"Lo gak ada tempat lain yang lebih jauh gitu, kak?"
Ia nyengir usai melontarkan pertanyaan itu karena tangan itu hendak melayang. Sebelum kena tamparan nih, ia kabur dulu. Ia biarkan saja kakak sepupunya menginap di apartemennya sementara ia harus buru-buru ke kampus. Ia memarkirkan mobilnya di parkiran fakultas begitu sampai. Kemudian berjalan masuk ke dalamnya dengan santai. Dari kejauhan, ia melihat ada dua orang yang tumben-tumbennya nongkrong di fakultasnya. Ooh kalau ia perhatikan lagi tampaknya sih bertemu dengan beberapa anak BEM lain yang ia kenal. Ia memilih untuk memalingkan wajah disaat sang mantan, yeah salah satu di antara mereka memang mantannya. Siapa? Apa masih perlu ditanya namanya?
Ia melenggang begitu saja. Nayla tentu saja melihatnya. Ada perasaan menyesal yang melingkupi hatinya. Padahal dulu hubungannya dengan Aidan itu baik-baik saja. Hanya karena jarang bertemu dan merasa kalau Aidan kurang perhatian, ia memcari lelaki lain. Begitu didekati lelaki lain, ia memutuskan Aidan. Begitu mendapatkan lelaki itu, seiring berjalannya waktu, ternyata tidak membahagiakannya sama sekali. Justru menyedihkan. Mau pergi tapi tak bisa. Ia terjebak dalam hubungan yang salah dan tak bisa keluar. Ia tahu kalau ada konsekuensi yang mengerikan jika ia berani melakukan itu. Lantas bagaimana dengan Aidan?
Dulu ia pernah mengemis pada Nayla agar gadis itu mau kembali padanya. Namun ditolak hingga berkali-kali. Akhirnya ia menyerah. Tak mau memaksa lagi. Kalau sekarang? Ya masa galau itu sudah lewat. Ia sudah bisa menjalankan kehidupannya seperti sedia kala. Jadi untuk apa ia menyesali segalanya? Tak ada yang ia sesali. Karena yang setia pasti tak akan pernah berkhianat bukan? Ia juga tak pernah sangka akan ditikung begitu kok. Namun dari cerita Ahmad....tampaknya terjadi sesuatu ya? Meski Ahmad juga tak tahu begitu banyak soal Nayla dan pacarnya. Namun yang jelas.....
"Dia kayaknya pengen putus sih, Dan, dari si Peter. Tapi gak berani ngomongnya "
"Dia ngomong itu ke elo, mas?"
"Enggak. Hanya asumsi gue aja. Kaeena gue sering nge-gap mereka sih."
Aidan mengangguk-angguk kala itu. "Hati-hati, mas. Peter itu bukan orang yabg baik."
Ia juga tahu itu dari teman-teman satu apartemennya yang sangat mengenal Peter bahkan sejak SMA. Jadi tentu sudah tahu seperti apa Peter kan?
"Kamu gak mau memperingatkan Nay gitu? Ya atau sekedar bertanya kabar?"
"Kalau masih berteman baik sih bisa aja dilakukan. Tapi sekarang beda cerita. Dulu yaa....ah udah lah. Intinya udah gak bisa aja, mas."
Intinya ia juga pernah sakit hati karena dibuang begitu saja oleh Nayla. Meski sekarang juga tak ada maksud untuk begitu. Untuk apa? Untuk membalas semua perbuatan Nayla? Tenang saja....ia tak sejahat itu kok. Kalau Nayla butuh bantuan suatu saat nanti, ia tak akan segan membantu sebagai teman. Ya hanya sebatas teman.
Disaat berbelok menuju ruangan kelas, tahu-tahu ada yang menjajari langkahnya. Siapa? Soraya. Gadis yang pernah trauma karena ia tolak dengan alasan gay. Hahaha. Tapi tampaknya Soraya berubah pikiran deh. Kalau kemarin-kemarin langsung menjauh, sekarang sih tidak. Malah dengan berani mendekati. Menurut Aidan, Soraya itu terlalu cantik untuknya. Hahaha. Nayla juga tidak secantik itu kok. Hanya perempuan biasa-biasa saja kalau mau membandingkan fisik. Tapi manis gitu. Ia memang lebih suka yang seperti itu. Mungkin berbeda selera dengan a'aknya.
"Aku boleh ngomong nanti sama kakak?"
Ia bertanya jujur.
"Nanya apaan?"
"Nanti aja. Kayaknya kakak mau masuk kelas. Nanti boleh ngomong kan? Mungkin siang? Abis kakak kelas."
Ia sebenarnya tidak mood menghadapi perempuan sih.
"Ya terserah," jawabnya cuek. Hal yang membuat Soraya menghela nafas. Sedingin itu ya?
@@@
"Kamu nyesel, Nay?"
Temannya bertanya begitu Peter pergi. Tadi Nayla memang tak bisa mengalihkan tatapannya dari Aidan. Sejujurnya, ya. Ia sudah menyesal sejak beberapa bulan setelah berpacaran dengan Peter. Hingga sekarang tak bisa lepas. Ada hal yang tak bisa ia ungkapkan pada siapapun. Yang jelas, ia memang ketakutan.
"Kentara ya?"
"Iya lah. Natapnya gitu banget."
"Dia lagi deket sama siapa?"
"Gak tahu deh. Jarang ketemu juga sama Aidan. Kamu tahu kalo aku juga lagi sibuk di BEM."
Ia mengangguk-angguk. Meski kemudian saat menoleh, ia justru melihat Aidan makan bersama seorang perempuan yang sangat cantik.
"Itu siapa?"
Temannya ikut menoleh. Ya kaget juga sih. Meski pernah mendengar rumor kalau Aidan ditaksir cewek cantik satu fakultas. Ya kalau menurutnya tak salah juga kalau naksir Aidan. Meski bukan yang ganteng-ganteng amat tapi Aidan itu manis banget. Ya kalau disandingkan dengan cowok paling ganteng sefakultas, nyatanya fans Aidan juga jauh lebih banyak sih. Karena ia manis dan tak bosan dilihat. Pendiam pula kan jadi kesannya misterius. Walau rumor gay menyebar satu fakultas yang tentu saja memang tak benar. Aidan sendiri tak begitu perduli dengan penilaian orang tentangnya.
"Itu cewek siapa?"
Jelas saja ia langsung penasaran. Perempuan cantik itu langsung menyita perhatiannya.
"Soraya. Maba paling cantik sefakultas. Masa gak tahu sih? Waktu awal, heboh banget tuh sama beberapa cewek lain yang juga cakep abis seangkatannya dari beberapa fakultas lain."
"Aku mana merhatiin cewek sih."
Temannya terkekeh. Ya juga sih. Kalau cewek kan pasti memerhatikan cowok. Sebaliknya cowok juga begitu. Memang sudah hasrat ketertarikannya begitu.
"Pedekate gitu mereka?"
"Mungkin. Tapi katanya dia emang naksir Aidan sih, Nay. Sejak kamu putus sama Aidan kan emang banyak cewek di sini yang ngejar Aidan. Tapi kayaknya gak ditanggepin gitu sama dia. Gak tahu deh sama yang ini. Beda kali."
Ia melihat sekali lagi lalu memalingkan wajah ke arah lain. Ya sedih lah. Tapi mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa membatin. Ia juga sadsr sih. Ternyata ketamakan tidak membawa keberkahan ya? Justru membawanya ke lubang hitam yang mengerikan.
"Lagian dulu kamu tinggalin sih. Udah baik begitu, gak pernah genit sama cewek lagi."
Ya memang. Ia juga tak paham kenapa ia saat itu begitu. Selalu merasa kurang ketika bersama Aidan. Kurang bersyukur? Meski konteknya tetap salah. Sementara itu, di tempat lain, seseorang baru saja mengambil duduk di meja sudut yang ada di kantin rumah sakit. Ia ingin beristirahat sebentar sebelum sibuk lagi dengan rutinitasnya. Namun ada yang mendadak datang dan duduk di depannya. Hal biasa sih. Tiap ada jadwalnya di sini, lelaki ini pasti akan datang mengganggunya jika punya kesempatan. Salah satu dokter residen di sini yang sebenarnya sudah lama naksir. Menyimpan perasaan tapi tak ia ladeni. Kenapa?
Ya kalau tak tertarik mau bagaimana? Lagi pula, ia tak berminat mencari pasangan lagi. Ia tak mau. Ia takut. Ia sudah cukup dengan trauma masa silam yang bahkan belum sembuh. Hal yang membuatnya masih harus ke psikolog setiap bulan. Karena terkadang ia tak bisa mengontrol ketakutannya sendiri.
@@@