Trauma

1036 Kata
Ia bangun tidur dengan tubuh yang penuh keringat. Ya selalu seperti ini. Ia hanya bisa tidur dengan nyaman kalau tidur bersama orang banyak. Tapi kesempatan untuk berlibur sama teman sekarang pun terasa sangat sulit. Karena banyak yang sudah menikah. Kalau pun ada yang jomblo sepertinya, mereka sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ya wajar. Kebanyakan teman-temannya juga kan menjadi dokter yang sibuk sepertinya. Kebanyakan masih residen. Ia yang paling cepat lulus dibandingkan dengan yang lain. Ia berjalan pelan menuju kamar mandi. Membukanya dengan pelan dan menatap isi dalam kamar mandinya hanya untuk memastikan kalau kamar mandi kamarnya kosong. Ia takut kan tiba-tiba ada orang yang ia takuti itu malah menyusup. Meski beberapa bulan terakhir, hidupnya cukup damai. Ia masuk ke dalam kamar mandi setelah memastikan keamanannya. Lalu mengambil wudhu usai mencuci muka dan buang air kecil. Ia solat subuh dengan was-was. Mencoba tenang rasanya sangat sulit apalagi kalau berada di dalam rumah begini. Ia sebenarnya betah di rumah tapi sudah bertahun-tahun terakhir, ia tak bisa tenang tinggal di rumah. Jadi lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di luar sana. Ingin liburan tapi terlalu takut kalau melakukannya sendirian. Ia sudah tak seberani dulu. Mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai kehilangan keberanian. Usai solat, ia membuka pintu kamar dengan pelan. Memastikan isi rumahnya benar-benar tak ada orang lain selain dirinya. Begitu aman dan memeriksa semuanya dengan teliti, ia menyiapkan sarapan sederhana. Memasak nasi merah lalu membuat sayur sop dan ditambah sedikit suwir ayam. Makanannya harus tetap sehat karena tuntutan pekerjaan. Kalau ia sakit mana bisa memeriksa pasien? Ya kan? "Dok, jangan lupa kita ada meeting sebentar di Sardjito." Ia mengiyakan telepon yang langsung masuk ke speaker rumahnya. Ada alasan kenala ia menyambungkan ponselnya ke speaker setiap kali ia pulang ke rumah. Untuk apa? Untuk keamanan dirinya sendiri. Ingat, ia tinggal di rumah ini sendirian. Kalau terjadi sesuatu, siapa yang akan menolong? Ia memasang alat-alat pengeras suara agar bisa meminta tolong pada para tetangga. Apakah berguna? Ya. Tiga bulan lalu terjadi sesuatu ketika rumahnya disusupi oleh seseorang. Ia berteriak keras dengan speaker otomatis itu dan itu sukses membuat banyak tetangga terbangun dan terpanggil untuk mendatangi rumahnya. Alhasil? Setidaknya orang itu sempat di penjara. Meski ia tak tahu apakah sekarang masih di penjara atau tidak. Ia tak mau perduli. Yang jelas, ia trauma sekali. Apalagi bukan hanya sekali kan? Tapi berkali-kali. "Di?" Itu kakaknya. Kakak tiri lebih tepatnya. Tapi setidaknya ia masih punya orang yang perduli dengan hidupnya. "Ya, mbak." "Aku ada pelatihan minggu depan di Jogja. Boleh numpang nginep gak?" "Boleh lah. Masa enggak sih?" Kakak tirinya terkekeh. "Oke, Di. Thank you ya?" "Iyaaaa." "Belum berangkat?" "Ya kan masih pagi banget di sini. Emangnya lagi gak di Indo?" "Cuma di Singapura sih tapi aku lupa juga kalau beda satu jam ya?" Ia terkekeh sendiri. Diana geleng-geleng kepala. "Titip tas dong, mbak." "Boleh." "Nyicil ya?" Kakaknya tertawa. Peremouan ini juga dokter. Masih dokter residen. Tapi ia punya bisnis tas mahal. Sering bolak-balik ke Singapura untuk membeli barang-baramg baru di tengah-tengah kesibukannya. "Yaa. Boleh. Gampang lah. Nanti aku sekalian bawa barangnya atau gimana?" "Fotoin aja deh. Rempong kalo mbak bawa semuanya. Gak muat rumah aku." Ia tergelak. Keduanya sempat mengobrol sedikit. Lalu Diana menutup telepon karena ia hendak mandi usai masak sederhana. Usai mandi, ia makan lalu segera berangkat menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan, ia ditelepon oleh salah satu staf di klinik di mana ia bekerja semalam. "Kenapa?" "Anuu, dook. Ada bunga guedeee banget ini, dok. Lihat nih, dook." Yeah bahkan sampai panghilan video. Ia hanya ternganga melihatnya. Siapa yag memberinya? Ia jelas takut lah. "Buang." "Bukan dari yang itu kok, dok. Tapi dari cowok yang semalem. Itu loh, dok. Pasien dokter. Namanya Aidan kan, dok?" Keningnya mengerut. Aidan mana? Pasien yang mana? Saking lupanya lalu ternganga sendiri sementara orang-orang di kliniknya sudah heboh. Ya bagaimana gak heboh? Dari wajah Aidan yang sangat muda itu sangat terlihat kalau ia sebetulnya masih sangat muda bahkan ya masih berstatu mahasiswa. Kok berani sekali mendekati Diana yang notabene-nya jauh lebih tua dan sudah menjadi seorang dokter? Punya nyali sebesar apa sampai berani begitu? @@@ Aidan rajin sekali. Ia bahkan mengantar sendiri bunga besar yang dipesan dadakan dan dibawa sendiri itu. Hal yang mengundang kehebohan orang-orang di klinik. Ia bahkan tak segan membawakan mereka gerobak bubur ayam gratis. Hahaha. "Anak orang kaya sih kayaknya." Para staf-staf di klinik itu masih heboh membicarakannya. Meski Aidan sudah berpamitan. Ia tak bisa bertemu dengan Diana karena ternyata Diana tak ke sini di pagi hari. Kebanyakan jadwal Diana di klinik itu memang malam hari. "Dari mana tahunya?" "Mobilnya lah. Gak lihat tadi? Sampai bisa dibuka begitu atapnya huat bawain bunga. Mobil yang kayak gitu kan mahal semua." "Waah dokter Diana gak bakal suka lah sama cowok yang suka ngandelin orangtua. Apalagi masih muda begitu." "Ya sih bener. Kayaknya emang kurang cocok." Yang dibicarakan justru sedang dalam perjalanan. Tadinya sih mau ke kampus. Tapi begitu mendapatkan telepon dari Rain, ia buru-buru ke stasiun. Perempuan itu masih perempuan yang sama yang beberapa bulan lalu menikah tapi tak ada yang berubah. Lalu kini mendadak ke sini. Ada apa sih? Ia bertanya-tanya. Tahu-tahu minta jemput dan katanya mau menginap di apartemennya. Ya ia tak masalah sih. Ia sudah hapal dengan kelakuan Rain. Namun yang menjadi masalah itu...... "Tuh kan....." Ia melihat nama suami Rain di layar ponselnya. Keributan apalagi yang dibuatnya? Hahahaha. Kenapa ia harus terlibat juga sih? Hahaha. "Assalammualaikum, bang. Ada apa?" "Waalaikumsalam. Rain ada telepon lo, Dan?" "Barusan sih, bang." Ia nyengir. "Dia minta jemput ya?" "Iya, bang." "Jagain ya. Nanti gue nyusul buat jemput. Sekarang ada urusan dulu." Aidan mengiyakan. Mau bertanya apakah mereka bertengkar lagi tapi tak enak hati. Hahaha. Akhirnya ia iyakan saja permintaannya untuk menjaga Rain meski ia juga repot karena seharusnya ia buru-buru ke kampus kan. Namun malah nernelok menuju Stasiun Yogyakarta. Kaburnya kok lewat kereta sih? Hahahaa. Gak naik pesawat apa ya sepupunya yang satu itu? Hahaha. Dan entah ada masalah apalagi, ia tak paham. Yang jelas, ia juga tahu sih kenapa Rain begitu. Salah om-nya juga. Ia berhenti tepat di depan stasiun di mana Rain sudah menunggunya. Sepupunya itu memakai jaket dan topi beserta ransel. Bajunya hitam semua. Pasti semalam kabur kan? Entah jam berapa. Tapi kanurnya kok dekat sekali sih? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN