Pengangguran

1436 Kata
Dug dug dug! "Banguuuunnn, wahai Anak Gadiiissss! Sudah setengah sembilan ini, Tishaaaaaaa. Malu sama ayam tuh, udah pada kenyang lagi dari Subuh cari makan. Kamu masih ileran aja di atas bantal. BANGUUUNNNNN!" YES, YES! BETUL SYEKALI SODARA - SODARA SETANAH AIR. Itulah suara super mama yang kalau aja aku enggak tahu bahwa Surga di bawah telapak kaki ibu, yang mana kutahu dari lagunya Dhea Ananda, udah pasti aku kirim ke Mars itu ibu - ibu di balik pintu kamar yang sekarang bergetar akibat gedoran dahsyatnya. "Syuuudah banguuunnn, Maaaaahhhhh." Sahutku, enggak kalah keras. "YA KALAU SUDAH BANGUN, BERESIN KAMAR, MANDI, TERUS BANTUIN MAMA DI DAPUR. JANGAN NGEDEKAM AJA DI DALAM. KAMU ENGGAK LAGI DIPINGIT, CALON SUAMI AJA ENGGAK PUNYA, GIMANA MAU DIPINGIT!" Jawaban mama nan sengit itu justru memunculkan tandukku. Aku segera melesat membuka pintu dan berhadapan dengan ibu - ibu gemuk berdaster biru yang sudah pudar pakai roll rambut yang sayangnya enggak akan pernah keriting tapi sering maksa ngeroll biar kayak ibu - ibu jaman now katanya. "Enggak usah bawa - bawa status, berapa duit?" Aku memicingkan mata pada mama, yang dibalas dengan sehelai topo kotak - kotak untuk mengelap pipiku. "Iler dulu elap, baru nantangin! Cepetan mandi! Kebiasaan baru kamu tuh, kelamaan nganggur jadi males!" Setelah sembarangan mengusap pipiku dengan topo dapur, ibu - ibu gendut itu berbalik dan kembali ke singgasananya yaitu dapur sebelum aku sempat teriak. "IH MAMA, TOPO-NYA BAU AMIIIISSS!" "Bau-an iler kamu!" Jawab mama tanpa mengindahkan protesku. Membuatku geram dan menutup pintu untuk kembali bergelung dalam selimut dan menikmati pelukan Ayang Timothee Chalamet dalam mimpi, tapi teriakan mama membatalkan kepalaku yang hendak mendarat di atas bantal. "AWAS YA KALAU TIDUR LAGI, MAMA SIRAM PAKE AIR ES!" "IIIISSSSSSHH!" Dengan sangat terpaksa aku segera merapikan tempat tidur dan bergegas mandi, sebelum mama dan teriakannya mengintervensi pagiku yang seharusnya indah. Ini tuh nikmatnya menganggur, bangun siang sesuka hati tanpa harus pusing dengan arus macet Ibukota pagi hari. Tapi kalau mamanya ibu Teti Suhartati kayak mamaku, enggak ada itu yang namanya pagi malas, hari Minggu tanpa mandi dan segala kenikmatan pengangguran seperti aku ini. Baru juga nganggur satu bulan, mama mengancam kalau aku enggak kerja juga dalam waktu dekat, aku akan dijodohkan sama bang Komeng. Tukang bakso langganan yang kadang suka mejeng depan pagar rumah. Idih. Bayanginnya aja merinding disko. Ya kali rambut keriting yang sekarang sudah aku highlight ungu bakalan kalah saing sama mie buat baksonya. Alih - alih merebus mie untuk pelanggan, bisa - bisa dia menggunting rambut ikalku yang menawan. Huh! Setelah mandi, aku langsung ikut nimbrung 'breakfast talk' papa dan teh Nira di meja makan yang lagi seru bahas t****k. Baru mau comot pisang goreng, tepukan pedas mama Teti mampir di tanganku. "Bantuin! Bantuin! Main comot - comot aja. Enggak ada fasilitas buat anak pengangguran. Nih tugas kamu hari ini!" Mama meletakkan post it warna merah dengan 'Tugas Tisha' yang ditulis besar - besar pada bagian atasnya. Papa dan Teh Nira kompak tertawa. Di rumah, mama adalah ratu. Meskipun papa rajanya, tetap aja mama ratunya. Raja mah nurut sama ratu. Dan aku? Harus jadi babu part sekian, setelah ribuan kali mencoba menghindari mama dan titahnya. Tahu begini sih, kemarin - kemarin enggak usah resign dulu sampai dapat kerjaan. Enggak ada tuh hari tenang pasca resign, lagi menghabiskan jatah cuti aja mama udah menggalakkan peraturan, anti males - males day. Sebel! "Yakin masih mau jadi pengangguran sementara?" Bisik Teh Nira, ngeledek. "Enggak lagi deh. Nanti siang aku mau telepon Gadis, mau nanya lowongan." Jawabku jutek. Teh Nira terkikik geli, papa ikut menertawakanku. "Udah tahu mamanya enggak bisa diam, kok kamu mau jadi asisten tidak resminya." Lanjut papa. Maksudnya papa apabila menganggur maka otomatis menjadi asisten enggak resmi mama. Anterin ke pasar, beliin ini, beliin itu dan sebagainya. "Ih Papah maaah! Belain aku dong." Papa pura - pura enggak dengar dan malah menyeruput kopinya dengan santai. "Tisha, kalau mau makan, ya kerja! Cepetan bantuin Mama!" Teriak mama dari arah dapur. Papa dan Teh Nira malah menggerakkan tangan mereka, mengusirku yang setengah kesal beranjak dari kursi. "Itu lagi kenapa pada belum berangkat kerja. Si Papa mandi aja belum, santai - santai. Biar adil, kasih kerjaan juga dong Mah!" Protesku. "Gini nih kalau pengangguran. Tanggal merah aja enggak tahu. Hari libur Nasional, enggak perhatiin. Pilkada aja enggak ngerti. Makanya kerja!" Sahut mama, dengan suara nyaringnya yang menusuk telinga. "Emang sekarang pilkada?" Tanyaku dengan blo'onnya, mama mendesah sambil mengiris daun bawang. "Libur Nasional? Nyepi? Waisak? Natal? Apa Lebaran?" Lanjutku sambil menyomot irisan bakso yang siap digoreng bersama nasi. Aku menggaruk belakang telingaku yang enggak gatal karena mama tidak kunjung menjawab. "Uhm hari apa sih ini?" "Minggu, Tishaaaaaa. Kamu teh kemana aja? Tinggal di goa? Nganggur kok jadi lemot begitu. Duh Gusti, abdi hampura--" mama mulai misuh - misuh dengan bahasa Sunda. Pantesan mama masak sarapannya siang banget. "Tisha mau telepon Gadis deh, minta kerjaan." Aku siap pergi sebelum tangan mama mencekal lenganku. "Itu bisa nanti, sekarang bantuin mama kalau mau makan. Cepetan!" Aku menghentakkan kaki kesal dan akhirnya menuruti mama dengan membantunya menyiapkan sarapan. . . . "Kenapa lo? Sudah bosen ngebabu di rumah? Hahaha." Tawa Gadis memenuhi kamarku. Kegiatanku memotong kuku terhenti untuk mematikan loudspeaker dan memakinya. "Berisik lo! Ada enggak buat gue? Berapa kek gajinya! Dari pada di rumah. Bukannya tenang abis resign dan enggak ketemu sama si Mak Lampir Juwita, eh malah stress sama teriakan mama Teti setiap hari di rumah. Gue mau kerja aja deh." Juwita adalah mantan atasanku di tempat kerja sebelumnya, yang juga tempat kerja Gadis sebelum dia resign empat bulan lalu. Rubah betina itu terkikik puas di seberang sana, membuatku menghembuskan napas dengan kasar untuk mengutarakan kekesalan. "Ada..ada, tenang dong, Mon! Tapi gue sama Risa aja udah mau resign lagi. Lo yakin masuk sini?" Aku memutar mata, yang tentu saja tidak terlihat oleh Gadis. "Kalian resign-nya nunggu gue pinter dulu dong. Lagian emang kenapa sih lo pada cabut - cabut kerjaan terus?" Aku membersihkan kuku - kuku yang berserakan. Gadis tertawa lagi. "Memang ada yang lebih parah dari si Mak Lampir Juwita di sana?" Tanyaku sengit. "Eehmm, gimana yaaa. Cerewet kayak Juwita sih enggak-" "Bagus dong!" Potongku cepat. "Tunggu dulu, wey! Lo main potong aja." Aku terkekeh seraya meminta maaf dan memintanya melanjutkan cerita. "Cerewet sih enggak, tapi sebaliknya, dingin parah. Uhmm gimana ya, dia jarang ngomong, tapi sekalinya ngomong itu bisa bikin lo ngurut d**a atau istighfar banyak - banyak biar lo gak ngelempar CPU ke kepalanya." Aku terbahak mendengar keluhannya. "Jangan ketawa lo, kena semprot baru tahu rasa!" "Hahaha, sorry, sorry. Satu orang saja kan yang begitu?" Gadis berdecak sebal. "Semua. Catet ya, se-mu-a!" Gadis memberi penekanan pada kata yang dia penggal per-suku kata. Membuatku memajukan bibir tak percaya, tapi pura - pura ber-ehm ria. Anggap aja, turut bersimpati dengan nasib Gadis di kantor barunya. "Lo yakin mau masuk sini? Kebetulan lagi butuh admin sih. Cuma admin ya, gaji UMR. Enggak ada lembur, lo tetap balik malam kalau kerjaan belum selesai. Lembur itu kalau pak bos kasih kerjaan tambahan di luar kerjaan lo." Aku berdecak tak sabar, "biarin lah. Batu loncatan aja, sambil nunggu lowongan di kantor Gavin." Gavin adalah gebetanku dari dulu dan sekarang, dia pernah mengajar kedua adik laki - lakiku belajar. Semacam guru les gitu saat dia masih kuliah. Dan dia juga penghuni kost di rumah kost kami. Tapi dia udah punya pacar, namanya Tami, dan entah kenapa dulu aku memberitahu Tami tentang lowongan di kantorku sebelumnya. Sehingga, saat Tami sudah bekerja satu kantor denganku, aku harus tersiksa setiap melihat Gavin mengantar atau menjemputnya pulang. Ditambah, bad attitude dari Tami yang membuat kami semua illfeel padanya. Terdengar ejekan dari mulut Gadis. "Lowongan di kantor atau di hatinya Gavin?" "Kalau bisa sih, enggak usah ngelamar ya. Minta dilamar aja-" Gadis memotong ucapanku yang berbalut harap. "Kalau Gavin cukup khilaf putusin ceweknya yang cantiknya parah dan nembak lo yang cuma ujung kuas make up-nya si Tami." "Monyong!" Caciku. Gadis terbahak, dia mengatakan akan mengabariku via w******p mengenai lowongan kerja di tempatnya sebelum menutup telepon. Lagi - lagi aku membuka profil i********: Tami yang bertebaran foto mesra mereka berdua. Huft! Gavin enggak punya i********:. Jadi, aku harus cukup puas men-stalking ceweknya. Sedih ya? Dan setiap aku mau move on dari menggebet Gavin, ada aja moment di mana tiba - tiba Gavin menghubungiku dan tiba - tiba komunikasi kami menjadi intens. Selalu. Aku tuh rapuh, semua tekad move on seketika luntur saat Gavin dengan manisnya bertanya, 'apakah aku ada di rumah?' Dan tidak lama dia akan berada di rumahku, entah ngobrol sama papa atau main bareng kedua adik - adikku. Dilema jones akut yang gagal move on dari pacar orang. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN