pacarana.” “Kalau gitu coba cerita sama aku, apa traumanya?” tanya Maya memaksa, dia memang pernah melihat Mia sampai sakit karena pacarnya, tapi tidak bercerita tentang apa yang terjadi. “Kakak gak bisa, kakak gak mau ingetin sama kejadian itu lagi.” “Kalian udah akrab banget tadi.” Mia tersenyum. “Mas Allen itu type orang yang gak bisa hubungan jarak jauh. Makannya kalau udah lama kepisah terus ketemu lagi, pasti bakal lebih lengket.” Maya terdiam, dia ingin merubah topik secara halus. “Kak… kalau aku punya pacar gimana?” “Kamu punya pacar?” seketika Mia memelankan laju mobilnya. “Kakak kan udah bilang, jangan dulu punya pacar sebelum nghasilin uang. Lagian kakak takut kalau kamu malah dimanfaatin sama laki laki, kamu kan polos. Pokoknya jangan.” “Emangnya kenapa?” “Mamah sama Papah pasti bakalan marahlah. Kalau kamu punya pacar, pikiran kamu akan bercabang. Gimana kalau pacar kamu itu seorang yang bergaya bebas? Ngajak kamu seks lalu kamu hamil? Jangan bikin ribet orangtua kita, kasian mereka. kasian juga sama kamu yang terus menerus mereka salahin.” Mia menarik napasnya sejenak. “Please tetep jaga diri kamu, kamu itu gak tau apa apa tentang dunia bebas ini. jangan lakuin itu, jangan rusak diri kamu sendiri, May.” “Kakak sendiri sering pacaran, terus hubungan bebas juga.” “Tapi kakak ngasih orangtua kita yang mereka mau, May. Prestasi, beasiswa, dan uang juga. Kalau kamu gak sanggup ngasih itu, jangan pacaran dulu lah, jangan rusak diri kamu seenggaknya. Kenapa emangnya, kamu punya pacar?” “Enggak sih.” “Iya jangan, kakak juga gak mau kamu malah rusak. Cowok zaman sekarang b******k semua.” ***** “Lu kenapa sih uring uringan mulu dari tadi?” tanya Naomi yang sedang menyetir, di sampingnya ada Maya yang terdiam. Sedari kuliah tadi, Maya tidak banyak bicara. Mungkin biasanya juga seperti itu, tapi kali ini dia memperlihatkan wajah yang menahan marah. “Kalau mau marah, ya marah ajalah. Gak usah sungkan, lu bukan orang sakti.” Dan begitu Maya masuk ke apartemen Naomi, dia merebahkan diri di sofa kemudian menjerit, “Aaaaaa! Gue kesellll!” “Anjir. Rip telinga gua,” ucap Naomi sambil mengelus dadanya sendiri. dia melangkah mengambil minum. “Kenapa sih lu?” “Gue liat kakak gue sama Mas Allen nge-seks.” “Uhuk! Uhuk!” dan itu berhasil membuat Naomi yang sedanng minum tersedak. “Anjir, airnya masuk ke idung gue.” Pada akhirnya Maya menceritakan kejadian yang dia dapatkan hari ini. Tentang kakaknya juga yang sudah terbiasa dengan seks bersama dengan pacar pacarnya, meski masih dalam Batasan. “Lu udah pernah ngeseks?” Maya menggelengkan kepala. “Kenapa?” “Dulu gue mikirnya buat apa, lagian gak h***y amat. Tapi liat Mas Allen, gue pengen digituin juga.” “Bagus kalau lu masih perawan ting ting, buat jadi bukti kalau lu itu polos.” “Terus gue harus gimana? Biar bisa deket sama Mas Allen? Dia itu nempel banget sama kakak gue, gak ngasih gue kesempatan buat masuk ke kehidupan dia,” ucap Maya dengan air mata berlinang, dia benar benar menginginkan Allen sebagai miliknya sendiri. “Anjirlah gue mau nangis jadinya.” Naomi malah tertawa. “Baru beberapa hari lu gabung sama gue, bahasanya udah aduhai, May.” “Enak juga gini, ceplas ceplos ngeluarin apa yang ada di dalam pikiran.” “Jangan, lu harus jadi cewek polos sepolos polosnya, tapi bukan begok.” Naomi duduk di salah satu sofa, sambil memandang Maya yang masih merebahkan tubuhnya. “Lu tadi bilang kalau Allen bukan type orang yang bisa berhubungan jarak jauh?” Maya mengangguk. “Lu gak budek kan tadi?” “Terus lu bilang kalau kakak lu sibuk?” “Kan lu udah tau.” “Sekali lagi gue bilang kalau lu itu punya apa yang kakak lu gak punya, yaitu waktu dan keperawanan. Pindah lu, jangan tinggal di rumah.” “Maksudnya?” “Nyewa apartemen di deket Allen, biar bisa bebas goda dia tanpa ketauan siapapun.” Maya menatap tidak percaya saran dari Naomi. “Lu kan tau kalau gue gak akan pernah diizinin keluar dari rumah, gue gak dipercaya buat ngelakuin apapun.” “Reskio, ambil reskio. Mau ditampar, dipukul atau dimaki orangtua, asal lu nyewa apartemen. Kalau bisa sih maen alus, minta tolong sama kakak lu.” ***** “Kak, aku mau ikut program magang di salah kantor pemasaran real estate. Nanti kan Maya pasti banyak lembur, jadi harus punya kostan atau sewa apartement di sana. Kakak bisa bantu ngomong sama Mamah?” Terima kasih kepada Naomi yang menyarankan ide ini, mereka memang harus magang. Tapi Maya memilih mengambil kesempatan ini lebih awal agar bisa bertemu dengan Allen. “Bayangin aku pulang jam 11, nanti pasti Mamah males buka pintu.” “Iya, nanti kakak bantu buat ngomong sama Mamah. Emangnya dimana kantor pemasarannya?” “Di lingkungan Skylette Hills.” “Lah, itumah area yang kita dartangi tadi pagi loh, tempat Mas Allen di sana.” “Iyakah?” tanya Maya terkejut. “Mintain tolong sama Mas Allen juga, Kak. Siapa tau dia bisa kasih rekomendasi tempat tinggal aku buat sebulan terakhir ini.” “Gampang iitumah.” Mia mengusak rambut adiknya gemas, membiarkan Maya berguling guling di atas ranjang miliknya. “Ke bawah dulu yuk, Mamah bilang Nenek sama Kakek udah deket.” “Males ah, nanti mereka pasti kritik aku lagi.” “Eh, ya jadiin itu masukan dong buat kamu. Buat meningkatkan kualitas diri. Udah yuk, turun dulu. Nanti kakak bantuin buat ngomong sama Mamah, sama Papah.” Mia menarik tangan Maya secara paksa agar ikut keluar bersama dengannya, menyambut Kakek dan Nenek mereka. Alasan Maya malas bertemu dengan mereka, karena keduanya hanya menatap Mia saja. dirinya seolah tidak ada; bukan bagian dari keluarga dan juga cucu mereka. Seperti sekarang bagaimana Maya melihat kakaknya dikerumuni dua manusia tua itu, dengan kalimat kalimat; “Duh, cantiknya cucu Nenek. Kemarin Nenek denger kamu buka cabang di luar pulau ya? Hebat banget.” “Pinter, cantik, Mia emang bibit unggul sih, gak sia sia kakek bawa ini buat kamu,” ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah kunci mobil. “Buat Mia, Kek?” “Coba liat di depan.” Dan saat Mia berlari, tidak lama kemudian terdengar teriakan, “Waaahhhh! Teslaaa! Makasih, Kakek.” Kakaknya dilimpahi banyak kasih sayang, hadiah dan uang yang tidak terbatas. Sementara dirinya, hanya diberikan tatapan sinis oleh kakek dan neneknya. “Maya masih semester enam? Gak ada niatan akselerasi kayak kakaknya?” tanya sang kakek. “Gak memenuhi syarat juga, kemarin Mamahnya bilang kalau masih ada nilainya yang C.” sang Nenek menjawab. Dan itu membuat Kakeknya marah pada sang Papah. Mengatakan hal seperti, “Haduhhh, masa depan suram. Kamu ini gimana sih? Anak kamu itu harusnya bisa mengimbangi kakaknya. Bagus kalau dia anak adopsi, ini anak kandung tapi gak ada mirip miripnya sama Mia. Kamu punya banyak uang ‘kan? Suruh dia ikut less atau apa gitu.” “Percuma, udah buang buang duit, masih aja bodoh,” ucap sang Papah tanpa memikirkan perasaan Maya. “Emang udah gitu dari sananya, mungkin ada kesalahan saat dia di dalam kandungan. Cacat mungkin.” Sakit hati, itu yang Maya rasakan. “Skill aja gak punya, beda sama Mia yang punya skill dalam seni, ballet sama otaknya yang gak dipungkiri lagi kepintarannya.” Inilah yang membuat Maya semakin yakin kalau dia ingin mendapatkan Allen, dia ingin berontak dari keluarga yang selalu menatapnya sebelah mata. Dia akan mendapatkan pria kaya itu. ***** “Buat apa magang sekarang? buang buang duit aja, biar nanti aja sama yang lain barengan.” “Tapikan ada nilai tambahan kalau bisa mandiri, Mah. Maya punya tabungan yang cukup buat sewa apartemen, jadi Mamah gak akan ngeluarin uang selain uang bulanannya.” “Kalau Mamah gak harus ngeluarin uang, ya Mamah setuju aja.” Mia tersenyum lega. “Mamah gak perlu khawatir, Mia yang bakalan bantu dia pindahan.” Mamahnya hanya tersenyum malas. “Jangan terlalu capek kamu, Kak. Kamu kan tau, Kak, kalau perusahaan kita lagi gak stabil, kapan kamu sama Allen mau diseriusin?” “Nanti dulu, Mah. Masih ada beberapa hal yang harus Mia beresin.” “Tentang perusahaan? Kan kalau kamu nikah sama Allen, nanti perusahaan pasti bakalan diakusisi sama dia.” “Nanti aja dulu, sebentar lagi,” ucap Mia dengan senyuman lembutnya, dia memeluk sang Mamah sebelum melangkah keluar dari ruangan itu. Kemudian menarik tangan Maya yang sedari tadi mengintip dari balik dinding. Mengajaknya ke kamar, dan akhirnya Mia menjerit. “Yeayyy! Mamah izinin kamu. Besok kakak bantu kamu buat siap siap ya.” “Tapi aku gak punya tabungan, Kak. Kenapa kakak bilang gitu sama Mamah?” “Gampang itumah, pake tabungan Kakak aja.” “Ih, Maya gantinya kapan juga, Kak.” “Jangan mikirin itu, beresin sana baju kamu,” perintah Mia sambil mendorong pelan bahu adiknya. Dan hal itu benar benar terjadi, keesokan harinya Maya turun dengan beberapa koper berisikan baju dan juga buku. Dia akan meninggalkan rumah ini dan dengan bebas menggoda Allen supaya bisa jadi miliknya. Toh meskipun jadi miliknya, itu tidak akan mengubah fakta kalau Allen menjadi menantu keluarga Zhong. “Emang udah dapet tempat tinggal?” tanya Papahnya. “Udah,” jawab Mia. Padahal Maya tidak mengetahui apapun tentang hal itu. Ketika berpamitan kepada kedua orangtuanya, Maya bahkan tidak mendapatkan pelukan, hanya sebuah kalimat; “Jangan repotin Kakak kamu, kalau ada apa apa tanggung sendiri. kamu udah gede kan? Berhenti minta bantuan dia, kakak kamu itu sibuk.” “Uang jajan juga gak akan ditambah sama sekali, resikonya begitu. Jadi jangan minta uang jajan tambahan sama Mamah.” Sang Mamah menatap dengan malas. “Hemat uang kamu, Mamah gak kasih mobil sama supir.” “Iya, Pah, Mah. Maya berangkat dulu.” ***** Maya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat dia tau kalau apartemennya ada di dekat Gedung milik Allen. Memang tidak dalam Gedung yang sama. Mereka berdua terpisah jarak 2 menit dengan jalan kaki. Dan itu tidak masalah untuk Maya, yang penting dia dengan mudah mendapatkan akses pada Allen. “Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja ya, May.” “Iya, Mas,” jawab Maya. Karena Mia meminta Allen untuk menjaga adiknya selama dia melakukan magang. Karena jarak dari tempat ini ke rumah mereka sekitar 15 menit dengan berkendara. “Kalau kamu mau magang, harusnya di kantor Mas aja, May. Biar mudah.” “Gak kepikiran sebelumnya, udah terlanjur ngajuin ke sini, Mas.” Bahkan Allen membantu Maya membereskan beberapa barang yang sudah ada di dalam unit apartemen; tapi tidak tertata sesuai keinginannya. Namun Maya tidak bisa melakukan apapun, mengingat Mia masih ada di sini. “Kakak harus ke kantor, May. Kamu mau kakak anter dulu ke kampus gak?” “Gak usah, bagian siang kok jadwalnya.” “Mas ayok keluar, suruh Maya istirahat dulu,” ucap Mia pada Allen. “Kamu juga mau ke kantor kan?” “Iya. Mas tinggal dulu ya, May.” “Makasih, Mas. makasih, Kak,” ucap Maya sambil merentangkan tangannya, bibirnya mengerucut minta dipeluk Mia. Membuat Kakaknya tertawa gemas dan segera memeluk adiknya itu. Kemudian keduanya pergi meninggalkan Maya yang sekarang menelpon Naomi, meminta saran pada temannya untuk apa yang harus dia lakukan selanjutnya. “Adik kamu lucu banget, jadi khawatir dia masuk dunia kerja, anaknya polos banget,” ucap Allen saat melangkah bersama dengan Mia. “Makanya aku mau minta kamu buat jagain dia. Maya itu anak rumahan banget, gak pernah punya pacar, gak punya temen yang satu frekuensi. Dia sibuk sama dunianya sendiri, minatnya paling Cuma sama buku novel.” “Anggap aja ini cara dia mengenal dunia luas, dia pasti baik baik aja kok.” Allen merangkul bahu Mia. “Aku bakalan jagain dia, dengan syarat dapet kunjungan tiap hari.” Mia terkekeh pelan, ada hal yang harus dia lakukan. “Mas, sebenernya ada tempat yang harus aku liat di Bali, tempat iitu bagus buat aku buka cabang pabrik cokelat di sana.” “Kamu mau ninggalin aku lagi?” “Yaampun, Mas. itukan karena kerjaan, supaya usaha Papah aku stabil.” “Kalau mau stabil, ya nikah sama Mas.” “Aku bilang jangan terburu buru, Mas. aku masih mau nata perasaan aku sendiri.” Dan lagi lagi, Allen harus kecewa. Padahal dia sudah jatuh hati pada Mia sejak pertama kali mereka bertemu. ***** “Allen tuh type orang yang gak bisa hubungan jarak jauh bukan? lu harus bisa kasih perhatian sama dia, sama sekalian lu juga harus dapet kepercayaan dari kakak lu. Biar kalau dia keluar kota, Allen dititipin sama lu. Hahahahaha!” “Lu tau gak?” sambil menggigit jari tangannya, Maya menatap foto Allen yang diam diam dia ambil. “Gue kalau liat dia, rasanya jadi gak tahan, mau ngeseks sama dia.” “Ancur, lu udah bener bener gak polos lagi. Obsesi itu, gila tau gak?” Maya tertawa, dia menerima bir yang diberikan oleh Naomi. Beberapa hari sejak kepindahannya ke apartemen baru, Maya merasa dirinya lebih bebas dari tuntutan kedua orangtuanya. Dia menjadi suka minum alcohol, dan memiliki tingkat toleransi yang tinggi setelah Naomi mengetesnya. Akhir akhir ini Kakaknya juga sering datang ke apartemennya, dan bertemu dengan Allen secara intens. Maya masih memiarkannya, dia menunggu gilirannya tiba sambil menganalisis hubungan keduanya. “Mau liat bokep buat referensi?” “Gak, gue mau bener bener polos.” “Bagsatt bohong banget, otak lu udah lebih dari liar. Lu mau ikut gue ketemu temen temen gue gak nanti malem?” “Nggak, nanti malem gue mau mulai gerak.” Karena selama beberapa hari ini Allen hanya menanyakan kabarnya lewat ponsel, dan Maya mengatakan kalau dirinya mulai sibuk bekerja; karena kenyataannya memang seperti itu. Dan Maya jelas melihat bagaimana Allen terlihat malas saat bertukar kabar lewat ponsel. Jadi jika Maya ingin mendahului Kakaknya, dia harus melangkah dan mendekat secara langsung “Gue cabut dulu,” ucap Maya keluar dari apartemen Naomi setelah membereskan penampilannya dan menyemprotkan baby cologne, yang membuat Naomi menggelengkan kepala heran. Maya benar benar terlihat polos diluar, tapi dalamnya mulai rusak secara perlahan, karena obsesinya. Begitu sampai di apartemennya, Maya mandi. Mengganti bajunya dengan yang lebih lucu, yaitu jumpsuit dengan kaos teddy bear sebagai dalamannya. Dia membiarkan rambutnya terurai, dan menghiasi wajah dengan riasan tipis. Tidak lupa dia menggunakan bedak bayi di beberapa titik di tubuhnya, baby cologne dan juga minyak telon sebagai pelengkap. Setelahnya Maya memanaskan makanan yang dia buat tadi pagi, kemudian memasukannya ke dalam kotak makanan. Mengambil ponsel untuk menelpon Allen. “Hallo, Mas?” “Kenapa, May? Tumben kamu telpon? Ada masalah?” “Enggak, ini aku buat makan malam banyak. Mas mau?” “Boleh, anterin aja ke sini ya.” Maya menyeringai, karena malam ini kakaknya akan pergi ke luar pulau. Jadi Maya akan menjadikan ini ajang kesempatan untuk menggoda Allen. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN