Maya tertawa seorang diri saat dia mendapatkan pesan dari Allen, dan itu membuat Naomi yang sedang membereskan apartemen hanya mendengus dan menahan tawanya sendiri. “Seneng lu? Bisa chattingan sama calon?”
Kemudian Maya menutup ponselnya, dan menatap Naomi. Ini sudah hari ketiga dirinya bersama dengan Naomi, dan sudah tiga hari pula kakaknya belum pulang. Mia memiliki pekerjaan di luar pulau, hingga malam saat makan malam itu Allen hanya bertukar pikiran bersama dengan Maya. Kesempatan yang bagus.
“Chattingan apa aja?”
“Sesuai saran lu, gue chattingan tentang bunga. Dia selalu komen kalau gua bikin status tentang perkembangan bung ague.”
“Terus? Kenapa mukanya ditekuk gitu?”
“Males! Bosen! Lu kan tau kalau gue rawat taman di belakang itu atas paksaan dari orangtua gue, khususnya Mamah. Maunya bahas yang lain.”
“Pelan pelan dulu aja. Dari penglihatan gue, Allen masih tergila gila sama kakak lu.”
Menghela napas dalam, Maya merebahkan diri di sofa Naomi yang masih dipenuhi oleh pakaian yang berserakan. Dia tidak pernah sedekat ini dengan orang lain. Orangtuanya tidak mengizinkannya untuk menghabiskan waktu percuma. Untung saja Maya memiliki alasan untuk saat ini.
“Terus nasib gue gimana? Kapan dia suka, tertarik sama gue?”
“Gue bilang kan pelan pelan dulu, May. Lu harus sabar, dan tunjukin dengan pelan apa yang lu bisa, tapi kakak lu enggak.”
“Kakak gue bisa semuanya.” Maya berucap sambil menahan air mata. “Itu alesannya dia jadi kesayangan orangtua gue.”
“Inget inget lagi. Kakak lu suka baca gak?”
“Dia punya perpusatakaan sendiri.”
“Masak?”
“Lumayan.”
“Bersih bersih?”
“Bisa juga.”
“Anjir kakak lu bener bener,” ucap Naomi yang sedang mencuci piring ikut kesal mendengarnya.
“Makannya gue agak putus asa sekarang, mana pembahasan sama Mas Allen mentok di bunga doang lagi.”
Naomi terdiam sejenak, memikirkan apa yang salah dengan pria itu. Naomi memiliki banyak teman pria, berbagai sifat dia bisa baca dengan mudah. “Kakak lu sama Allen juga belum ketemu tiga hari terakhir ini?”
“Gimana mau ketemu, orang kakak gue diluar pulau lagi kerja.”
“Itu dia yang kakak lu gak punya, waktu luang.”
“Hah?” Maya menatap Naomi bingung. “Maksud lu gimana?”
*****
“Akhir akhir ini si Maya pulang terlambat, bilangnya aja ada kerja kelompok karena bentar lagi mau Ujian, tapi Mamah gak percaya. Liat aja sekarang, bagian jam makan malam malah belum pulang. Ditelpon juga gak diangkat.”
Mia yang baru saja bergabung makan malam dengan keluarganya itu hanya bisa menghela napas dalam. “Mungkin Maya emang lagi kerja kelompok, Mah.”
Dan bahkan kini sang Papah ikut dalam pembicaraab. “Halah, kerja kelompok dari mana. Dia nyuruh supir buat gak usah anter anter dia, jelas mencurigakan. Awas aja kalau kedapetan dia lagi berduaan sama cowok. Jadi anak gak bener banget.”
“Papah ngomongnya jangan gitu dong, nanti jadi doa,” ucap Mia mencoba menenangkan kedua orangtuanya. “Maya juga butuh kebebasan, Mah, Pah. Dia udah gede, dia butuh lingkungan baru. Mia yakin kalau Maya sedang dalam proses untuk lingkungan baru.”
“Kamu bakalan terkejut liat gimana penampilan dia,” ucap sang Mamah.
Tidak lama kemudian…., “Maya pulang. Maaf telat, tadi ada anggota kelompok yang datangnya telat,” ucap Maya sambil melangkah masuk. “Loh, Kak Mia udah pulang? Maya pikir besok.”
“Kakak kamu itu selalu ngutamain keluarga, bukan kayak kamu yang keluyuran di luar sana. Awas kalau kamu ningkah, Mamah stop kasih uang sama kamu,” ancam sang Mamah.
“Papah liat penampilan kamu berubah, pasti karena anak laki laki ‘kan? Jangan jadi w************n kamu, focus buat bisa jadi kayak kakak kamu.”
Yang sama sekali tidak ditanggapi oleh Maya. “Aku udah makan kok, mau ke atas dulu.”
Melihat bagaimana mata Maya memperlihatkan luka di hatinya, Mia segera menasehati kedua orangtuanya. “Mamah sama Papah harusnya jangan gitu lagi sama Maya, dia bukan anak kecil yang harus terus menerus diancam. Dia udah dewasa, dan Mia yakin kalau Maya tau aturan dan juga Batasan. Satu lagi, Mah, jangan pernah membanding-bandingkan Maya dengan Mia. Meskipun kami bersaudara, tapi jalan hidup pasti akan berbeda. Maya akan bersinar pada waktunya, kalian hanya harus menunggu.”
Setelah makan malam berakhir, Mia langsung naik untuk menemui adiknya. Mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam kamar sang adik. “Hei, lagi ngapain?”
Maya yang sibuk menulis itu mengabaikan Mia.
“Kakak bawa oleh oleh, udah diliat belum? Ada di bawah meja belajar kamu.”
“Udah barusan,” jawabnya singkat.
“Penampilan kamu bagus loh, kakak suka. Sejak kapan buka kacamata sama ikat rambut? Mana bibirnya sekarang pink merona. Eh, bulu matanya juga lentik. Ini rok beli di mana ya? Cantik bener deh.”
Akhirnya, Maya beralih menatap Mia dengan wajah yang ditekuk.
“Uh, adik kesayangan kakak. Jangan di denger ya ucapan Mamah sama Papah, kamu berhak nentuin hidup kamu kok. Apa yang kamu mau, apa yang kamu Yakini, selama itu masih di dalam batas dan gak ngerugiin orang lain,” ucap Mia sambil memeluk erat adiknya.
Mungkin terdengar tidak tau diri jika Maya mengatakan dia masih tertarik merebut Allen dari kakaknya. Tapi dia benar benar butuh kebahagiaan yang dia inginkan, tidak terus menerus kakaknya yang mendapatkan segalanya.
*****
Maya terbangun saat dia mendengar suara seseorang yang sedang menelpon. Ternyata itu ulah kakaknya yang sedang duduk di sofa sambil menelpon.
“Iya, aku juga kangen sama Mas. besok aku ke apartemen kamu ya, kita lepas rindu di sana. Sekalian aku bawa oleh oleh buat kamu.”
Memang Mia memutuskan untuk tidur menemani adiknya, hingga dia berada di kamar itu. Awalnya dia tidak sadar kalau Maya terbangun.
“Kangen banget ih. Maaf aku gak ada waktu buat kamu. Papah sebenernya udah larang aku ke luar pulau, tapi aku tau kalau pekerjaan itu gak akan beres tanpa aku.”
Sampai Maya berucap, “Kakak?”
Dimana Mia tidak menyangka akan telponan dengan sang pujaan hati dan membangunkan Maya.
“Iya, tutup dulu ya, Mas. Ini udah malem loh, kamu juga perlu istirahat. Besok pagi aku langsung ke sana. Oke?”
Setelah memutuskan panggilan, Mia mendekati ranjang sang adik. “Kenapa bangun?”
“Kakak berisik.”
“Eh, maaf, May. Itu dari Mas Allen, kamu kan tau tiga hari yang lalu Kakak gak pulang dulu ke sini, jadi yaa… semacam melepas rindu, apalagi tiga hari diluar pulau gak ada sinyal.”
Maya memutar bola matanya malas. Untung saja cahaya remang remang sehingga kakaknya tidak bisa melihat. “Besok kalian mau ketemu?”
“Iya, besok pagi.”
“Ih, padahal aku mau dianterin sama Kakak besok pagi. Emang Kakak gak kangen juga sama aku?”
Mia tertawa dan mengusak pelan rambut adiknya. “Ya kangen lah. Gak papa, besok kita bareng aja. Lagian apartemen Allen juga searah ke kampus kamu. Nanti kita sarapan bareng di sana gimana? Mau?”
Maya mengangguk antusias. Senangnya bisa mengetahui alamat dan juga nomor unit Allen, bukankah itu kemenangan tersendiri untuknya?
*****
“Kamu gak usah ikut. Kakak kamu itu mau ketemu sama calon suaminya. Kamu ngikut pasti ngerepotin,” ucap Mamahnya saat Maya melangkah mengikuti sang kakak. Membuatnya mendengus kesal karena hal itu. “Duduk di sini, nanti sopir yang nganterin kamu. Denger gak apa kata Mamah?”
“Tapi Maya mau sama Kakak, kangen sama Kakak, Mah.”
“Semalem kan udah tidur bareng. Kakak kamu mau ketemu pacarnya, gak tau malu kalau kamu ngikut,” ucap sang Papah yang mana membuat Maya kaget.
Seketika dia menoleh pada kakaknya. “Emang udah jadian kalian berdua? Pacarana? Kok kakak gak cerita?”
“Gak usah kepo sama hidup orang lain. Duduk sini kamu,” ucap sang Mamah lagi. Bahkan dia mendekat dan menyeret tangan Maya untuk duduk di ruangan makan.
Yang mana membuat Mia menghela napasnya dalam, kedua orangtuanya memang selalu keras kepada adiknya, hanya karena dia tidak melampaui ekspektasi mereka.
“Kalau kamu gak bisa bawa banyak piala kayak kakak kamu, seenggaknya nurut sama orangtua.”
“Gak papa, Pah. Mia yang minta buat ikut sama Maya kok, bentaran doang. Lagian Mia Cuma mau ngasih oleh oleh sama Mas Allen, kencannya nanti malam, jadi sekarang Maya gak akan ganggu sama sekali,” ucap Mia menarik tangan Maya untuk berdiri. “Jangan maksa kayak gitu, Mia juga gak keberatan kalau Maya ikut.”
Meninggalkan sepasang suami istri yang hanya menatap dengan tajam, mereka hanya takut kalau Maya hanya akan mengacaukan pertemuan Mia dan juga Allen.
“Mereka udah jadian belum sih, Pah?”
“Lagi masa pendekatan, biarin aja dulu jangan buru buru gitu.”
“Gedeg tau Mamah itu sama si Maya. Kayaknya kita harus bawa dia ke psikolog deh, masa sepanjang sekolah gak punya temen, kenalan atau seseorang yang deket sama dia. Mamah takutnya dia gak normal, penyendiri gitu anaknya.”
Sang Papah menggeleng. “Udah liat kan penampilannya mulai berubah, mungkin dia lagi menunjukan minatnya pada sesuatu. Manusia tanpa skill itu hanya manusia buangan,” ucap sang Papah yang sudah sejak lama mengklaim anak bungsunya seperti itu. Berbeda jauh dengan sang anak pertama yang membanggakan keluarga, yang satunya malah penyendiri dan juga tidak memiliki keahlian apapun.
Ambisi mereka yang mengharapkan anak anak yang sempurna membuat keduanya lupa tentang peran orangtua yang baik.
“Kalau emang dia gak ada peningkatan sama sekali, memang harus dipertanyakan. Kita udah sediain guru less buat dia, lingkungan yang baik. Jadi kalau tetep jadi si introvert yang gak punya skill, harus kita bawa ke psikiater.”
*****
Disinilah Maya sekarang, melihat tempat tinggal Allen. Di salah satu Gedung apartemen yang terkenal di Jakarta, bahkan Allen menempati bagian penthouse dengan atap pribadinya. Membuat senyuman Maya mengembang, dia membayangkan jika dirinya bisa terlelap di tempat itu. Pikiran nakal dan liarnya keluar begitu dia mengingat wajah Allen yang sempurna, pencapaiannya yang luar biasa, dan uangnya yang banyak.
Sebut saja Maya memang terobsesi. Karena dia tidak bisa memberikan apa yang orangtuanya inginkan, mungkin Maya bisa memberikannya lewat sang suami; yakni Allen yang sempurna.
“Kenapa kamu senyum senyum sendiri?” tanya Mia. Kini mereka berdua berada di dalam lift.
“Lagi bayangin penthouse apartemen, nanti aku mau liat atapnya.”
Membuat Mia tertawa. “Kamu yang polos ditambah penampilan manis kayak gini bikin kamu makin lucu tau,” ucapnya sambil mengusak rambut sang adik.
Mia dengan mudah memasukan pin apartemen Allen.
“Kakak pernah ke sini sebelumnya?”
“Iya pernah, beberapa kali.”
“Ngapain?”
“Eh, anak kecil gak boleh tau,” ucap Mia kemudian menarik Maya masuk ke dalamnya. “Masssss?!” panggil Mia.
Dan keluarlah Allen dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya, yang mana membuat Maya membulatkan matanya; tubuhnya begitu sempurna dan indah.
“Heh! Cepet pake baju!” teriak Mia sambil menutupi mata adiknya, tidak ingin pikiran Maya menjadi kotor.
Mmembuat Allen bergegas pergi ke kamarnya, dan meninggalkan dua bersaudari itu dengan sebuah kecanggungan. “Katanya kamu mau ke atap. Sana, ada kolam renang loh. Pintunya yang itu. Kakak siapin dulu sarapannya.”
“Oke,” ucap Maya kemudian melangkah meninggalkan Mia. Sebelum dia benar benar menghilang dibalik pintu menuju atap, Maya melihat bagaimana kakaknya masuk ke dalam kamar yang tadi dimasuki oleh Allen.
“Sialan,” umpatnya menahan rasa kesal.
****
“Astaga, bikin kaget,” ucap Allen saat merasakan sosok yang memeluknya dari belakang. Untung saja Allen sudah memakai pakaian, hingga menyisakan kancing yang belum disatukan. “Kenapa? baru sadar kalau kamu sibuk dan mengabaikan Mas beberapa hari ini?”
Mia mengerucutkan bibir, dia membiarkan Allen membalikan badan kemudian merangkup pipinya. Kemudian memberikannya kecupan di bibir Mia.
“Maaf, Mas kan tau kalau aku banyak kerjaan. Udah jangan ngambek lagi napa.”
Keduanya berpelukan, sambil berputar putar. “Kenapa mandi di kamar mandi luar?” tanya Mia.
“Kamar mandi di dalemnya rusak, orang yang bakal benerinnya datang nanti siangan.”
“Rusak gimana?”
“Air angetnya gak keluar.”
Mia tertawa. “Emang gak tahan dingin?”
“Kalau kamu angetin pasti mau,” ucap Allen kemudian memangku Mia di depannya, keduanya berciuman untuk beberapa saat. Saling memangut satu sama lain, dan tangan Allen mulai meraba raba di sekitar tubuh Mia.
“Mas…” Mia melepaskan pangutan bibir mereka. “Ada Maya.”
“Dia pasti lagi anteng, tadi kamu suruh dia ke atas kan? Banyak bunga di sana, adek kamu gak akan tau.”
“Kamu baru aja mandi ih.”
“Sambil berdiri ya? Biar cepet.”
Karena Mia juga rindu, jadi dia mengangguk. Membuat Allen menurunkan tubuh Mia dari pangkuannya. “Bawa k*ndomnya di laci, Sayang.”
Dan Mia dengan senang hati melakukannya. Mereka memang sudah beberapa kali berhubungan seks, keduanya sama sama berpengalaman. Bukan karena mereka pencinta one night stand, tapi mereka melakukannya dengan pacar mereka sebelumnya. Bukan penjungjung tinggi sexs after marriage, hal seperti ini sudah lumrah untuk keduanya. Hanya bukan dengan sembarangan orang melakukannya.
“Akhhh…” Mia mencengkram bahu Allen ketika pria itu menghentak semakin dalam. Sama sama berdiri dengan posisi saling berhadapan; dengan pakaian yang masih lengkap. Tubuh Mia dihimpit antara Allen dan dinding, membuatnya memejamkan mata dan mendesah semakin kuat.
Merindukan tubuh satu sama lain, sudah seminggu mereka tidak melakukan seks seperti ini.
Dan tanpa mereka sadari, kalau balkon yang ada di lantai bawah saling terhubung satu sama lain. Sehingga saat Maya turun dari atap, dia menelusuri balkon dan berhenti ketika melihat apa yang dilakukan Mia dan Allen dari balik pintu kaca yang menghubungkan balkon dan kamar.
Tangan Maya mengepal kuat, dia ingin memiliki pria itu untuknya sendiri. dan kakaknya telah berjalan terlalu jauh.
****