Dug dug dug.
"Tishaaaaaaaaaaaaaa. BANGUN! INI HARI PERTAMA KERJA KAN SAAAAAA." Dug dug dug. "Ini anak kebluk banget sih. Alarm segitu berisik kayak kentongan RT dia nggak bangun - bangun juga. PAH, TOLONG AMBILIN KUNCI CADANGAN KAMAR SI TISHA."
Suara - suara berisik di balik pintu kamar membuatku beringsut dari kasur. Kubuka pintu dan menahan langkah papa.
"Nggak usah, Tisha udah bangun." Sahutku dan kembali menutup pintu.
Mama masuk dengan kasar dan menarik kupingku. "Hayoo hayoo, mau naik kasur lagi kan kamu? Mandi. MANDI!" Mama menyeretku ke depan kamar mandi.
"Adooohh Mamaaaaa. Tisha punya kaki, bisa jalan sendiri."
"LAMA!" Mama memberikan handuk dan menyuruhku masuk kamar mandi dengan isyarat mata. Yang kujawab dengan kuapan ngantuk. "Mau dimandiin, hah?" kedua mata mama melotot.
Aku langsung menutup pintu kamar mandi dan pasrah membayangkan kasur, bantal dan selimut yang belum sempat kurapikan.
Adoohh, kenapa Gadis ngasih tahunya pake ke rumah sih?! Mama kan jadi tahu kalau hari ini aku pertama kali masuk di kantornya.
"Di bagian apa, Teh, kerja di kantor baru ini?" Ini papa yang tanya.
"Gajinya berapa?" Ini pertanyaan mama.
"Bosnya masih muda nggak?" Nah ini teh Nira.
"Liburnya banyak?" Kalau yang ini, pertanyaan tidak penting si bungsu.
Aku menghembuskan napas dan mulai menuangkan nasi uduk ke piringku. Tidak mempedulikan pertanyaan - pertanyaan kepo keluargaku.
"Kalau ditanya teh jawab!" Omel mama sembari menuangkan teh hangat untuk cintanya, papa.
Aku memanyunkan bibir dengan sengaja, mengundang tawa saudara - saudaraku yang lainnya.
.
.
.
Setelah memastikan motorku terparkir sempurna, aku pun melangkah masuk ke dalam kantor baru. Yap, kantor baru.
Wish me luck! Ucapku dalam hati pada diri sendiri.
Di mejanya, Gadis sedang menuntaskan sarapan. Dia anak kost memang, dari dulu sarapan di kantor adalah hal biasa baginya. Sementara Risa sedang merapikan riasan di sebelahnya.
"Gue kira lo datang jam sembilan." Ucap Gadis saat melihatku datang dengan canggung di antara tatapan beberapa orang yang baru kulihat.
Sebenarnya aku termasuk orang yang percaya diri di manapun, tapi karena ini kantor baru dan semua orang - orang yang sedang duduk bergerombol ini kuyakini adalah karyawan sini, mendadak aku menjadi canggung saat menyapa kedua temanku.
"Elo sih kasih tahu gue masuk hari ini di depan nyokap gue. Kan jadi dibangunin pagi - pagi buta gue." Aku bersungut - sungut begitu sampai di hadapan Gadis dan risa, lalu duduk saat Risa menyodorkan kursi.
Gadis terkikik jahil. Tidak lama, Risa memberitahu bahwa orang - orang yang sedang berkumpul itu sales yang akan briefing sebentar lagi sebelum ke lapangan.
"Mereka cuma datang ke kantor untuk briefing dan setoran. Kalau siang, cuma ada kita aja sama Amido. Ya kadang sama pak Tedjo kalau dia enggak kemana - mana." Terang Risa, aku manggut - manggut.
Seorang wanita yang kutebak usianya awal empat puluh tahunan datang dan menyapa para sales lalu tersenyum pada kami bertiga dan menunjukku.
"Admin baru?"
Gadis mengangguk, aku tersenyum ke arahnya.
"Oh. Gina." Dia mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri yang kujawab dengan nama depanku.
"Tapi dipanggil Lemon, Bu." Risa mengoreksi yang kuhadiahi tatapan sebal.
Bu Gina tertawa dan menuju mejanya tanpa memperpanjang soal namaku.
"Bu Gina itu Supervisor-nya sales." Bisik Risa, aku membulatkan bibir otomatis.
Selesai bu Gina mengajak para sales briefing dan berdoa, tepat jam sembilan Amido datang dan menyapa semua orang termasuk aku.
"Udah siap kerja, Mbak?" Tanyanya sambil mengeluarkan laptop.
Meja para admin di sini terletak berdekatan, tapi tidak cukup dekat untuk bergosip. Satu meja kosong yang kutahu adalah tempatku nanti, terletak di sebelah Gadis. Sementara Risa duduk di sebelah Amido yang mana berhadapan dengan meja kami.
Amido meminta Gadis untuk mengajakku berkeliling dan berkenalan dengan semua staf yang nantinya akan berhubungan denganku secara pekerjaan. Aku mengikuti Gadis ke ruangan lain yang diisi kurang lebih lima belas staf yang terdiri dari ; Kepala Administrasi, admin distribusi, admin keuangan penjualan, bagian pajak dan kasir.
Gadis berbisik tentang orang - orang yang menurutnya tidak nice. Ada Reza kepala Administrasi yang pendiam dan galak, lalu Fika, Ria dan Uci admin distribusi yang katanya julit. Ada lagi Dicky yang agak gemulai dan menatapku sinis saat aku hendak menjabat tangannya, lalu Oki yang langsung mengomentari rambutku dan bersikap ramah.
"Hati - hati sama Oki, dia suka incar anak baru. Yang terakhir dia incar Risa tapi nggak kena." Bisik Gadis lagi, aku mengangguk.
Dan setelah semua perkenalan itu, kami kembali ke bawah dan mendapati ruangan Pak Tedjo sudah terang benderang. Gadis mencolek bahuku.
"Itu bos kita udah datang." Gadis menghampiri Amido dan berbisik, lalu Amido berdiri dan masuk ke dalam ruangan Pak Tedjo.
Belum lama aku duduk di kursi, Amido keluar dan memanggiku.
"Mbak Tisha, sini."
Aku melirik Gadis yang mengangkat tangan memberi semangat. Dan Risa yang tersenyum mendukung. Aku menghampiri ruangan pak Tedjo, mengetuk sedikit dan membukanya.
"Ini Pak, staff klaim kita yang baru."
Amido memperkenalkanku pada sosok pria tampan, rupawan, jelmaan makhluk mitos yang sering diceritakan dalam n****+ - n****+ romansa tentang sosok pria idaman semua makhluk berjenis kelamin wanita. Pria itu menoleh, tanpa senyum dan mengulurkan tangan yang menggantung beberapa jenak karena saraf motorikku mendadak lumpuh akibat aura ketampanannya. Hingga Amido berdeham dan aku menyadari bahwa tidak ada perubahan pada wajahnya meski melihatku--yang kuyakini berlaku seperti perawan jomblo kesepian yang baru bertemu dengan pangeran tampan.
"Le--Letisha, Pak." Aku gagap menyebutkan nama sendiri.
Dia hanya mengangguk sekali dan kembali ke layar laptopnya.
"Minta Gadis kasih tahu Letisha tentang jobdesc-nya, Do. Juga, kenalkan dengan orang - orang principal yang berhubungan dengannya." Instruksi pak Tedjo pada Amido, yang dijawab pria itu dengan sigap.
"Ayo Mbak, saya kenalkan sama orang principal di lantai atas." Aku mengekor di belakang Amido sambil bertanya - tanya, apakah hatiku aman bekerja di bawah makhluk tampan dan rupawan di dalam sana?
.
.
.
"Lo nggak bilang kalau pak Tedjo itu ganteng banget." Kami sedang makan siang di rumah makan tidak jauh dari kantor.
"Kayaknya gue bilang deh, ganteng dan dingin." Gadis menyeruput tehnya.
"Dan irit ngomong tapi sekalinya ngomong, pedes." Lanjut Risa.
"Ada ya, orang ganteng banget gitu." Aku bergumam.
"Ganteng mana sama Gavin, Mon?" Tanya Gadis.
"Ganteng pak Tedjo lah, gue emang suka sama Gavin tapi nggak buta juga. Fiuh, udah taken ya?"
Gadis dan Risa kontan menoyor kepalaku. "Kalau masih single pun, emang bakalan mau sama lo!" Vonis Gadis dengan sadis, Risa terbahak.
"Ya siapa tahu ya kan, kalau dia masih single, gue pake jurus semar mesem aja biar dia mendadak bucin hehehe."
"Mimpi lo ketinggian!" Seru mereka berdua kompak.
Aku mencibir.
"Amido aja pepet, jomblo kayaknya." Usul Risa.
"Atau Reza sekalian. Dia juga masih jomblo." Gadis memberikan opsi lain.
"Bentar, bentar. Ini gue mau kerja apa mau cari jodoh sih?"
"Lha, kita mah kasih saran biar lo move on dari Gavin. Nggak sehat tahu naksir pacar orang kelamaan." Jawab Gadis dengan gaya sok bijak.
"Iya sih, tapi jangan satu kantor juga. Kalau kayak pak Tedjo mah dimaafin, kalau kayak yang lain. Maaf, maaf aja nih, mending melipir sebentar di Kemang, cuci mata cari esmud esmud kece."
Gadis memutar mata, Risa mendengus kasar.
"Eh ngomong - ngomong, nanti gue pulang jam berapa? Jangan malem - malem yak, gue bawa motor sendiri. Atut."
"Permulaan, lo balik jam lima aja. Kalau udah mulai running sendiri, ya se-selesainya kerjaan lo lah."
Aku manggut - manggut, jam setengah dua kami kembali ke kantor dan mendapati ruangan kami kosong. Menurut Gadis, pak Tedjo dan Amido makan siang bersama keluar dan konon kembali sekitar jam tiga atau empat sore.
Bos mah, bebas ya.
•••