"Ini kamu berantem?"
"Gak lah, dok. Saya anak baik-baik."
Si perawat terkekeh mendengar jawabannya. Dari masuk ke dalam ruangan, cowok ini tampaknya tak sekalem penampilannya. Mungkin ia salah menilai ya?
"Terus ini gimana ceritanya?"
Si dokter bertanya. Ya wajar kan? Telinganya sampai berdarah. Begitu dilihat di layar eeeh tampaknya gendang telinganya bolong. Gendang telinga sampai bolong begini pasti ada penyebabnya kan? Meski ia tak merasa kalau pendengarannya terganggu.
"Tadi gak sengaja pas lagi ngorek pakek cotton bud, tangan saya terdorong," ujarnya.
Si dokter tak sadar kalau ia sibuk menatapnya sejak tadi. Hanya memastikan kalau ia adalah dokter yang sama yang pernah ia temui. Ya memang benar kok. Bahkan lihat saja papan nama di atas mejanya. Namanya sama persis. Hanya malam ini tampak lebih serius. Mungkin karena sedang bekerja?
"Lain kali, jangan dikorek lagi. Kalo mau bersihin telinga, datang aja ke dokter. Ngeluarin uang sedikit jauh lebih baik dari pada bikin bencana baru kayak gini."
Ia mengangguk-angguk. Pemeriksaan selesai, ia dipersilahkan duduk lagi di depan sang dokter yang sibuk menuliskan resep.
"Saran saya, mending ditambal saja gendang telinganya. Mungkin nanti akan dioperasi. Operasinya bukan operasi besar kayak bongkar organ. Ini cuma mau menambal gendangmu yang bolong. Itu juga menggunakan jaringan tubuhmu. Mungkin pemulihannya perlu beberapa hari setelah itu. Untuk sekarang, kalau mandi, usahakan jangan ada air yang masuk ke telingamu. Juga saat wudhu. Islam atau bukan?"
"Islam, dok."
Si dokter mengangguk. "Pokoknya hati-hati aja. Jangan pakai headset juga dan hindari penerbangan sampai nanti benar-benar pulih."
"Operasi itu....harus dalam waktu dekat, dok?"
"Ya kita lihat dulu perkembangan infeksimu. Nanti kalau sudah sembuh, kita coba jadwalkan operasinya. Orangtua kamu di mana?"
"Depok, dok. Depok di Jawa Barat maksud saya."
"Ya kalo bisa sih ada walinya. Gak mesti orangtua juga kalo orangtua kamu gak bisa."
"Biasanya yang butuh wali itu bukannya perempuan ya, dok?"
Si perawat terkikik-kikik mendengar ucapannya. Mana bertanya dengan wajah polos pula. Si dokter berdeham. Ia selalu serius bahkan sejak awal.
"Wali itu wali pasien," tukasnya. Ia sama sekali tak bercanda.
Aidan mingkem sambil mengangguk-angguk. Ia benar-benar bertanya kok.
"Ada pertanyaan lagi?"
"Saya dioperasi nanti sama dokter?"
"Bukan hanya saya. Ada dokter lain juga."
"Yang penting sama dokter."
"Nanti untuk operasi kalau jadi, tidak bisa dilakukan di klinik ini ya. Kebetulan saya kerja juga di Sardjito. Kamu ke sana saja untuk operasi. Ketemu saya di sana kalau sudah siap. Saya akan siapkan jadwalnya. Sekarang masih kuliah tho? Atau sudah bekerja?"
Tampaknya dokter ini lupa padanya.
"Kalo kuliah sambil kerja, keren gak, dok?"
Si perawat tertawa lagi. Diana mengalihkan tatapan. Ia sama sekali tak menganggap ini candaan loh. Ia sedang serius. Kan sedang bekerja.
"Ya pokoknya nanti upayakan tidak menganggu kegiatanmu," ujarnya.
Aidan mengangguk-angguk. Susah sekali mau modus ya? Mental terus kata-katanya.
"Ada yang mau ditanyakan lagi?"
Aidan berdeham kali ini. "Dokter sudah menikah?"
Ia langsung pada inti pembicaraan yang sesungguhnya ia ingin tahu. Si perawat di sampingnya benar-benar tergelak dibuatnya. Si dokter berdeham. Tentu saja merasa agak-agak aneh dengan pertanyaan itu. Lalu apakah akan dijawab?
"Kalau begitu, silahkan keluar."
Ia malah diusir. Hahahaha.
@@@
Diana diledek habis-habisan oleh orang-orang klinik gara-gara kejadian itu. Ia sih kesal. Tapi tak mau ambil pusing. Dari pada mendengar berbagai celotehan mereka, ia lebih memilih untuk pulang. Sudah malam juga dan tubuhnya sangat lelah. Lagi pula bocah ingusan tadi siapa heh sampai berani memodusinya?
Ia geleng-geleng kepala. Ia tak tertarik sama sekali dengan bocah itu. Ia mengendarai mobilnya menuju ke rumah. Jalanan di Jogja ya masih agak ramai meski ini sudah lewat dari jam sepuluh malam. Ia sudah biasa. Tak seperti awal dulu, masih deg-degan. Apalagi banyak begal ya? Eh bukan begal. Melainkan klitih.
Tapi rata-rata korban klitih itu laki-laki. Semasa kuliah dulu, beberapa teman perempuannya yang mengendarai motor usai koas di malam hari kerap membuat papan nama dari kardus. Kemudian digantung di leher. Yang ditulis sebenarnya bukan nama melainkan tulisan 'saya perempuan'. Hahaha. Untuk apa kegunaannya? Ya untuk menghindari klitih. Tampak lucu memang. Tapi ya begitu lah cara mereka berjaga-jaga.
Kurang dari setengah jam, ia sudah sampai di rumah. Kebetulan memang tak begitu jauh dan jalanan juga lengang. Rumahnya sepi. Ia hanya tinggal sendiri di sini. Lampu baru saja ia nyalakan. Meski ketika hendak turun dari mobil, ia selalu waspada. Ia selalu membawa tongkat baseball untuk berjaga-jaga. Perempuan sepertinya yang tak bisa silat ya hanya bisa menggunakan alat untuk melindungi diri.
Ia turun dengan pelan dari mobil. Itu pun setelah melihat isi garasi rumah. Kemudian berjalan pelan memasuki rumah yang lampunya memang akan selalu menyala otomatis ketika ia membuka gerbang tadi. Ia membuka pintu dengan tangan kiri yang tentu saja bersiaga. Lalu celingak-celinguk, menatap ke dalam rumah, sekedar memastikan kalau tak ada yang membobol rumahnya. Begitu aman, baru ia masuk ke dalam rumah. Ia berjalan pelan, mengitari seluruh ruangan sebelum buru-buru mengunci pintu. Mungkin ini kebiasaan? Tapi sebenarnya ia sedang takut. Takut pada suatu hal yang membuatnya trauma parah hingga selalu bersiaga seperti ini.
Begitu aman, ia buru-buru mengunci pintu. Kemudian masuk ke dalam kamar. Rumah ini sesunguhnya tak besar-besar amat. Hanya satu lantai dengan tiga kamar. Ada dua kamar mandi. Satu di kamar utama dan satu lagi di dapur. Halaman belakang tak ada. Tapi ada halaman samping untuk menjemur pakaian yang ia buat ruangan khusus jemuran. Jadi gentengnya bisa ditembus sinar matahari. Ruang jemuran yang tertutup untuk melindungi baju-bajunya ketika dijemur. Maklum lah, ia kan wanita karir. Kalau menjemur pakaian di area terbuka lalu hujan, tak ada yang mengangkatnya. Ia juga tak punya pembantu. Semua benar-benar dilakukan sendiri.
Ia sudah lama tinggal sendiri. Sudah berapa tahun? Mungkin sekitar 10 tahun? Senua bermula ketika ia merantau ke sini untuk melanjutkan kuliah. Menjadi anak kedokteran di sini jelas tak mudah. Penuh persaingan. Tapi kini ia sudah melewati semua perjuangan keras itu. Bisa berada di titik ini jelas sudah sangat hebat. Karens tak semua temannya bisa sepertinya. Meski masing-masing punya jalannya juga. Rezeki kan Allah yang atur.
Usai mandi, ia bergerak untuk beristirahat. Spontan, ia merangkat ke bawah tempat tidur. Hampir lupa untuk memeriksa isi kolong tempat tidurnya. Untuk apa ia sampai seperti ini? Ohoo pastinya pernah terjadi sesuatu yang sangat membuatnya trauma. Bahkan hingga kini pun, kehidupannya belum benar-benar aman. Ia masih dihantui kejadian mengerikan itu. Apa itu cinta?
Ia sudah tak percaya. Bisa hidup normal adalah berkah yang luar biasa baginya.
@@@