Pengagum Anindira

1266 Kata
Ezra masih merasa heran dan bingung, sebagai seorang yang sudah sangat dewasa dia sebetulnya bisa melihat kebohongan Anindira. Tapi, dia tidak mau mendesaknya, dia bisa mengerti jika Anindira baru mengenalnya. Ezra bersikap lunak, dia tidak mau Anindira semakin mewaspadainya. Untuk kali ini Ezra akan membiarkan kebohongan Anindira. Ezra yakin, suatu saat setelah Anindira bisa mempercayainya, maka dia sendiri yang akan menceritakannya tanpa diminta. Naluri Ezra sebagai seorang wanita, seorang ibu, dan juga sebagai seorang wanita yang jadi pendamping pemimpin desa, mengatakan kalau Anindira adalah gadis baik. ''Hm... mungkin, inilah yang dinamakan pasangan sejati yang sudah ditentukan,'' ujar Ezra sambil tersenyum penuh arti, membuat dua orang remaja wanita memiringkan kepala melihat Ezra. ''Anindira dengar! Di desa ini ada enam Klan, tapi hanya Halvir satu-satunya yang berada di peringkat *Safir, itu pun di usia yang masih sangat muda. Halvir memasuki peringkat *Safir sepuluh tahun yang lalu, membuat desa gempar karena dia baru berusia tiga puluh lima tahun. Dengan naiknya Halvir ke *Safir mengukuhkan kedudukannya sebagai seorang pemimpin tertinggi, banyak tetua mendesaknya begitu juga Mischa. Tapi, Halvir sama sekali tidak tertarik dengan semua hal itu. Sejak dia masih muda Halvir sudah memiliki kepribadian yang sulit, tapi, bukan berarti dia tidak bisa diajak bicara. Hanya saja aura kuat di sekitarnya memang membuat orang merasa tidak nyaman dan merasa terintimidasi, apalagi bagi yang levelnya lebih rendah. Sejujurnya kami sadar hal itu menjadi salah satu penyebab yang membuat Halvir malah semakin menutup dirinya,'' ungkap Ezra dengan ekspresi teduh. Anindira mendengar dengan serius karena itu semua tentang Halvir, Ezra pun menambahkan menjelaskan tentang 'apa' dan 'bagaimana' *peringkat level kekuatan Manusia Buas dan bagaimana mendapatkannya. Semakin dia tahu, semakin mata Anindira berbinar-binar, menambah kekagumannya pada Halvir. ''Itu sebabnya Halvir adalah pilihan terbaik, dia telah mengakuimu sebagai calon pasangannya. Anindira, wanita akan dalam bahaya jika pasangannya lemah,'' ujar Ezra tulus memberikan ucapan selamat untuk Anindira karena Halvir memilihnya. Ezra kembali menjelaskan betapa sulitnya sebuah rumah tangga yang ada wanita di dalamnya, karena jika pria di keluarga itu lemah wanita akan dengan mudah diambil paksa dari keluarganya. Belum lagi jika ada invasi mendadak dari desa yang kehilangan semua wanitanya atau dari Klan perusak yang suka menjarah Desa dan merampok wanita. Bukan hanya itu, seorang pria juga harus cukup kuat untuk bisa masuk Hutan Larangan dan mengambil *Amber, setiap rumah tangga dengan wanita di dalamnya harus punya cukup *Amber, itu mutlak harus ada untuk mempertahankan kondisi tubuh wanita yang lemah. ''Itu sebabnya Anindira, kami paham dengan keputusan Halvir, dia sedang di kejar waktu... Bukan hanya kebutuhan pakaianmu, makanan persiapan musim dingin, dan *Amber. Itu semua harus segera di sediakan olehnya sebelum masuk musim dingin. Kau mengerti sekarang?'' tanya Ezra menambahkan kata-katanya sambil mengusap rambut Anindira. Anindira mendengarkan dengan serius, dia akhirnya menyadari dan bisa memahaminya, betapa sulitnya hidup di dunia ini. Di dunia ini menjadi kuat adalah mutlak, dan Anindira sangat bersyukur pria yang mendeklarasikan diri untuk jadi pasangannya adalah Halvir, pria terkuat di desa. Mereka terus berbicara dan bercanda, bermain-main di padang rumput sampai hampir tiba waktu makan berikutnya. ** Sebelum pulang untuk makan, mereka memutuskan untuk pergi ke sungai terlebih dahulu agar bisa membersihkan diri setelah puas bermain-main di padang rumput. ''Ah! Anindira kau basah kuyup,'' teriak Zia. ''Hehehe... Tidak apa-apa, ini menyegarkan,'' jawab Anindira, dia puas bisa mandi. ''Kau akan sakit jika berbasah-basahan begitu... Ayo cepat kembali dan keringkan dirimu!'' seru Koza, ''Kami akan membuatkanmu air hangat dan mandi di rumah.'' Koza jadi sangat khawatir melihat tubuh Anindira yang basah kuyup. ''Jangan khawatir paman!'' seru Anindira menjawab, ''Di tempatku, kami bahkan sering bermain hujan, ini sangat menyenangkan,'' ujar Anindira melanjutkan dengan ekspresi sumringah karena hatinya sedang sangat bergembira. ***** ''Ini untukmu,'' ujar Gavriel Gavriel datang menghampiri Anindira dan menyerahkan setumpuk sayuran liar dan juga sekantong buah-buahan pada Anindira yang sedang mengeringkan diri di depan api unggun bersama Zia dan Ezra. ''Kau sangat menyukai sayuran dan buah, aku akan mencari lagi untukmu besok…'' ujar Gavriel melanjutkan dengan kikuk, segera setelahnya, dia langsung pergi begitu saja, dengan wajah memerah. ''Ada apa dengannya? Datang dan pergi semaunya sendiri, tiba-tiba menyerahkan makanan?!'' seru Anindira bertanya setelah melirik Ezra dan Zia dengan wajah bingung. Zia hanya menjawab Anindira dengan mengedikkan pundaknya dengan wajah yang juga heran. ''Hehehe...'' Ezra tertawa geli sendirian, melihat kepolosan Anindira, begitu juga Zia yang sama bodohnya. Mereka yang duduk bersama sambil menunggu makan disiapkan melihat ke arah Ezra. Di sela-sela itu, Mischa mengusap lembut kepala Ezra dan mereka malah tertawa geli berdua, membuat yang lain sekarang fokus melihat mereka berdua dengan tatapan bingung. ''Ayah, ibu ada apa?'' tanya Zia, ''Kenapa kalian bersenang-senang sendirian,'' ujar Zia yang kesal karena merasa ditinggalkan. ''Ibumu teringat Kenangan lama,'' jawab Mischa kemudian duduk di samping Ezra dan memeluknya, ''Apa itu?'' tanya Zia penasaran, begitu juga dengan ketiga pasangan Ezra yang masih muda. ''Sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang pemuda dari peringkat *Berlian menantang pria dari peringkat *Amethyst. Dia dengan sangat berani tanpa takut mati terus mendekati ibumu… sama seperti yang dilakukan Gavriel tadi,'' jelas Mischa sambil tertawa. Pasangan-pasangan Ezra yang telah paham siapa yang dimaksud, mereka melirik Ruvi yang sudah memerah wajahnya. ''Tapi, aku berhasil mendapatkan Ezra,'' balasnya bangga menyembunyikan rasa malunya. ''Eum!' 'seru Ezra mengangguk, ''Setelah sepuluh tahun,'' ujar Ezra melanjutkan sambil meledek, membuat wajah Ruvi semakin merah. ''Lalu, bagaimana dengan Gavriel?'' tanya Axel, ''Lawannya *Safir, apa dia tidak bisa mencari target lebih mudah?'' tanya Kaj juga ikut bicara, ''Bagaimana dia akan menaklukkan Halvir?'' tanya Koza menambahkan, dia sedikit bersimpati pada Gavriel. ''Hm... Ruvi butuh waktu sepuluh tahun untuk mendapatkan persetujuan Mischa, akan bertahan berapa lama 'dia'?'' tanya Kaj sambil menyeringai, ''Pasti sulit mencairkan 'benteng es' itu'' ujar Axel menambahkan. ''Hei!... Kalian sedang membandingkan aku sekarang?!'' seru Mischa kesal, membayangkan pemikiran para juniornya, ‘’Bukankah kalian juga sama saja. Kalian hanya berlian muda tapi berani menantang dua *Amethyst.’’ ''Hahaha...'' tawa mereka meledak bersama-sama. ''Mungkin butuh waktu, tapi pasti bisa,'' ujar Ruvi menyela di antara tawa, ''Aku tidak terlalu mengenalnya, tapi aku terkesan dengan keberaniannya. Sekarang, kita hanya perlu tahu seberapa gigih dia…'' ujar Ruvi melanjutkan sambil tersenyum bangga. ''Aku tahu, lagi pula dia masih sangat belia, hanya butuh mengasahnya saja,'' ujar Mischa menanggapi Ruvi. Ruvi, Koza, Axel, dan Kaj. Tentu mereka semua memahami Gavriel, mereka seperti melihat dirinya di masa lalu. Ruvi sedikit banyak mengerti, tujuan awal Gavriel bukanlah Anindira. Tapi, Halvir, yang secara tidak langsung telah membuatnya tertarik pada Anindira. Awalnya adalah sebuah kekaguman dari remaja-remaja muda yang iri sekaligus bangga pada kekuatan yang dimiliki oleh panutan mereka. Ruvi bisa melihatnya, Gavriel mengagumi sosok seorang Halvir, sama seperti Ruvi yang mengagumi sosok seorang Mischa. ''Anindira! Kau mendapat dua pengagum…'' ujar Zia masuk dalam pembicaraan, ''Menarik... Kau pasti senang,'' ujar Zia melanjutkan sambil tersenyum. ''Ah! Tidak, itu…'' jawab Anindira gugup, dia tersipu malu tidak tahu bagaimana harus menjawab. ''Gavriel cukup tampan... Tapi, dia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan paman Halvir,'' ujar Zia menanggapi kegugupan Anindira. ''Gavriel hanya masih sangat muda…'' ujar Mischa memandangnya dari sisi orang tua dan juga Kepala Desa yang bijaksana. ''Suatu saat nanti, dia pasti akan jadi pemuda tangguh,'' ujar Ruvi ikut menimpali, dia setuju dengan pendapat Mischa. Anindira hanya bisa melihat mereka dengan wajah bingung dan tersipu, dia tidak tahu harus menanggapi apa tentang semua ucapan mereka yang masih di luar pemahamannya. ''Poliandri di dunia ini, apa aku akan terbiasa?’’ tanya Anindira di dalam hatinya, ''Haruskah aku melakukannya?!'' seru Anindira bertanya pada dirinya sendiri, ''Aku masih tidak bisa menerimanya... Apa yang akan dikatakan keluargaku? Mereka akan memarahiku, itu pasti!'' pikir Anindira bergumam di dalam hatinya. Makan-makan berlangsung ramai dan meriah seperti biasa, malam semakin larut masing-masing mereka telah masuk ke alam mimpi dan sekali lagi pagi kembali datang. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN