Lari Pagi

1018 Kata
Pagi ini aku berencana lari pagi bersama Iqbal. Kebetulan ini weekend, katanya sih banyak orang yang juga akan melakukannya. Aku manut saja. Setelah selesai merapikan alat sholat, aku bergegas mengganti baju dengan setelan celana training dipadukan kaos blouse merah muda lengan panjang. Sejuknya pagi hari membuatku pergi tanpa mandi. Biar nanti saja setelah lari baru kubersihkan diri, agar tidak perlu mandi dua kali. Iqbal tengah melakukan pemanasan di depan gerbang kosnya saat aku menghampiri. Dia mengenakan celana training pendek serta kaos polos hitam membuat otot di lengan dan kakinya tampak menonjol. Kemudian tiba-tiba datang seorang pria dari arah kos bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang. Ia tersenyum ke arahku, dan kubalas senyumnya. "Ini sahabat kecil yang sering lo ceritain?" tanyanya pada Iqbal mengarah padaku. "Iya," jawab Iqbal singkat. "Ngapain lo pake training juga?" "Mau ikut lari lah!" "Ikut? Gue gak ngajak tuh!" "Gue mau olahraga juga, sumpek di kamar terus," jawab pria itu, ia berjalan mendekat ke arah Iqbal. "Lagian tuh cewek cantik juga!" bisiknya yang masih bisa didengar oleh telinga ini. "Sembarangan! Jangan macam-macam lo!" Iqbal mencengkram tanganku kuat, lalu menarik paksa agar segera menjauh dari pria tadi. Setengah berlari aku mengikuti langkah cepatnya. "Kalo ada dia, kamu harus pergi oke!" ucap Iqbal setelah kita cukup jauh berlari. "Kenapa?" tanyaku yang jelas heran. "Dia agak somplak." "Ih, kok gitu sih ngomongnya!" "Pokoknya, jangan mau dideketin dia." "Tapi tadi itu temen kamu kan? Dia tadi bilang yang sering lo ceritain. Berarti kamu sering cerita tentang aku ke dia?" "Gak juga. Dia cuma pernah tanya pas liat foto kita di kamar." "Oh." "Hmmm, gak aman kalo lari di sekitar sini. Kita naik angkot dulu lima menit terus mulai start sampai alun-alun," ujar Iqbal, ia menghentikan angkot yang lewat. Berhubung aku tak tahu apa-apa, jadi aku ikut saja. Selama semua dilakukan dengan Iqbal aku tak perlu khawatir, karena dia akan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi padaku. Kami menaiki angkot yang berhenti karena lambaian tangan Iqbal. Hanya ada dua orang penumpang yang duduk di dalamnya. Dua gadis yang kira-kira seusia Ningsih, mereka tengah asyik berbincang berbagi cerita. Namun, begitu kami masuk mereka langsung terdiam. Matanya membulat mengarah pada wajah Iqbal dengan mulut terbuka lebar membentuk huruf o. Aku menoleh ke arah Iqbal, yang ditatap buang muka salah tingkah. Kemudian ia melempar senyuman, mungkin karena dua gadis di depan terus menatapnya. Dua gadis itu sorak kegirangan setelah menerima senyuman dari Iqbal. Lebay. Sangat lebay. Iqbal bukan artis juga bukan selebritis, mendapat senyumnya saja sampai kegirangan seperti itu. Ini berlebihan. Hingga tak lama kemudian Iqbal menghentikan supir angkot untuk segera menepikan mobilnya. Iqbal turun, aku mengikuti. Sebelum turun aku masih bisa mendengar dua gadis tadi merutuk kecewa karena pria yang sedang ditatapnya harus segera turun. "Oke, dari sini kita mulai lari!" ajak Iqbal. Kami pun berlari-lari kecil berdampingan. Ku tatap lekat pria di sampingku ini. Memang dia terlihat tampan juga maskulin, apalagi dengan mengenakan setelan olahraga seperti ini. Hingga aku terjatuh tersandung karena tak fokus menatap jalanan. "Hahahaha" Pecah. Iqbal tertawa puas melihatku jatuh. Namun, kemudian ia membantuku bangun walau masih dengan tawa yang menggema. "Menyebalkan!" sungutku kesal. "Makanya kalau lari itu tatap jalanan, jangan tatap aku." "Hih geer! Aku gak natap kamu!" "Berarti iya." "Lagian kamu ganjen banget sih segala senyum-senyum sama dua cewek di angkot tadi!" "Ganjen? Itu ramah Queen namanya!" Aku tak lagi menjawab. Apa sih aku?! Kok terdengar seperti orang yang cemburu! Kami pun kembali berlari tanpa kata. Aku menggunakan kesempatan ini untuk melihat-lihat sekeliling pusat kota Bandung. Menara Masjid Raya di depan sudah terlihat. "Oh ya, gimana? Sudah kamu pikirkan?" tanya Iqbal kemudian setelah cukup lama kami terdiam. "Apanya?" "Hubungan kamu." "Gimana dong, Bal. Mau putus pun uangku belum kembali." "Udah kamu coba hubungi?" "Belum sih. Entah, aku merasa malas sekarang kalau harus menghubungi duluan." "Ya udah, gak apa-apa. Kamu putus aku ganti." "Ganti apanya?" "Uangnya lah!" "Jangan. Gak usah, dia harus tanggung jawab lah!" "Ya, terserah. Tapi saranku kamu harus segera lepasin dia. Aku ngerasa dia udah gak beres, kemarin …." Ucapan Iqbal menggantung yang jelas membuatku penasaran. "Kenapa kemarin?" tanyaku menuntut penjelasan. "Tidak. Bukan apa-apa." Iqbal menarik wajahnya memalingkan ke arah lain. Kami pun tiba di alun-alun kota Bandung. Iqbal mengajak duduk di lapangan rumput sintetis yang berbeda di depan masjid Raya. Cukup melelahkan berlari selama tiga puluh menit membuatku ingin merebahkan tubuh di atas lapangan. Ramai pengunjung yang datang, bahkan banyak juga pengunjung dari luar kota datang sepagi ini. Ya, seingatku jadwal keberangkatan kereta api dari Purwakarta ke Bandung itu pukul 03.55 sehingga tak heran jika sepagi ini mereka telah duduk manis di sini. "Aku beli minum dulu. Tunggu sebentar!" ujar Iqbal. Ia segera pergi setelah aku menganggukkan kepala. Kuambil ponsel yang sejak tadi tak kubuka. Tiga pesan masuk dari Rival. Senang bercampur malas aku membukanya. [Selamat pagi!] [Hari ini ada kegiatan apa nih? Aku rindu kamu] [Oh ya, Sayang. Kos kamu dimana? Hari ini aku akan ke Bandung ada urusan. Mungkin siang atau sore aku akan menemuimu] Semburat senyuman terukir di wajahku. Ya, tiba-tiba saja sudut bibir ini tertarik ke atas menandakan rasa bahagia. Ah, seharusnya aku lebih sabar untuk menyatakan bahwa hubungan ini tidak baik-baik saja. Nyatanya, Rival masih ingin menemuiku. "Ngapain senyum-senyum sendiri!" tegur Iqbal yang tiba-tiba muncul. "Rival mau datang," jawabku jujur. "Terus?" "Ya, aku jelas seneng lah!" "Semoga dia bayar uang kamu itu!" "Apa sih, Bal! Jangan bahas itu bisa?!" Iqbal bergeming kemudian ia menyodorkan sebotol air mineral serta sebungkus roti. Aku menerimanya kemudian segera meneguknya. Saat aku sedang menikmati roti isi coklat yang dibeli Iqbal. Tiba-tiba pria itu menarik tanganku agar segera pergi. "Jangan di sini, ah! Yuk, pindah!" ajaknya sedikit memaksa, terasa pada tarikan tangannya yang sangat kuat. "Apa sih, tiba-tiba! Bentar aku ngabisin dulu nih roti." "Gak bisa kelamaan, buruan!" Ia terus menarik paksa dengan sesekali bola matanya mengarah pada sesuatu di belakangku. Mendapat hal itu, tentu saja membuatku menoleh heran ke arah belakang. "Jangan dilihat!" Tangan Iqbal refleks menutup penglihatanku. "Ih, apa sih?!" Aku menarik kuat tangannya dari mata. Dan setelah itu, sungguh aku menyesal tak mengikuti perintah Iqbal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN