Dia Kembali

1072 Kata
Lagi-lagi Iqbal mengabaikanku. Dia tak menjawab bahkan tak membaca pesan sama sekali. Padahal terpampang jelas statusnya sedang online. Aku seperti orang bodoh yang gabut, menunggunya hingga status online itu hilang dengan sendirinya. Enggan meratapi kesepian hati yang nyaris seperti sepinya ponsel, aku pun melenggang menuju kamar mandi membersihkan diri. Air dingin mengalir menusuk pori-pori. Cuaca Bandung memang tak bisa dibandingkan dengan Surabaya dan Jakarta, walau sama-sama kota. Ritual mandi pun selesai dalam waktu sepuluh menit. Aku segera mengenakan pakaian ternyaman, kemudian kembali tiduran dengan n****+ di tangan. Hari ini kuputuskan untuk membaca n****+ seharian mengisi kebosanan. Ningsih datang saat aku membaca di lembaran ke sepuluh n****+ yang berjudul Rindu karya Tere Liye. Kusimpan n****+ itu segera, kemudian menghampiri pintu untuk membukanya. "Teh, jalan-jalan, yuk!" ajaknya semangat. "Malas, ah!" Aku kembali masuk kamar, Ningsih berjalan di belakang mengikuti. "Ah, gak asyik!" keluhnya seraya menempelkan b****g di tepi kasur. "Tadi pagi udah jalan-jalan sama Teh Tari. Sekarang lagi males ke mana-mana." "Hmmm. Teteh suka baca n****+?" tanya Ningsih kemudian, ia mengambil n****+ yang tergeletak di atas kasur saat aku baru saja hendak membaca kembali. Aku menjawabnya dengan anggukan kecil seraya menyandarkan punggung ke tembok di atas kasur. Gadis yang baru datang itu langsung membaca n****+ yang diambilnya. Aku memejamkan mata merasa bosan sekaligus mager. Hingga tiba-tiba ponselku berdering. Spontan, tubuh ini bangun seketika seolah mendapat panggilan darurat. Ningsih yang sedang fokus membaca, kaget dibuatnya. Namun, aku abaikan dan segera mengambil ponsel yang kuletakkan di atas lemari kemudian menerima panggilan. "Assalaamualaikum." "...." "Eh, sekarang?" "...." "Oke, oke. Aku siap-siap dulu." "...." "Ya ya ya. Lima belas menit aja, kok!" Aku segera mengganti pakaian, lalu memoleskan make up tipis. Ningsih masih melongo dengan tatapan penuh tanya. Ia menutup kembali n****+ yang sedang dibacanya. Kemudian ikut berdiri begitu aku hendak membuka pintu. "Kemana? Ikut dong! Tadi aku ajak jalan-jalan bilangnya males!" protes Ningsih membuat aku urung membuka pintu. "Seseorang tiba-tiba nelpon," jelasku. "Siapa?" tanya Ningsih semakin penasaran. "Maaf ya, Ningsih. Aku buru-buru." Aku pun segera pergi mengabaikan Ningsih. Setelah hati ini cukup lama kesepian, mendengar dia tiba-tiba datang membuatku begitu bahagia. Tak mau tahu sebelumnya dia banyak melakukan hal yang membuatku jengkel. Yang pasti saat ini, aku senang akan bertemu dengannya. Kutelusuri jalan setapak yang menghubungkan ke jalan raya dengan jarak paling dekat. Langkah ini berjalan dengan tergesa-gesa, seolah ingin segera bertemu seseorang yang sedang menunggu di ujung jalan sana. Debaran jantung berdetak kencang mengiringi tiap langkahnya. Tunggu! Kenapa jantungku tiba-tiba berdebar? Aku menggelengkan kepala. Ya, wajar saja berdebar. Aku berjalan tapi seperti berlari! Aku terkekeh menertawakan diri sendiri. Sampai beberapa langkah kemudian, seseorang yang cukup lama tak kulihat tengah berdiri bersandar pada motornya seraya menunggu. Aku berdiri mematung. Tiba-tiba lidah ini terasa kelu. Kecanggungan pun memenuhi atmosfer di sekitarku. Kutarik nafas perlahan menenangkan diri, berharap sekujur tubuh ini bisa terkontrol sebagaimana mestinya. "Sedang apa melamun di situ? Ayo, naik!" tegurnya membuyarkan lamunan. "Ah, i-iya," jawabku terbata seraya bergegas menaiki motor yang dinaikinya. Jantung ini, d**a ini masih berdebar tak karuan. Pria yang memboncengku ini masih diam tak berucap seolah semua sedang baik-baik saja. Namun, aku pun memilih diam, karena ada hangat yang menyelimuti mengobati kerinduan. Aih, sedang apa aku ini? Refleks, tanganku memukul bahu Iqbal sekeras-kerasnya. Pria itu menjerit meringis kesakitan. "Awww! Kamu kenapa sih, Queen?!" protesnya dengan kepala sedikit menoleh ke arahku. "Ini kita mau kemana? Enak aja main ajak pergi anak orang!" "Lah kamu mau aja aku ajak? Gak nanya dulu lagi." "Ini kan aku tanya!" "Udah mau nyampe baru tanya!" "Gak apa-apa, yang penting nanya!" "Cewek selalu benar! Pokoknya tunggu aja sebentar lagi juga nyampe!" jawab Iqbal dengan suara yang hilang timbul karena ramainya jalanan. Aku tak lagi menjawab. Biar saja dia membawaku pergi sesukanya, karena setelah ini aku akan memberikan banyak pertanyaan yang akan membuatnya merasa disidang. Benar, apa yang dikatakannya tak lama kami sampai. Kami pun berhenti di sebuah kedai bakso yang cukup ramai pengunjung. Kedai ini cukup besar untuk disebut kedai, nyaris seperti restoran out door. Berbagai menu jajanan pun banyak tersedia di sini. Aku mengikuti Iqbal masuk lalu duduk. Iqbal mengangkat tangan bermaksud memanggil seorang waiters. Kemudian ia memesan makanan serta minuman untukku dan untuknya tanpa bertanya apa yang kumau. Dan aku, masih duduk menunggu hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan. Kami duduk berhadapan. Setelah waiters itu pergi, Iqbal menatap ke arahku sangat dalam. Aku salah tingkah dibuatnya, sehingga membuat wajah ini berpaling ke sembarang arah. "Apa kabar kamu, Bal?" tanyaku mencoba mencairkan suasana. Senyuman mengejek terlukis di wajah Iqbal. Sangat menyebalkan. Bibir ini pun maju membentuk kerucut tanpa perlu perintah. "Hahaha." Tawa itu pecah semakin membuat hati ini terasa gondok. "Aku baik … baik," jawab pria di depanku di sela gelak tawanya. "Tau ah!" gumamku merajuk. "Kamu sendiri apa kabar, Queen?" Aku diam masih dengan sudut bibir yang tertarik ke bawah. "Aih, ngambek! Makin dewasa jadi gampang banget kamu ngambek. Apa lagi PMS?" Kugelengkan kepala seraya memutar bola mata. Masih tanpa kata. Bersamaan dengan itu seorang waiter datang dengan nampan yang berisi pesanan kami. Ia meletakkan makanan serta minuman di atas meja. Kemudian kembali pergi setelah Iqbal mengucap kata terima kasih. "Sudah, sekarang makan dulu. Nanti kita sambung ngobrol," ujar Iqbal dan aku hanya menjawab dengan helaan napas yang artinya setuju. Ya, seperti biasa. Iqbal selalu tahu makanan apa yang kumau saat cuaca panas. Mie ayam bakso dengan saus yang membuat semua mie terlihat merah. Aku segera mengaduknya dan mencicipi sedikit kuahnya sebelum kemudian memakannya. Teh botol dingin menjadi minuman pendamping, melegakan tenggorokan begitu aku menyedotnya. "Oke, sekarang apa ada yang ingin kamu sampaikan?" tanyaku setelah ritual makan itu selesai. "Tidak ada. Aku hanya ingin jalan denganmu seperti ini saja!" "Kangen kan?!" ujarku merasa menang. "Makanya jangan sungkan kalau mau kontek ya kontek aja. Kalo kangen ya bilang aja. Mana ada sih yang gak kangen sama orang kayak aku. Apalagi kamu!" "Gak tuh, biasa aja," jawabnya tenang membuatku geram. "Bukannya justru kamu yang kangen?" "Dih, siapa bilang aku kangen kamu!?" balasku sewot. "Nah, itu bilang." Iqbal beranjak dari tempat duduknya lalu keluar menuju parkiran. Untuk beberapa saat aku diam terpaku. Hati ini entah mengapa membenarkan apa yang Iqbal tuduhkan. Iqbal kembali menaiki sepeda motornya dan aku mengikuti tanpa menunggu perintah. Sebelum aku naik, sekilas kuperhatikan pria ini senyum-senyum gak jelas. Apa memang ada hal yang lucu sejak tadi. Motor pun berjalan perlahan sampai beberapa lama, Iqbal menepikan motornya di sebuah kafe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN