Izin untuk mandi

961 Kata
Bab 025 Izin untuk mandi Matahari masih tampak semburat warna merahnya karena baru saja menunjukkan diri, tapi Anindira sudah membuka matanya. Biasanya dia akan bermalas-malasan dalam dekapan Halvir, tapi kali ini dia tidak bisa. Dia bangun dan membuka jendela, udara sejuk yang dingin segera menerpa wajahnya membuatnya menggigil. Tapi, dia tidak menutup jendela dan malah makin menikmati pemandangan pagi. Perlahan matahari terus naik dan mulai memancarkan panasnya, Zia yang sempat menutupi seluruh tubuhnya saat Anindira baru membuka jendela, kini mulai membuka selimut. Perlahan, dia pun bangun lalu duduk disisi tempat tidur. ''Apa kau bangun dari tadi?'' tanya Zia, yang masih setengah sadar dan menggosok-gosok matanya. ''Iya,'' jawab Anindira sambil kembali melihat keluar dari jendela rumah Zia. ''Kenapa pagi-pagi sudah bangun?'' tanya Zia mengeluh, kemudian berbalik membelakangi sinar matahari yang masuk melalui jendela, ''Kau bisa tidur lagi, bangun nanti saat waktu makan…'' lanjut Zia dengan malas sambil menaikkan selimut menutupi kepalanya. ''Saat makan?!'' seru Anindira terperanjat, ''Itu berarti saat hampir tengah hari…'' lanjutnya dengan dahi Anindira mengernyit mendengar ucapan Zia kemudian segera menghampiri Zia di tempat tidurnya. ''Eum... ini masih terlalu pagi,'' jawab Zia yang tenggelam dalam balutan selimut. ''Kau tidak mandi pagi?'' tanya Anindira setelah menepuk bahu Zia. ''Tidak,'' jawab Zia sambil menggelengkan kepala di dalam selimutnya, ''Nanti kalau sudah terasa panas baru aku akan mandi.’’ ''Zia!'' panggil Anindira merengek, ''Itu tidak baik,'' sambil mencoba membuka selimut Zia. ''Apanya?'' tanya Zia dengan raut wajah kesal karena waktu tidurnya di ganggu. ''Kebiasaanmu!'' seru Anindira mendengus kesal membalas Zia, ''Ayo bangun!'' lanjutnya lagi sambil menggoyangkan tubuh Zia. Zia yang masih setengah mengantuk bingung dengan ucapan Anindira, melihat Zia yang masih belum sepenuhnya sadar, Anindira menepuk-nepuk ringan wajah Zia agar ruhnya segera berkumpul kembali. ''Hei, ayo bangun!'' seru Anindira memerintah dengan tegas tapi tawa terlihat dari wajahnya, ''Ayo, kita segarkan diri!'' ajak Anindira. Zia memaksakan diri bangun sambil mendesah terlihat jelas di wajahnya dia malas. ''Kau bilang ingin penampilanmu sepertiku,'' ujar Anindira membujuk, ''Ayo yang rajin! Jangan malas!'' seru Anindira lagi merayunya agar segera sadar. ''Apa hubungannya dengan ini?'' tanya Zia merengek dengan raut wajah kesal, karena malas bangun pagi pagi, dia tidak terbiasa. ''Tentu saja berhubungan!'' seru Anindira mendekatkan wajahnya pada Zia, ''Makanya, ayo bangun!'' seru Anindira lagi dengan serius menatap Zia, ''Kita segarkan diri, agar kau bisa dengan jelas mendengar penjelasanku…'' lanjut Anindira membujuk Zia sambil berusaha mengangkatnya berdiri. ''Uuhh...'' desah Zia mengernyitkan dahi menatap Anindira, ''Baiklah…'' jawab Zia menyerah dengan bujukan Anindira yang keras kepala walau Zia sebenarnya masih malas. ''Ayah!'' panggil Zia, ''Ayah!'' panggil Zia lagi karena beberapa saat menunggu tidak ada yang datang. ''Apa kau ada?'' tanya Zia melanjutkan panggilannya, sambil melangkahkan kaki keluar rumah. Beberapa saat kemudian muncul Ruvi yang turun menemui mereka berdua. ''Ada apa Zia?'' tanya Ruvi sambil menepuk lembut kepala Zia, ''Mischa sedang pergi berburu,'' lanjut Ruvi sambil mengusap kepala Zia. ''Ah! Ayah Ruvi'' sapa Zia padanya sambil tersenyum, ''Bantu kami turun dan temani ke sungai, boleh?'' tanya Zia kemudian. ''Tapi, ini masih pagi Zia, mau apa ke sungai?'' tanya Ruvi bingung dengan permintaan Zia. ''Mau mandi,'' jawab Zia polos. ''Mandi?!'' seru Ruvi membeo dengan wajah heran, ''Ini masih sangat pagi kau akan kedinginan…'' lanjut Ruvi kemudian. ''Tapi ,aku ingin seperti Anindira, dia punya kulit bagus…'' jawab Zia merengek dengan gaya tipikal khas anak gadis yang sedang bermanja pada ayahnya. ''Tidak boleh!'' seru Ruvi tegas, ''Kau bisa sakit nanti,'' lanjut Ruvi melarang. ''Anindira tidak apa-apa…'' ujar Zia menjawab dengan hati-hati, ''Dia sehat, dia punya kulit bagus dan rambutnya sama seperti kalian para pria, tidak sepertiku bergumpal,'' jelas Zia sambil membuat wajah memelas supaya di izinkan. Karena mereka sudah punya pasangan, mereka tidak pernah memperhatikan wanita lain. Jadi, tidak heran jika para pasangan Ezra tidak menyadarinya, kalau Anindira sedikit berbeda tampilan fisiknya dengan kebanyakan wanita yang ada di dunia ini. Saat Zia mulai merengek dan menjelaskan, baru Ruvi bisa melihat dengan lebih jelas, kalau yang dikatakan Zia betul. Tampilan fisik Anindira, walau dilihat bagaimanapun, tetap jauh lebih baik dari wanita pada umumnya. ''Eum...'' Ruvi berpikir sambil berlagak memicingkan matanya memperhatikan Anindira, ''Anindira, apa itu betul?'' tanya Ruvi menyelidik. ''Iya,'' angguk Anindira menjawab, ''Itu yang di ajarkan padaku…'' lanjutnya lagi dengan yakin. ''Tapi, wanita bisa sakit karena kedinginan,'' ujar Ruvi masih menolak dengan memberikan pendapatnya secara halus pada Anindira. ''Tapi, paman, di tempatku semua dididik seperti ini. Bukan hanya penampilan kami yang jadi lebih baik, kesehatan kami juga akan terjaga,'' jelas Anindira tidak mau kalah. ''Tapi, Anindira... Kedinginan adalah hal yang berbahaya bagi wanita. Tidak sedikit wanita yang mati karena sakit setelah kedinginan. Aku tidak mau itu terjadi, kalian wanita bertubuh lemah, aku tidak mau ambil risiko,'' jawab Ruvi dengan jelas menolak argumen Anindira. Anindira menyadari kekhawatiran Ruvi, dia tidak berani mendesak terlalu jauh, karena Anindira juga tahu pengetahuan di dunia ini masih terlalu primitif. Akhirnya Anindira dan Zia terdiam pasrah, tidak berdebat lagi dengan Ruvi. ''Baik paman, maaf...'' Anindira menjawab sambil menunduk menghormati Ruvi yang lebih tua darinya. ''Eum… begini saja… baiklah, tidak apa-apa, kalian boleh pergi ke sungai. Tapi, aku akan mengawasi kalian,'' ujar Ruvi tergerak melihat betapa sopannya Anindira. Ruvi juga merasa senang, karena Zia terlihat sangat akrab dan bisa menerima Anindira. Melihat dua gadis remaja bergaul mesra dia tidak sampai hati menolak keinginan mereka. ''Anindira apa kau terbiasa melakukannya?'' tanya Ruvi sambil mengusap kepala Anindira ''Iya,'' angguk Anindira sambil tersenyum, ''Nenek dan ibuku juga melakukannya.'' ''Aku akan mengantar kalian ke sungai, tapi tidak untuk mandi... Aku masih tidak mengizinkan kalian mandi!'' seru Ruvi serius memperingatkan mereka berdua, ''Bawa mantel dan sepatu! Aku takut kalian kedinginan.'' ''BAIK…'' mereka berdua menjawab serempak dengan gembira. Ruvi dibuat gemas, dia menggelengkan kepala melihat kelakuan lucu dua anak perempuan di hadapannya. ''Kau sebegitu bahagianya Zia dapat teman baru…'' ujar Ruvi dalam hatinya memandang satu-satunya anak perempuan pasangannya. ''Terima kasih Anindira, rumah ini jadi lebih meriah sekarang.''
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN