Padang Rumput.

1186 Kata
Anindira dan Zia segera kembali ke rumah bersama Ruvi setelah perbincangan singkat mereka dengan Gavriel. Dia adalah remaja belia yang pernah menemui Anindira dan Halvir saat makan ikan di sungai. Tepat saat mereka tiba di rumah, makan siang telah terhidang dan siap untuk disantap, setelah selesai makan Zia mengajak Anindira ke padang rumput. Kali ini, Ezra pun ikut bersama mereka, tapi, yang mengantar sekarang adalah Koza dengan membawa serta anak-anaknya. Anindira terperangah dengan pemandangan padang rumput terhampar luas seperti lautan tak berujung. Bagai karpet hijau yang di gelar di lereng gunung dengan bordiran bunga indah warna-warni menonjol di sana-sini. Ratusan, tidak, ribuan Kupu-kupu menari-nari berputar-putar, menambah semarak. Sesekali, terlihat burung-burung kecil warna-warni beterbangan di atas kepala, suara mereka terdengar ramai tapi merdu di telinga. Semakin Anindira melihat semakin dia hanyut dengan suasana di sekitarnya. ''Bagaimana?... Indah bukan?!'' tanya Zia, ''Padang rumput ini akan terlihat indah saat musim panas tiba.'' Teguran Zia, membangunkan Anindira dari buaian lamunannya yang mengagumi pemandangan indah di hadapannya. ''Eum,'' angguk Anindira bahkan sampai berkali-kali. ''Indah... sangat indah,'' ujar Anindira dengan senyum lebar mengembang di bibirnya. Bibirnya bicara dengan senyum dan matanya hampir tak berkedip dengan pemandangan menakjubkan padang bunga luas nan indah dan sangat menakjubkan yang dia tidak bisa melihat ujungnya. ''Aku suka di sini… aku bahkan ingin tinggal di sini...'' ujar Anindira tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Matanya berbinar-binar, mulutnya terus melengkung menyunggingkan senyum, bahkan hidungnya seperti bunga di hadapannya ikut mekar mengembang, kembang kempis. ''Hahaha...'' tawa Koza memecah haru biru Anindira, ''Kau sangat menyukai tempat ini.'' Anindira menjawab Koza dengan anggukkan penuh semangat, membuat mereka kembali tertawa dengan kepolosan Anindira. ''Koza, aku akan duduk di sini bersama Zia dan Anindira. Kau mainlah bersama anak-anak!'' seru Ezra sambil meletakkan bokongnya untuk duduk. ''Eum,'' jawabnya singkat sambil mengusap kepala Ezra, kemudian dia pergi bermain ke sabana yang lebih luas lagi di depan sana bersama keempat anaknya. ''Anindira, ayo sini duduk!'' ajak Zia sambil menepuk-nepuk tanah beralas rumput di sebelahnya. ''Anindira pilihanmu bagus sekali'' ujar Ezra membuka pembicaraan. ''Hm?'' tanya Anindira tidak mengerti sambil memiringkan kepala menatap Ezra. ''Halvir,'' ujar Ezra menegaskan maksudnya, ''Menjadikannya pasanganmu, itu pilihan bagus. Anakku bodoh karena tidak menyukainya.' ''Ibu! Kenapa bilang begitu?'' tanya Zia bersungut merajuk karena dibilang bodoh oleh ibunya, ''Tapi, Anindira, kau hebat, bisa berinteraksi dengan Jaguar hitam itu. Banyak wanita tidak nyaman saat bicara dengannya, dia terkesan menyeramkan… begitu kata mereka,'' ujar Zia kembali melanjutkan dengan wajahnya yang sudah tidak lagi cemberut. ''Tapi, kau juga nyaman bicara bersamanya…'' sahut Anindira. ''Itu karena sejak bayi aku sudah mengenalnya, bagiku, dia sama seperti ayah-ayahku yang lain…'' jawab Zia acuh. ''Itu karena dia pintar memilih pria, tidak seperti dirimu,'' ujar Ezra menyela perbincangan mereka, sambil mencubit hidung Zia, membuat mulut Zia tambah manyun. ''Kalau begitu perempuan lain juga bodoh! Banyak yang takut dengannya,'' ujar Zia lantang. ''Bodoh!'' seru Ezra menjitak lembut kepala Zia, ''Mereka menginginkannya juga, tapi sayangnya Halvir tidak mempedulikannya.'' ''Memang apa yang salah dengan Kak Halvir? Dia baik dan menyenangkan, dia juga sangat kuat,'' ujar Anindira dengan wajah bangga. ''Hanya kau yang merasa begitu Anindira, tapi, mereka selalu gemetar ketakutan bahkan sebelum paman Halvir mulai bicara'' jawab Zia meledek. ''Tidak seperti itu... itu karena kau masih terlalu muda, kau tidak tahu apa-apa,'' sahut Ezra kembali menjitak Zia, ''Wanita-wanita itu amat menginginkan Halvir, tapi, masalahnya seperti kataku... bagaimana pun mereka mencoba mendekatinya, Halvir tetap saja acuh. Rasa malu karena merasa ditolak, dan juga aura Halvir yang selalu serius hingga terkesan gelap membuat mereka cepat menyerah... Tapi, tidak seperti mereka, Anindira, kau menaklukkan Jaguar hitam itu,'' lanjut Ezra dengan tulus bangga dengan keberanian Anindira. ''Sejujurnya, aku ingin Zia berpasangan dengan Halvir, tapi apa boleh buat, Halvir hanya menganggap Zia keponakannya. Begitu juga dengan Zia yang tidak pernah tertarik dengannya,'' lanjut Ezra, ucapannya barusan mengubah rona wajah Anindira jadi gelap, ''Jangan khawatir Anindira, dia sudah jadi milikmu, tidak mungkin bagi Zia atau wanita mana pun bisa mengubah keputusannya…'' jelas Ezra sambil mengusap kepala Anindira menenangkannya. Ezra bisa melihat kalau Anindira merasa cemburu dan mulai cemas dengan pemikiran yang tidak-tidak. ''Bibi yakin sekali, bagaimana jika di Kerajaan Singa dia bertemu wanita yang sangat cantik,'' jawab Anindira sambil meletakkan dagu di kedua lututnya yang tertekuk. Posisi itu membuat bibirnya tambah manyun hingga membuat Ezra tertawa. ''Itu sangat jarang terjadi Anindira… walau kalian belum menjadi pasangan, tapi, saat pria telah menetapkan target, bahkan jika mereka mati sekalipun, sangat jarang bagi mereka mengubah keputusan...'' ujar Ezra serius, ''Apalagi... Kalian berdua terikat *Imprint satu sama lain, hal itu sama seperti *Ikatan pasangan, itu tidak bisa di patahkan,'' lanjut Ezra lagi, ''Pasangan-pasanganku... Kau tahu, Ruvi. Butuh waktu sepuluh tahun untuknya, supaya bisa mendapat izin dari Mischa untuk jadi pasanganku. Saat itu, Ruvi masih di peringkat *Berlian, sedang Mischa sudah pada peringkat *Amethyst. Sangat langka seseorang dengan peringkat *Berlian berani menantang seorang *Amethyst untuk mendapatkan wanita. Karena hal itulah, aku mulai melirik Ruvi, berapa kali pun dia babak belur dia akan kembali merayuku…'' ujar Ezra dengan semangat menjelaskan dengan wajahnya berseri-seri. ''Bu, kau senang,'' ujar Zia mencibir Ezra dengan wajah meledek pada ibunya yang sedang berseri-seri mengingat masa lalu. ''Kenapa?!'' seru Ezra melirik Zia, ''Kau iri denganku?'' tanya Ezra sambil menaik-turunkan alisnya, menggoda anak perempuannya, ''Itu sebabnya aku selalu memberitahumu untuk mencari pria yang kuat…'' ujar Ezra melanjutkan, malah makin senang dengan keirian Zia. ''Dengar!'' seru Ezra langsung mengubah ekspresinya jadi serius. ''Kita para wanita punya kelebihan menjadi prioritas utama di lindungi dan di perhatikan apa yang jadi kebutuhan kita, bukan hanya oleh pasangan kita tapi juga seluruh pria di Desa. Wanita sangat berharga, tanpa ada wanita sebuah Klan bisa musnah, itu terjadi pada sebagian besar Klan Herbivora dan menjadi trauma untuk Klan-klan lain yang masih bertahan. Bahkan Klan Predator seperti tikus pun sudah musnah... Tapi ingatlah walau mereka tampak seperti tunduk pada kita, tetap waspada pada mereka, para pria tidak berubah, mereka tetap makhluk egois dan sombong, mereka tidak akan tunduk pada yang lebih lemah dari mereka, apalagi kita hanya wanita... Jadi jangan pernah menekan para pria, mereka tidak akan sungkan meski kita adalah pasangannya, mereka akan lebih memilih untuk 'memakan' kita dari pada dihina, jadi tetap hormati mereka!'' seru Ezra panjang lebar menjelaskan sambil memberi peringatan keras. ''Baik,'' Zia dan Anindira menjawab serempak ikut serius menanggapi Ezra. Mereka berdua tahu, kalau Ezra tidak main-main dengan kata-katanya. Karena itu, mereka menyimak dan merenungkan baik-baik semua nasihat Ezra barusan. Ezra yang sudah sarat pengalaman memberikan sarannya pada dua remaja wanita yang sebentar lagi akan segera membangun rumah tangganya sendiri. Dia membagikan pengalamannya dan juga apa yang diketahuinya dari wanita-wanita yang lebih senior darinya. ''Eum... Bibi apa maksudnya *Berlian, *Amethyst? Aku tidak mengerti'' tanya Anindira. ''Kau tidak tahu?!'' seru Ezra heran, ''Sungguh kau tidak tahu?'' tanya Ezra lagi, dia masih bingung dan melihat ke arah Zia meminta penjelasan. ''Ah itu juga bu, dia tidak tahu apapun,'' jawab Zia. ''Benarkah?!... Kau tidak tahu apa pun?'' tanya Ezra terkejut mendengarnya. ''Desaku diserang dan aku di bawa ke sana kemari oleh kawananku akhirnya masuk ke hutan dan terpisah, lalu aku di temukan oleh Kak Halvir. Orang tuaku belum sempat memberitahuku apa-apa...'' ujar Anindira menjawab asal-asalan tapi menyesuaikan beberapa ceritanya seperti beberapa hal yang dilakukan Hans, agar tidak terlalu menarik perhatian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN