Hariku Kembali

1262 Kata
"Ngapain ke kafe? Bukannya kita tadi udah makan?" tanyaku seraya turun dari motor. "Nongkrong lah! Setelah kamu kuliah, kamu bakal terbiasa dengan kebiasaan nongkrong di kafe. Kamu pikir kafe tempat makan dan minum doang?" Iqbal melenggang masuk dan aku pun mengekor di belakangnya. Kemudian ia memilih kursi berdekatan dengan jendela. Tidak, lebih tepatnya dinding kaca. Lalu memesan dua ice coffee pada seorang barista. Tidak cukup banyak pengunjung mungkin karena ini siang hari. Biasanya sore hingga malam barulah kafe banyak pengunjung. "Nah, kalau di sini lebih enak ngobrolnya!" ujarnya setelah pesanan kami datang. "Hmmm, oke!" seruku seraya minum kopi dingin yang baru saja disajikan. "Queen, udah sadar belum?" tanya Iqbal kemudian. "Sadar? Sadar apa?" Kusingkirkan gelas di depanku ke samping. Aku mengambil posisi serius untuk kemudian berbincang dengan Iqbal. "Kesalahan kamu. Udah sadar?" Aku memutar bola mata, mengingat lagi. Dan yang benar saja, kenapa jadi aku yang salah? "Masih belum merasa bersalah?" Iqbal tampak serius. Sepertinya aku gagal menyidangnya. Justru malah sebaliknya, dia yang jadi menginterogasi aku. Kutarik nafas panjang sebelum akhirnya menjawab, "Entah ini kesalahan atau kebodohan tapi aku menyesal." "Tinggalkan Rival, oke?!" "Hah? Kenapa harus tinggalkan dia?" "Bukannya kamu menyesal?" "Aku hanya menyesal karena meminjamkannya uang. Tapi, bukan berarti harus putus kan?" "Kamu yakin nyaman hubungan sama dia?" Aku diam sejenak menanyakan isi hati yang sebetulnya. Benar, apa aku nyaman? Aku memang merasa hubungan ini manis saat di awal, tapi sekarang? Refleks kepala ini menggeleng. "Aku iri deh sama kamu yang bisa fine fine aja padahal jomblo!" keluhku melihat kenyataan Iqbal tak pernah sekalipun berpacaran. "Ya, emang apa salahnya jomblo? Justru dengan begitu aku bebas mau ngapain aja," jawabnya santai. "Lagi pula aku cukup punya sahabat wanita seperti kamu. Sesekali biar gak dikatain jomblo tinggal gandeng aja kamu, beres!" "Cowok mah gitu, ngegampangin banget!" "Tapi iya kan? Harusnya kamu juga cukup punya sahabat cowok kayak aku." "Beda lah, Bal!" "Apanya yang beda?" "Jelas beda. Pacaran itu pake kasih sayang, cinta, pokoknya perasaan. Lah sahabatan?" "Emang kamu gak sayang sama aku? Hmmmmm padahal aku udah sayang banget loh sama kamu!" "Apa sih ah, malah bercanda! Kalau yang ingin kamu bicarakan itu tentang Rival, mending kita pulang aja, yuk! Aku benar-benar gak mood." Iqbal bergeming. Kulihat air mukanya berubah. Entah kecewa atau apa, yang pasti aku tidak terlalu peduli dan memilih untuk beranjak dari tempat duduk setelah menghabiskan ice coffee. Hingga sampai di parkiran, tiba-tiba Iqbal melewatiku dan mengambil motornya. Aku bergegas naik di belakangnya. Aku jadi ingat. Dulu jika Iqbal menyuruh putus, aku tak pernah keberatan. Mungkin karena memang saat itu aku sendiri sudah merasa tak nyaman dengan hubungan yang sedang dijalani. Dengan mudah akan ku ikuti saran Iqbal. Namun, sekarang rasanya berbeda aku merasa kesal saat Iqbal mengutarakan hal tersebut. "Aku rasa sebaiknya kamu pikir kembali tentang ucapanku yang tadi, Queen!" Iqbal kembali bersuara saat motornya telah melaju membelah jalanan. "Hhmmmm," balasku dengan gumaman. Setelahnya, Iqbal melajukan motor sekencang-kencangnya. Tak ada lagi percakapan antara kami, hingga tak terasa motor Iqbal berhenti tepat di depan kosan tanda telah sampai. "Sekarang kamu kalau butuh apa-apa tinggal bilang aja, oke! Mulai hari ini aku kembali tinggal di kost. Membiarkan kamu tinggal di sini sendiri bikin gak tenang rasanya!" ujar Iqbal, raut wajahnya sudah biasa lagi. "Siap, Bos! Aku pasti sering membutuhkan kamu!" balasku mengingat masalah keuangan yang akan terjadi kedepannya. "Ya, kan? Kamu gak bakal bisa hidup merantau jauh dari orang tua. Minimal merantaunya harus bareng aku." "Ya, ada betulnya sih!" "Huh, Anak Manja!" Seketika bibir ini mengerucut, merajuk tak setuju. "Cepet sana pulang, sudah sore! Jangan lupa mandi, bau ketek tuh!" "Enak aja!" "Hahaha … ya, udah. Cepet pulang sana!" Aku pun melenggang pergi meninggalkan Iqbal. Saat aku memasuki gang, tak jauh dari itu aku bertemu Tari. Wajahnya sedikit masam menyiratkan rasa tak suka yang sangat kentara. Namun, tak ku acuhkan. Aku hanya melempar senyuman seraya melewatinya. Setibanya di kamar kos, aku segera menuju kamar mandi. Rasanya, tubuh ini sudah tak kuat ingin segera menyentuh air. Sejuknya air Bandung menggantikan rasa gerah seketika. Aku langsung dibawa larut dalam kesegaran yang takan tergantikan. Jam menunjukkan pukul 16.30 saat aku selesai mandi. Itu artinya sudah memasuki waktu ashar sejak tadi. Aku pun segera melaksanakan shalat dan baru kuingat, dzuhur tadi melewatinya. Sama halnya seperti aku, Iqbal bukan orang yang taat agama. Walaupun dia memang baik, tapi sholatnya masih bolong-bolong. Mungkin ini karena kami terlahir dari lingkungan yang tak begitu kental beragama. Namun, belakangan ini tante Emil sering bunda ajak untuk menghadiri pengajian. Kuambil ponsel dari sling bag, kemudian menghubungi bunda. Setelah beberapa saat nada sambung terdengar, suara bunda pun muncul dari seberang. "Ya, Queen. Ada apa?" "Ini, Bun. Aku tadi gak sholat dzuhur, terus gimana?" "Kenapa gak sholat? Kamu ketiduran atau kelupaan?" "Lupa, hehe. Tadi asyik main sama Iqbal di luar." "It's okay! Kamu tinggal qodo aja. Sekarang udah sholat ashar?" "Udah, Bun." "Ya, udah. Sekarang langsung qodo aja sholat dzuhur tadi." "Oke, siap, Bun!" "Lain kali sholat harus diutamakan ya, Sayang. Biarpun kamu gak denger adzan, tapi kamu tetap harus ingat. Perhatikan waktumu biar gak lupa lagi. Kalau bisa setting alarm di HP, ada kok aplikasinya yang khusus waktu sholat." "Baik, Bun." "Kecuali kamu ketiduran atau lupa yang gak disengaja. Dua hal ini dimaklumi, tapi tetap begitu ingat atau begitu bangun kamu harus segera melaksanakan shalat yang ditinggal tadi. Walau waktunya sudah habis." "Iya, Bunda." "Ya udah, sekarang tutup teleponnya langsung shalat." "Siap. Assalamualaikum, Bunda." "Wa'alaikum salam." Kuakhiri segera panggilan kemudian segera mengganti shalat dzuhur tadi. Kebetulan seingatku juga belum batal wudhu. Aku pun segera melaksanakan sebagaimana yang bunda tadi jelaskan. Aku masih duduk di atas sajadah setelah selesai shalat. Entah, aku merasa nyaman berlama-lama duduk di atasnya walau hanya sekedar melamun, merenungi semua masa lalu. Aku pun memutuskan untuk membaca Al Qur'an sambil menunggu waktu magrib. *** Ponselku berdering, Iqbal yang menelpon. Aku cukup senang, setelah pertemuan tadi siang kini ponselku tidak lagi sesepi kuburan walau tetap tak ada pesan dari Rival. Seperti saat tadi, Iqbal mengirim pesan agar aku masak nasi saat aku masih larut membaca Al Qur'an. Niat untuk baca sampai magrib tak ku selesaikan dan segera memasak nasi. Iqbal bilang, dia akan membelikan aku lauk nasi. Sebagai gantinya dia minta nasi padaku, karena katanya ia lupa membawa beras. Aku pun segera memasukkan nasi yang sudah matang ke dalam kotak nasi khusus bekal jika nanti sudah mulai kuliah. "Ini udah aku siapin!" ujarku setelah menggeser ikon telepon genggam berwarna hijau. "Ya udah, cepet! Aku udah masuk gang nih." "Terusin aja kenapa sih? Biar aku gak perlu keluar." "Gak bisa, buru cepet sini!" "Ya … ya, aku segera ke sana." Kututup kembali panggilan, kemudian segera keluar dengan mengenakan piyama dibalut sweater hangat. Iqbal sudah menunggu dengan wajah bete-nya. "Nih!" Kusodorkan kotak nasi pada Iqbal. "Nih, kamu makan yang banyak oke!" Iqbal pun menyodorkan kantong plastik putih yang entah berisi apa. "Gak mau nanti aku gendut!" "Gak apa-apa. Kurus kurus banget malah jelek tahu!" "Hhmmm … thanks ya, Bal." "Sama-sama. Ya udah, sana balik lagi!" Aku pun bergegas kembali ke kosan. Selain karena memang sudah malam, perut ini memang sudah tak tahan. Kubuka plastik bungkusnya perlahan, aroma ayam goreng tercium. Rupanya, Iqbal membelikanku pecel ayam. Sambal tomatnya benar-benar menggoda. Aku pun segera membuka kemudian memakannya. Setelah selesai, ku bereskan kembali bekas bungkusnya ke dalam kantong plastik untuk kemudian dibuang. Namun, aku menyentuh benda berbentuk batang yang membuat tangan ini menariknya keluar. Coklat silverqueen ukuran sedang, dengan bungkusan sedikit rusak mungkin karena tertindih bungkusan ayam tadi. Ku balik coklat tersebut sebelum memakannya. Good night! Besok kita keliling lagi, oke! Haha dasar, Iqbal! So, manis banget sih jadi orang!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN