Mulai Nge-kost

1058 Kata
Dadaku tiba-tiba sesak. Pandanganku gelap. Aku seperti sedang jatuh dalam jurang kehancuran. Rasa sakit di dalam hati sangat terasa. Ada apa ini? Di mana aku? Siapa pun tolong! Rasanya aku tak sanggup lagi. *** Nafasku tersengal-sengal saat mata ini terbuka. Bunda sudah ada di samping dengan wajah paniknya. Sekujur tubuh ini dibasahi oleh keringat yang keluar bersamaan deru nafas yang cepat. Aku seperti telah lari maraton. "Kamu mimpi buruk? Ayo, minum dulu!" Bunda menyodorkan segelas air hangat. Aku pun bergegas meminumnya. Aku diam sejenak. Kembali mengingat apa yang terjadi dalam mimpi tadi. Tak ada satu pun yang terbayang, tapi rasa sakitnya masih amat sangat terasa. Aku seperti kehilangan harapanku. "Makanya, kalau mau tidur itu baca do'a dulu!" tegur bunda. Aku hanya mengangguk. "Sudah tenang? Ayo, segera ambil air wudhu. Kita shalat berjamaah!" titah bunda. Ah, sepertinya bunda ke sini memang hendak membangunkanku untuk shalat. Kebiasaan bunda baru-baru ini. Awalnya keluargaku tidak begitu peduli urusan shalat, terutama bunda. Ya, mungkin bunda memang suka shalat tapi tidak serta merta mengajakku. Ah jangankan mengajak, mengajarkan pun tidak. Namun, walau begitu aku masih bisa shalat karena ajaran guru ngajiku waktu kecil tapi tetap saja aku melakukannya masih bolong-bolong. Entah sejak kapan bunda mulai ikut kajian bersama ibu-ibu kompleks. Hingga sekarang dia selalu mengikuti kajian itu, dan ya mengingatkan aku untuk selalu shalat sebagai kebiasaan barunya. Bagus sih, tapi buat aku yang belum terbiasa, ini malah jadi beban. "Ya Allah, masih belum wudhu juga?!" Wajah bunda yang telah terbalut mukena menyembul dari luar. "Iya, iya!" Aku bangun dengan malas menuju kamar mandi. Kemudian mengambil air wudhu, dan setelah itu pergi ke ruang tengah untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah. Setelah selesai shalat kuberanikan diri untuk bicara pada ibu. Aku ingin segera mendiami tempat kost itu. Tentu saja, setelah kepergian Rival. "Bun, Queen mau segera pergi nge-kost dari sekarang biar udah betah pas masuk kuliah nanti." "Emmmm … ini masih lama loh, Queen. Kenapa tiba-tiba pengen ngekost segera?" "Ya nggak apa-apa sih." "Tapi oke deh, nanti bunda siapkan dulu keperluan kamu!" "Oke, siap terima kasih, Bunda." Aku kembali ke kamar, bersamaan dengan itu ponselku berdering. Saking senangnya aku segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur untuk segera mengangkatnya, berharap panggilan itu dari Rival. Namun, saat ku lihat nama kontak yang tertera aku kecewa. Rupanya panggilan itu dari Iqbal. Kubiarkan tak ku jawab. Aku masih kesal dengan bualannya kemarin tentang Rival. Hingga akhirnya ia mengirimkan pesan. [Kamu marah padaku? Aku hanya menyampaikan apa yang kulihat dengan mata kepala sendiri. Terserah percaya atau tidak. Aku gak salah. Jangan harap aku akan meminta maaf!] Pesannya sedikit mengusik hati ini. Entah kenapa dengan pesan itu aku merasa kehilangan Iqbal. Namun, aku tak akan mengalah. Akan kubiarkan dia beberapa saat. Aku kembali menghubungi Rival, tapi tetap sama. Bahkan saat ini nomornya tak dapat dihubungi. *** Sudah dua hari dari sejak aku meminta bunda untuk segera pergi ke kost. Dan hari ini aku pun membulatkan niat. Rival, masih sulit dihubungi padahal aku mengirimnya pesan bahwa aku juga akan pergi ke Bandung. Aku masih terus menatap layar handphone berharap Rival memberitahu kapan ia akan pergi. Setidaknya aku ingin menemuinya sebelum aku memutuskan pergi. "Queen, sudah siap? Ayo!" ajak bunda, ia telah rapi dengan pakaian gamisnya serta jilbab lebar menutupi dadanya. Mau tak mau aku pun beranjak mengikuti bunda ke bawah. Aku tak mau jika bunda tahu, anaknya ini sedang galau menunggu pesan dari kekasihnya. Dan ya, barangku telah lengkap semua diangkut dengan mobil bak terbuka. "Udah, kayak pindahan aja!" gumamku melihat hampir barang-barang rumah dibawa. "Tanpa disadari ini yang bakal kamu butuhkan! Lebih enak pakai punya sendiri!" Aku hanya mengangguk kemudian ikut masuk ke dalam mobil ayah bersama bunda. "Yakin, nih? Gak perlu ajak Iqbal?" tanya bunda. "Gak perlu, Bun. Kasian takutnya dia gak nyaman," jawabku. Sebelum bersiap tadi, bunda memintaku untuk menghubungi Iqbal. Namun aku menolak dan mengatakan bahwa saat pertama aku ke kostan itu Iqbal tak mau. Iqbal seperti menghindari untuk datang ke sana, bunda pun mengerti. Selama perjalanan lagi-lagi aku terus melihat-lihat ponsel memastikan Rival meneleponku atau hanya sekedar mengirim pesan. Dan saat hampir saja kami sampai di kostan, Rival mengirimkanku pesan. [Maaf ya, aku sibuk berkemas. Sekarang udah mau berangkat. Kamu gimana? Udah berangkat juga belum?] Aku menghela nafas lesu. [Sayang sekali, aku sudah sampai di Bandung] balasku. [Semoga betah ya, Sayang] [Iya, kamu juga.] Tak ada lagi balasan hingga aku benar-benar sampai di tempat kostku. Bunda langsung menemui pemilik kost yang merupakan ibunya Ningsing. Dan aku langsung menuju kamar dengan ditemani Ningsih. "Eh, Teh Queen udah ke sini lagi? Pindah sekarang, Teh?" tanya Ningsih dengan suara khasnya. "Iya, aku mau pindah dari sekarang!" jawabku membuat Ningsih begitu girang. "Tapi kok, sepi ya?" "Ini 'kan hari senin, Teh! Yang lain pada kerja!" "Ah, gitu ya!" Aku duduk di atas ranjang seraya memberi arahan pada mang Agus yang sedang mengangkut barang-barang. Ningsih ikut membenahi barang-barangku. Hingga saat bunda datang, semua selesai. "Semoga kamu kerasan ya di sini, Sayang!" ucap bunda, ia menciumiku. "Iya, Bunda. Bunda baik-baik ya, di rumah!" jawabku. Kulihat mata bunda berkaca-kaca. Ya, bagaimanapun berpisah dengan anak secantik aku pasti sangat menyakitkan. "Oh ya, bekal kamu yang kemarin masih ada?" tanya bunda setelah diam beberapa saat. Ah, aku baru ingat bahwa uangku dipinjam oleh Rival. Namun kujawab buru-buru agar bunda tak tahu. "Masih, Bun." "Syukurlah, karena ayah sepertinya akan kirim lagi paling cepat bulan depan." "Iya, gak apa-apa, Bun." "Nah, ini berasnya! Kamu bisa 'kan masak nasi di rice cooker?" Aku mengangguk tapi diiringi ragu. "Bunda 'kan udah ajarin!" Bunda mengingatkan. "Tenang aja, Tante, nanti Ningsih bantuin!" sahut Ningsih. "Ah, titip Queen ya, Cantik!" "Siap, Tante!" "Untuk temen nasinya, bunda udah tanya ibu kost di depan sana ada warung makan jadi tinggal beli aja. Pokoknya, kamu harus makan yang benar!" Aku mengangguk saja. Bunda ini aneh, menyuruhku untuk makan dengan benar tapi bekal pun tak diberi malah mengandalkan uang jatah bulanan dari ayah. Mana cukup?! "Ya, sudah. Bunda pulang dulu. Semoga kamu betah!" Aku mengantar bunda hingga ke depan. Ada sedikit rasa sedih karena kini aku tinggal mandiri. Namun, rasa itu kembali terlupakan oleh tingkah Ningsih. Ia menarik lenganku mengajak kembali ke kamar. Lalu membantu merapikan pakaian serta barang-barang kecil sambil mengobrol hal-hal biasa sehingga aku tak larut dalam rasa sedih. Ah, sepertinya dia memang sengaja melakukan hal itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN