Wawancara

1647 Kata
Setelah mendapatkan pesan dari Gadis untuk datang wawancara di kantornya, aku segera merapikan berkas yang diminta. Mama tersenyum lebar saat melihatku sudah rapi dan wangi untuk berangkat ke kantor Gadis. "Mama doain, semoga langsung diterima. Besok langsung kerja." Mama memegang kedua pundakku dan menempelkan pipinya ke pipiku. Aku mencibir pelan, mama mendelik tapi kembali tersenyum. Sambil menjentik daguku, mama menyuruhku turun untuk sarapan. Sebagai anak. "Aduh, yang mau kerja lagi. Disayang - sayang mama." Teh Nira nyinyir di sebelahku. "Teteh kalau dandan gitu, makin cantik ya, Mah?" Salah satu adikku menyahut, enggak mau kalah, Rivaldi. "Manis gitu." Dan ‘kembarannya’ membeo, Riswaldi. Jadi, mereka cuma beda satu tahun. Kalau bahasa kerennya, Rivaldi kesundulan si bungsu. Wajah mereka yang mirip dan usia yang hanya terpaut setahun membuat orang - orang mengira mereka kembar. Padahal enggak. "Kalau senyum, makin cantik deh, Teh." Papa juga enggak mau kalah. Aku menyeringai ke arah mereka semua dengan hati dongkol. Mama mesem - mesem bahagia sembari menuangkan nasi goreng ke piring mantan pacarnya, alias papaku. "Mau Papa antar enggak, Teh?" Papa bahkan menawarkan jasa antar tanpa jemput. "Terus nanti Teteh pulang naik ojek? Kalau dapat supir yang ganteng, wangi dan peluk-able, enak. Kalau yang sejenis bang Komeng kan horor perjalanan." Jawabku, membuat papa terkekeh. "Lagian masih ke-pagian, aku mau santai dulu." "Ya enggak apa - apa, sekalian sapu dan ngepel kantornya. Siapa tahu bisa jadi nilai plus di mata bos baru kamu." Teh Nira masih ikut meledekku sambil menggunakan kaos kakinya. Membuatku memanyunkan bibir. "Udah - udah, jangan diledekin terus si Tisha, nanti ngambek, enggak mau wawancara nanti." Mama menggerakkan tangannya ke arah teh Nira dan papa. "Aduh anak Mama nu geulis, minum dulu nih minum. Mau dipanasin motornya? Sini kuncinya." Mama mengambil kunci motor dan memanaskannya untukku, sementara semua anggota keluargaku satu persatu mulai meninggalkan rumah bersamaan. . . . Aku sampai ke kantor Gadis jam delapan kurang sepuluh. Masih terlalu pagi. Jadwal wawancaraku jam sepuluh malah. Tapi Gadis bilang, bos besarnya sedang rapat di Head Office yang mana terletak di Bandung sejak dua hari lalu sampai besok, makanya dia memintaku datang lebih dulu untuk memberikan kisi - kisi. Kayak ujian aja. "Lemooonnnnn!" Jerit Gadis dan Risa begitu melihatku, sudah seperti melihat idola saja. Aku membenahi rambut dan berlagak seperti idol ketemu fans. "Sabar, sabar, fotonya satu - satu." Spontan Risa mejambak rambut keritingku. "KDRT deh lo, Sa!" Sungutku. Gadis serta merta memeluk dan memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung rambut yang berdiri. "Makan lo masih banyak?" Aku mengangguk, "kapan lo gendut sih?!" Maki Gadis frustasi, aku mesem - mesem bangga. Enaknya jadi orang yang banyak makan tapi enggak pernah bisa gemuk, bikin iri makhluk seperti Gadis yang like foto makanan saja timbangan langsung naik. "By the way, nanti yang interview gue siapa? Lo bilang bos-nya lagi enggak ada?" Tanyaku begitu disuruh duduk Gadis di depan mejanya. "Asistennya pak bos. Enggak kalah jutek dan nyebelin. Cuma asisten aja belagu banget, dia tuh udah dipercaya sama pak bos. Jadi kalau dia interview dan terima, pak bos enggak akan interview ulang." Aku manggut - manggut. "Mana orangnya? Belum datang?" Risa mencibir lalu menjawab sinis, "dia sih datang sesuka hati. Kadang jam sebelas, kadang jam makan siang malah." "Pulangnya?" Tanyaku usil. "Yang ngunci kantor dia kayaknya, emang terakhir sih. Ohya, Mon, di sini itu kita pulang kalau bos pulang. Jadi kalau bos lagi rajin, mau enggak mau lo harus tungguin tuh." "Masa?" Aku merenggut. Dalam hati aku bertekad akan mengubah ‘budaya’ itu. Enak saja baru bisa pulang kalau bos pulang, ogah! "Lha iya, segan gitu kalau bos belum pulang terus kita nyelonong. Suka dijulid-in sama yang lain." "Yaelah!" "Sudah, coba aja dulu sebulan. Kalau lo rasa berlebihan, cabut aja. Kita sepakat nih bertahan karena lo masuk sini." Terang Gadis. Aku memberikan tatapan puppy eyes pada mereka berdua. "Makasi ya, Gals. Kalian memang sobat misqueenku." Gadis dan Risa spontan menyentil jidatku berbarengan. "Nama asistennya siapa? Cewek atau cowok?" "Mido. Cowok." Jawab Gadis, Risa sudah kembali ke kursinya dan menyalakan komputer. "Aneh namanya, nama panjangnya siapa?" "Amido." Kali ini Risa yang menjawab. "Lebih aneh lagi." Aku mengerutkan kening. "Ganteng? Jomblo?" "Lumayan lah, nggak malu – maluin dibawa kondangan, tapi sombong." Gadis meminta dukungan Risa yang langsung mengangguk cepat. "Banget." Tegas Risa. "Kayaknya sih jomblo. Cewek mana ada yang tahan sama mulutnya kalau sudah ngoceh. Iyuuuhh. Tapi kalau Lemon yang dijulitin sama Mido, Dis, gue yakin pasti disahutin balik sama dia." Gadis tertawa dan menyetujui kata - kata Risa, aku menggaruk kepala yang enggak gatal. "Enggak ah, gue mau jaga image di sini. Siapa tahu ketemu mantu buat mama Teti." Jawabku kalem, Risa dan Gadis mendengus mengejek. "Kalau bos besarnya? Sudah tua?" Gadis dan Risa saling pandang, kemudian Risa yang menjawab. "Sudah bapak - bapak, tapi bapak keren gitu." "Seumur bokap gue?" "Ya enggak seumur bokap lo juga sih, anaknya masih kecil." Jawab Gadis kali ini, "cuma jarang ngomong. Terus kalau meeting sama doi, auranya horor gitu." "Kok lo tahu anaknya masih kecil?" Risa melayangkan pandangan heran pada Gadis. "Profil w******p-nya, Beb." Jawab Gadis lagi. "Namanya siapa?" "Sawung--" Gadis menjawab, suaranya enggak jelas. "Hah? Sarung?" Tanyaku blo'on. Gadis menarik telinga kiriku dengan keras dan meneriaki nama bosnya di sana. "SAWUNG! Sawung Tedjo, tapi kita panggilnya pak Tedjo." "Hooh, Sawung. Lebih aneh lagi namanya. Di sini emang nama karyawannya aneh - aneh ya?" Ejekku. "Nambah lo satu lagi, Lemon. Makin aneh saja deh." Celetuk Risa, aku memberengut ke arahnya. . . . Orang yang kami bicarakan datang jam setengah sepuluh. Menebarkan aura dingin saat dirinya memasuki ruangan tempat kami berada. Aku kembali duduk di sofa tunggu saat Gadis melihat motor asisten bos besar mereka terparkir di depan kantor melalui jendela di dekatnya. Pria itu melirik sekilas ke arahku, dengan tak acuh dia menuju meja kerjanya. Benar yang Risa bilang, dia lumayan. Ganteng lah. Kulitnya kecoklatan, badan tegapnya terbungkus kemeja putih yang fit to body. Rambutnya cepak tentara, tingginya juga menjulang sekali. "Mbak-nya itu yang mau interview?" Seketika dia bicara, suara halus dengan logat medok Jawa yang kental membuatnya tidak pantas dinilai sombong atau arogan. Pria yang Risa bilang bernama Mido itu bertanya pada Gadis sambil melirikku. "Iya, Pak." Jawab Gadis. "Mbak-nya, ikut saya!" Dia memanggilku, sopan. Pria itu membawa beberapa kertas dan pulpen lalu memasuki salah satu ruangan kaca. Aku membuntutinya segera. Ada dua ruangan kaca, Gadis bilang yang sebelah kanan adalah ruangan bos besar mereka, Pak Tedjo. Sementara aku, memasuki ruangan kaca sebelah kiri. "Silakan duduk." Amido melambaikan tangannya ke arah kursi yang bersebrangan dengan dirinya. "Amido!" Dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan, yang kusambut dengan malu - malu. "Letisha." Pria itu tersenyum manis dan ramah. Dia sombong dari mana sih? . . . Perusahaan yang baru saja mewawancaraiku itu bergerak di bidang distribusi beberapa produk. Kantor pusatnya di Bandung, sementara kantor Gadis dan Risa itu cabang untuk Jakarta. Gajinya kecil, enggak ada sistem lembur kecuali diminta. Jadi mereka bilang pulang itu apabila kerjaan sudah selesai. Kalau selesai lebih cepat, ya bisa pulang. Dan sebaliknya, kalau harus pulang malam karena menyelesaikan pekerjaan enggak bisa disebut lembur. Lembur hanya akan terjadi atas dasar permintaan Perusahaan, semacam kerjaan tambahan gitu. Tapi biar deh, untuk batu loncatan dari pada kena omel mama setiap hari. Amido sempat meragukanku yang tidak mempertimbangkan sama sekali mengenai gaji dan langsung ambil keputusan untuk menerima pekerjaan ini setelah melihat pengalamanku sebelumnya. Aku sampai rumah jam tiga sore. Kulihat Gavin sedang duduk di kursi beranda rumahku. Dia berdiri saat melihatku datang dan memarkirkan motor. "Hai, Sha. Abis interview kata mamah?" Sapanya sopan. Aku melepas helm dan mengedikkan alis menjawabnya. "Ngapain? Bayar kost?" Gavin mengangguk. "Padahal sayang banget lho posisi kamu di kantor sebelumnya. Tami bilang, prestasi kamu bagus." Aku ikut duduk di kursi sebelahnya sambil meregangkan kaki. "Percuma bagus kalau enggak dianggap, Vin. Tami gimana?" Tanyaku balik, meskipun sekedar basa - basi. Siapa juga yang mau tahu tentang pacar gebetannya? "Dia mulai ngeluh tuh, semua beban lari ke dia sejak Gadis, Risa dan kamu resign." Aku tertawa sinis, "gitulah Juwita. Ditinggal kabur orang - orangnya baru tahu rasa!" Gavin menjentikkan jarinya. "Nah itu, Tami mulai cari - cari lowongan di tempat lain. Kalau kamu diterima di tempat baru, ajak Tami lagi ya, Sha." Pinta Gavin, yang sejujurnya aku mau tolak. Tapi mana tega sih lihat mata sipit yang ramah dan baik hati itu. "Insya Allah ya." Jawabku, "mama kemana sih?" Aku melongok ke dalam rumah, tidak ada tanda - tanda kehidupan. Begitu juga dua adik laki - lakiku yang harusnya sudah pulang sekolah. "Cari tukaran uang. Buat kembalian aku." "Ooh." Kami terdiam beberapa saat. Aku menetralkan detak jantung yang suka norak kalau lagi sama Gavin. "Diem - dieman, kayak lagi pedekate aja." Tahu - tahu suara mama Teti menginterupsi keheningan di antara aku dan Gavin. Membuatku mendelik tidak suka. "Eh lupa, Gapin sih udah punya pacar ya." Lanjut mama, membuat Gavin tertawa kikuk. Gapin, pemirsa! Itu lidah, enggak bisa juga nyebut huruf F dan V. "Cariin Tisha pacar dong, Pin. Pusing Mama lihat dia jomblo bertahun - tahun." WHAT?! "Ehehehe, enggak apa - apa, Mah. Sekalinya ada yang dekatin, langsung ngelamar nanti." Respon Gavin, berusaha untuk tidak membuatku terdengar menyedihkan tapi segera ku-aminkan segera. Mana tahu ada Malaikat sedang lewat. "Lagian Tisha unik. Pasti susah dapat yang cocok sama kamu ya, Sha?" Aku tidak menjawab dan memilih bercocok tanam di Hayday. "Unik? Aneh maksud kamu, Pin?" Sahut mama, membuat Gavin tertawa canggung dan telingaku memanas. "Eh ini kembaliannya, kamu hari ini pulang cepet atau enggak kerja?" "Sudah pulang, Mah. Sekalian mau jemput adek yang nanti kuliah di sini." "Oh, iya iya. Yaudah atuh, Mama tinggal ke dalam ya. Sha, ganti baju atuh. Baru pulang bukannya masuk dulu." "Nanti." Jawabku setengah kesal. "Di Perusahaan apa, Sha? Yang tadi interview?" Gavin kembali membuka percakapan saat mama menghilang di balik pintu. Aku pun menceritakan tentang kantor yang tadi kudatangi dan segala hal yang terlewat selama beberapa hari tidak bertemu dengannya. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN