Gavriel

1029 Kata
Zia meminjamkan mantel dan sepatu miliknya, karena tubuh Anindira sedikit lebih pendek dari Zia jadi pakaian dan sepatunya cukup untuk dipakai olehnya. Ruvi hanya menggendong Zia, karena tidak pantas bagi Ruvi menggendong Anindira yang wanita milik pria lain, kecuali terpaksa. Beberapa waktu kemudian mereka sampai di sungai, Ruvi cukup terkejut dengan ketahanan fisik Anindira. Dia mampu berjalan tanpa istirahat selama beberapa jam, walau dia harus mengimbangi langkah kecil Anindira. Bagi Ruvi, untuk seorang wanita, Anindira cukup kuat. Anindira terlihat sangat santai, karena hal itu Ruvi mulai memikirkan kembali kata-kata mereka tadi di rumah. ''Anindira... Apa semua wanita di desamu sama sepertimu?'' tanya Ruvi yang penasaran dan ingin tahu lebih jauh. ''Eum... Maksudnya?'' tanya Anindira bingung dengan pertanyaan Ruvi. ''Maksudku tubuh mereka, fisik. Eum, apa mereka sama kuatnya sepertimu?'' tanya Ruvi polos, dia dengan serius menanyakannya begitu. ''Kuat?!... Siapa?... Aku?!'' seru Anindira bertanya dengan kaget, ''Tidak paman, tidak begitu... Biasa saja…'' Anindira menjawab dengan malu-malu. ''Tidak!'' seru Ruvi menyanggah tegas, ''Kau kuat, bisa berjalan sejauh itu. Tapi kau, terlihat biasa saja. Kau justru tampak menikmatinya…'' ujar Ruvi meyakinkan pendapatnya. ''Tapi, paman, berjalan seperti itu hal biasa untukku, begitu juga dengan keluargaku atau pun beberapa orang yang lain di tempatku... Jadi menurutku itu biasa saja,'' jelas Anindira polos. Wanita di dunia ini sebetulnya punya fisik lebih kuat dari wanita dunia modern, hanya saja, dengan kemampuan para pria yang di atas normal, tentu saja wanita terkesan sangat lemah. Karena hal itu, wanita menjadi terlalu dimanjakan. Karena hal itu juga, akhirnya, wanita sulit atau nyaris tidak berkesempatan untuk menunjukkan sisi tangguh mereka. ''Itu hebat, jadi kalian terbiasa seperti itu…'' ucap Ruvi dengan wajah kagum, ''Tadi, Zia juga bilang, kamu biasa bangun pagi.'' ''Ya, tidur cukup, kemudian bangun pagi. Itu bagus untuk kesehatan fisik dan mental,'' jawab Anindira percaya diri dengan wajah bangga. Ruvi dan Zia sedikit bingung dengan ucapan Anindira, tapi mereka juga seperti terhipnotis dengan beberapa penjelasan Anindira tentang beberapa manfaat lain dari bangun pagi dan juga mandi pagi menggunakan air yang segar. ''Eum... paman, boleh aku mandi?'' tanya Anindira mencoba keberuntungannya setelah menjelaskan beberapa hal, ''Ini sudah siang, air juga tidak akan terlalu dingin,'' lanjut Anindira dengan wajah memelas. Ruvi memikirkannya, dia sedikit bingung, karena di matanya Anindira itu kuat. Tapi, wanita yang sakit karena kedinginan itu juga kenyataan. ''Maaf Anindira, aku tidak bisa mengizinkannya, mengertilah!'' seru Ruvi menjawab dengan wajah memelas, ''Halvir menitipkanmu pada kami untuk menjagamu, aku tidak boleh lengah, jadi bersabarlah dan tunggu Halvir kembali!'' seru Ruvi menambahkan. Ruvi dengan sabar dan lembut, tapi juga tegas, menjelaskan pada Anindira. ''Baik paman, tapi, aku hanya akan mencuci wajahku saja, tidak apa-apakah, seperti itu?'' tanya Anindira membujuk Ruvi dengan wajah memelas. ''Baiklah, hanya cuci muka, tidak mandi!'' jawab Ruvi sambil mengusap kepalanya. Anindira segera pergi ke sungai, dia berkumur-kumur, menggosok-gosok giginya dengan rumput, dan mencuci wajahnya, sedikit menyikat rambutnya dengan jari-jari tangan yang dibasahi. ''Kalian tidak mau cuci muka juga?!'' seru Anindira memanggil mereka melambaikan tangan di pinggir sungai, ''Air ini segar sekali... Zia, ini menyenangkan.’’ Anindira sangat senang walau hanya mencuci mukanya. Tapi, bisa menyegarkan dirinya, setelah sedikit beradu argumen, sudah cukup membuatnya berpuas diri. Anindira menyadari kalau dia hanya menumpang dan bergantung hidup pada mereka, dia tidak mau menjadi lebih tidak tahu malu lagi dengan menjadi anak nakal yang tidak tahu diri. Dia meyakinkan dirinya, bahwa dia hanya perlu sedikit bersabar menunggu Halvir pulang, ''Hanya dua minggu, tidak akan lama,'' begitu pikir Anindira menyemangati dirinya sendiri. Melihat Anindira yang sangat senang saat memasuki air dan terlihat sangat segar membuat Zia iri, dia melangkah maju ingin mencobanya, tapi, baru memasukkan jari ke air Zia sudah terkejut dengan dinginnya air. ''Aah... Tidak!... Itu dingin, Anindira...'' seru Zia segera melompat menjauh dari sungai. ''Hahaha...'' Anindira tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Zia yang masih menampakkan wajah panik. ''Bagaimana kau bisa tahan?'' tanya Zia kemudian, tapi dia juga sangat penasaran karena melihat Anindira begitu menikmatinya. ''Itu terjadi karena kau tidak terbiasa,'' ledek Anindira pada Zia. ''Anindira kau tidak sedang membohongiku kan?!'' seru Zia bertanya dengan wajah bersungut, ''Apa benar dengan begini bisa menjaga penampilan kita'' seru Zia bertanya dengan merajuk. ''Tentu!'' seru Anindira menjawab dengan yakin, ''Untuk apa aku membohongimu?... Buktinya bisa kau lihat...'' ujar Anindira merentangkan tangan menunjukkan dirinya. ''Baiklah-baiklah...'' ujar Ruvi menengahi perdebatan dua remaja belia di pinggir sungai, ''Apa kalian masih ingin bermain-main?'' tanya Ruvi terkekeh, dia ikut senang melihat dua anak perempuan yang bahagia, ''Sebentar lagi waktunya makan, ayo kita kembali!'' seru Ruvi mengingatkan mereka. ''Baik!'' seru mereka menjawab serempak, masih dengan senyum bahagia tergambar jelas di wajah mereka karena puas bermain air. ''Paman, sambil jalan boleh aku memetik sayuran liar?'' tanya Anindira. ''Sayuran liar?... Untuk apa?'' tanya Ruvi. ''Untuk dimakan tentunya,'' jawab Anindira dengan wajah ceria, ''Aku biasa memakannya bersama daging, Kak Halvir mengizinkannya... dia bahkan membantuku mencari sayuran liar.'' ''Tentu!'' seru Ruvi menjawab dengan tersenyum, ''Tidak apa apa, aku tahu ada beberapa klan yang dengan rutin mengkonsumsi sayuran juga.'' ''Terima kasih,'' jawab Anindira dengan wajah semringah. ''Ruvi, pagi...'' Tiba tiba terdengar suara seorang pemuda menyapa Ruvi, dia membawa seekor Rusa di bahunya, jelas terlihat dia baru kembali dari berburu. ''Zia, kau bangun pagi hari ini,'' sapa pemuda itu pada Zia. ''Eum,'' jawab Zia singkat tanpa melihatnya, dia malas menjawab, tapi dia harus, karena etika. ''Jadi, kamu suka makan sayuran?'' tanya remaja muda itu kemudian, dia melirik Anindira, ''Aku Gavriel dari Klan Singa…'' ujarnya lagi memperkenalkan diri, ''Hari ini kau tidak bersama Halvir?'' tanyanya dengan ekspresi ceria. ''Gavriel, Jaga jarakmu!'' seru Ruvi memberi peringatan. Aura yang di perlihatkan Ruvi berbeda dengan saat dia bicara dengan Anindira dan Zia. Gavriel mundur beberapa langkah dengan segera, tapi tetap tegap dan menatap Anindira. ''Baik,'' jawab Gavriel tegas, ''Tapi, aku akan tetap bicara dengannya, bolehkan?!'' seru Gavriel bertanya dengan sangat berani tapi tetap sopan. Meski tampak percaya diri, sebagai remaja yang masih belia, dia berusaha keras menahan tekanan intimidasi Ruvi yang seorang Amethyst. ''Selama dua minggu, keluarga Ezra akan jadi wali sementaranya, jadi sebaiknya kau jaga sikap!'' seru Ruvi dengan tegas kembali memperingatkan, ''Sampai Halvir kembali, jangan melakukan tindakan berlebihan, kalau kau tidak ingin berurusan dengan Mischa, apalagi Halvir!'' ''Aku tahu,'' ujar Gavriel menjawab, ''Aku juga tidak ingin bermasalah dengan Mischa atau Halvir.’’ Pemuda itu, dia tulus menerima nasihat baik Ruvi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN