Ajakan Rival

1009 Kata
[Semoga segera beres ya, Sayang] balasku kemudian. Sekali lagi, aku tak mengerti apa maksud yang dikatakan Iqbal tadi. Aku tahu betul Rima temanku paling baik, bahkan jika aku sedang bermain ke rumahnya dia selalu memberikan aku banyak makanan. Lalu Rival, dari sejak kita bersama ia tak pernah banyak tingkah aneh. Mungkin, hanya kemarin saja yang tiba-tiba meminjam uang. Namun, seperti yang diketahui sebelumnya itu 'kan buat bayarin biaya kuliah. Kupejamkan mata hingga terlelap. Aku tak tahu, diri ini tak sadar berapa menit. Hingga terdengar suara panggilan bunda mengingatkanku untuk segera bangun dan shalat ashar. "Queen … Queen … ayo, bangun!" tubuhku terasa terguncang oleh tangan bunda. "Emmmm … iya, Bun," jawab ku sedikit malas. "Sholat ashar dulu, udah jam empat!" seru bunda mengingatkan. Teriakkannya semakin memekakkan telinga. Dengan malas aku pun segera beringsut pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Bunda ini memang sedikit keras tentang sholat. Walau kami bukan keluarga yang agamis, tapi Ia akan memaksaku sekuat tenaga untuk urusan sholat ini. Ini jadi salah satu alasan untuk aku ngekost berjauhan dengan bunda. Setidaknya, tak ada yang terus memintaku agar terus shalat. Selesai shalat ashar aku kembali ke bawah. Sepertinya, Iqbal sudah pulang sejak aku meninggalkannya tadi siang. Aku rasa, untuk kali ini aku akan mendiamkannya dalam waktu yang cukup banyak. Jika sebelumnya kita akan biasa jika bertemu lagi, maka untuk saat ini aku tidak akan begitu. Karena jika tidak, dia bisa-bisa membual lagi tentang Rival. Ponselku berdering saat aku mendaratkan pantatku di kursi teras rumah. Aku memang sengaja membawa ponsel untuk memainkannya di sini. Namun, siapa sangka Rival yang menjadi kekasih menelpon tepat pada waktunya. "Hai, sudah beres Sayang?" tanyaku begitu ikon telepon genggam berwarna hijau kugulir ke atas. "Sudah. Malam ini ada waktu?" tanya Rival kemudian. "Emmm … ada. Kenapa?" tanyaku sedikit heran. "Aku rindu kamu. Malam ini main denganku mau?" tawarnya kemudian. Mendengar ucapannya itu seketika aku dibuat melayang olehnya. Ah, pacarku ini memang bisa saja membuatku berbunga-bunga. Mendengar kata rindu terucap darinya benar-benar menambah energiku di sore hari. "Gimana?" tanyanya lagi mengulang. Namun, aku baru sadar sesuatu. "Emmmm malam, ya?" Aku sedikit ragu juga bingung karena dia mengajak aku bertemu malam hari. Aku tak pernah keluar malam sebelumnya. Saat pacaran dulu pun paling tidak sampai sore, itu merupakan batas waktu yang bunda kasih untukku. Tidak hanya saat pacaran, bahkan jika main bersama teman sesama perempuan pun bunda tak pernah mengizinkan sampai langit gelap. Pernah sekali saat itu, pacar yang kini sudah menjadi mantan masih berdiam diri di rumah saat langit mulai gelap. Itu karena hujan lebat turun di luar sana. Selain itu, yang terus mengajaknya ngobrol adalah bunda. Aku tak diizinkan lagi menemaninya kecuali bunda ada di sana. Ya, begitulah aturan di rumahku. "Iya, gimana?" tanya Rival lagi. "Main di rumah aku aja, ya!?" ajakku pada Rival kemudian. Jujur saja, aku merindukan Rival dan ingin segera bertemu rasanya. Namun, aku pun tak bisa membantah aturan yang ada. Lama Rival terdiam, tak menjawab ucapanku. Dari suaranya terdengar ia seperti menghela napas kecewa. "Masa di rumah, kita bukan anak kecil lagi, Queen!" tolak Rival tiba-tiba. Ya, seperti yang kuduga dia inginnya kita pacaran seperti umumnya remaja. "Val, sebenernya aku gak biasa keluar malam. Bunda gak pernah ngizinin, tapi nanti aku coba bicara deh!" jawabku akhirnya. "Oke! Aku jemput nanti malam, ya!" Sambungan telepon pun ditutupnya. Aku segera menuju kamar mencari pakaian yang pas untuk dipakai nanti malam. Kupilih kaos blouse warna putih dengan jumpsuit demin. Lalu aku menghampiri bunda untuk meminta izin padanya. "Bun, nanti malam Rival ngajak main keluar boleh?" tanyaku sedikit ragu. "Malam?" Bunda yang sedang menonton televisi menoleh ke arahku. Aku mengangguk cepat meyakinkannya. "Di rumah saja, ya!" pintanya kemudian. "Tapi Rival mengajakku di luar, Bun." "Gak apa-apa, nanti biar bunda yang bilang!" "Ah, baiklah." Aku pun segera pergi untuk mandi. *** Menjelang malam, tepat pukul 19.00 WIB Rival datang menjemputku. Saat aku hendak membukakan pintu, bunda mencegahku biar dia saja yang membukanya, katanya. Aku pun menunggu di ruang tengah. Bunda meminta Rival untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Mereka pun mengobrol, aku mendekati perlahan untuk menguping apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya. "Nak Rival mau ajak Queen main?" tanya bunda lembut. "Iya, Tan. Mau ajak dia makan di luar, karena sekarang aku terakhir di sini. Besok lusa mau pergi ke Jakarta," terang Rival. "Di sini aja ya, Val. Bunda gak bisa kalau biarin kalian keluar berdua malam-malam." "Oh gak apa-apa, Bunda. Lagian itu yang minta Queen sendiri, kok." Tunggu! Apa yang dikatakan Rival barusan? Kenapa dia mengatakan aku yang mengajaknya!? Aku segera pergi ke dapur untuk mengambil nampan dan mengisi gelas dengan air. Entah, apalagi yang dikatakan Rival pada Bunda. Tapi yang jelas saat ini, aku harus bergabung dengan mereka untuk menegur Rival tentunya. Aku berjalan menghampiri Rival, lalu meletakkan minuman yang ku buat di depannya. Ia tampak sedikit terkejut sesaat, tapi segera bersikap biasa-biasa lagi. "Nah, Queennya sudah ada. Tante ke dalam dulu, ya!" ucap bunda. Rival segera mengangguk. "Kenapa kamu bilang ke bunda kalau aku yang ngajak?" "Ya, biar dibolehin lah! Kenapa keberatan?" "Ng-nggak, kok!". Aneh saja, kenapa harus berbohong? "Terus sekarang gimana?" tanyaku. "Ya, gimana lagi. Bundamu gak ngizinin!" Ku lihat wajah Rival tampak kesal. Setelah itu, kami berbincang sebentar. Tak banyak yang dibicarakan. Rival hanya mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan pergi ke Jakarta. Kemudian ia pun segera pamit pulang. Setelah Rival pulang, aku kembali ke kamar. Saat kami ngobrol tadi, Kulihat raut wajah Rival yang terus menampakkan rasa kesal. Dia pun terlihat gusar seolah ingin segera pulang, hingga sampai tiga puluh menit kemudian ia pun pulang. Ada apa dengannya? Apa ada sesuatu yang ingin dikatakan sehingga memintaku untuk keluar? Atau hal lain yang membuatnya tak bisa dibicarakan di sini? Segera ku hubungi nomor teleponnya. Lama nada sambung terdengar dan tak ada jawaban. Ku ulangi beberapa kali dan hasilnya tetap sama, tak ada jawaban. Tak mau ambil pusing aku pun segera memejamkan mata. "Queen ... jangan lupa shalat isya!" Teriakkan bunda membuatku urung untuk terlelap. Ah, bunda telingaku rasanya sudah panas lagi-lagi diingatkan shalat! Aku pun segera melaksanakan shalat. Lalu setelahnya, kembali memejamkan mata dan tidur terlelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN