Posesif

1080 Kata
Setelah sarapan, aku bersantai di ayunan yang berada di samping rumah. Iqbal kembali mengekor, ia duduk tepat di hadapanku. "Ada apa?" tanyaku kemudian, karena ia masih belum buka suara sejak tadi. "Aku merasa kamu berubah," jawabnya, ia lekat menatap ke arahku. "Berubah gimana?" Aku balas menatap dengan membulatkan mata agar ia bisa menemukan dimana letak perubahanku. "Sejak kemarin tepatnya. Apa ini semua karena Rival?" Ah, lagi-lagi dia membahas itu! "Tak ada yang berubah, Bal. Awal aku bertemu kamu kemarin pun aku merasa kamu berubah, tapi setelah beberapa hari kamu kembali seperti biasa. Mungkin itu hanya perasaanmu saja!" jelasku baik-baik. Aku malas jika harus berdebat dengannya. "Tidak, Queen. Kamu berbeda!" Iqbal bersikukuh. "Jangan hanya karena aku tidak pamit sekali pada bunda lalu aku dikatakan berubah!" tukasku membela diri. Jika ku ingat kembali, hanya itu rasanya kesalahan yang kuperbuat tanpa sengaja. Masa iya sih, hanya karena itu? Iqbal bergeming tak meneruskan pembicaraan hal itu. Beberapa detik kemudian, ia berdiri lalu pergi keluar. "Mau kemana?" Aku bertanya seraya mengikutinya. "Kalau mau ikut, ikuti aku saja!" Aku pun mengikutinya. Ia berjalan dengan langkah kaki yang cukup cepat sehingga aku sedikit kesulitan mensejajarkan langkahnya. Kemudian ia belok ke arah kanan. Aku tahu jalan ini, sepertinya ia akan membawaku ke taman. Benar saja, setelah beberapa meter berjalan kami sampai di taman yang baru-baru kemarin ini dikunjungi. Taman ini masih cukup sepi, mungkin karena masih pagi. Iqbal duduk di kursi yang tersedia di sana dan aku pun duduk di sampingnya. Hening. Iqbal tek berbicara sama sekali membuat ku sedikit kesusahan mencari topik yang pas untuk mencairkan suasana. Biasanya sih, kalau lagi gak ada pembahasan gini aku sering curhat tak peduli didengar atau tidak. Sejurus kemudian aku ingat akan hal semalam. "Bal," panggilku memastikan bahwa jiwa raganya memang ada di sini. "Hhhmmmm," sahutnya enggan membuka mulut. "Semalam aku transfer uang ke Rival," ucapku. Entah, tiba-tiba saja ingin membahas hal itu. "Apa? Buat apa? Maksudnya gimana? Kamu gak salah kasih uang ke cowok?! Sama aku aja kamu gak pernah!" Iqbal beringsut dari tempat duduknya. Seketika pernyataanku membuatnya membuka mulut dan memberondong ku dengan banyak pertanyaan. "Sebentar, aku belum selesai bicara. Kamu duduk dulu!" pintaku dengan menarik tangannya agar mau kembali duduk. Iqbal pun menuruti. "Ayo coba jelaskan!" tuntutnya. Kini matanya tajam menatap ke arahku. "Ya, jari semalam itu Rival pinjam uang. Katanya sih buat tambah-tambah biaya kuliah. Ya, kalau gini masa aku gak bantu. Dia buat kuliah, loh!" jelasku baik-baik. "Berapa?" tanya Iqbal kemudian. "Satu ...," jawabku ragu. "Satu apa?" tanya Iqbal tak memberi jeda. "Satu juta." "Apa? Queen, yang benar saja! Duh, kamu!" Iqbal mengusap wajahnya kemudian menggasak rambutnya. Ia tampak frustasi dengan apa yang baru kusampaikan. "Tapi dia bakal ganti kok, bulan depan!" terangku segera agar Iqbal tak perlu bereaksi berlebihan. "Tetap saja, Queen! Pertama, Rival ini meski dia pacarmu tetap saja dia orang baru. Kedua, jumlah yang kamu pinjamkan terlalu besar. Jika memang hanya untuk menambah biaya kuliah yang kurang gak mungkin sampai sebesar itu. Ketiga, bisa gak sih kamu jadi orang jangan gampang percaya orang lain. Gimana kalau dia itu hanya manfaatin kamu!" Iqbal terus berbicara membuat aku menyesali telah mengatakan hal itu padanya. Ah, kenapa juga sih aku selalu ingin bercerita pada orang ini! "Kenapa kamu berpikir buruk sih, Bal. Aku 'kan cuma mau bantu, lagian aku juga tahu rumahnya kan kalau emang dia gak dapat dipercaya. Rima, temanku pasti bakal bantu." "Ya, terserah kamu. Tapi gini, Queen. Kamu ini beranjak dewasa, kamu pasti banyak menemui hal-hal baru yang kelihatan baik padahal tidak. Dunia ini gak seindah itu, Queen. Apalagi kamu mau kuliah di Bandung, jadi orang jangan polos polos aja! Banyak kejahatan terbungkus dengan kebaikan," papar Iqbal, dia mulai berceramah. Kenapa sih dia gak percaya banget sama apa yang aku jalani! Huh, sebel! "Ya udah, sih! Mau gimana lagi, sekarang udah terlanjur!" "Ya, terserah kamu!" Kini Iqbal mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu ia memainkan benda pipih tersebut mengabaikan aku yang ada di sampingnya. *** "Queen … Queen …," panggil Iqbal dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia kembali dari sepulangnya tadi. Ya, setelah kami cukup lama diam di taman, Iqbal mengajakku segera pulang. Dan sekarang, belum sampai tiga puluh menit dia sudah kembali. Aku bergegas turun dari kamarku yang berada di lantai atas. Pun begitu dengan bunda ia yang sedang sibuk berkutat di dapur ikut ke depan menghampiri Iqbal. "Ada apa, Bal?" tanya bunda, karena dia yang lebih dulu menghampiri Iqbal. "Eh, hehe … gak ada apa-apa, Bun," jawab Iqbal salah tingkah. Kulihat ia sedang menyembunyikan sesuatu, tampak dari telapak tangan kanannya yang tiba-tiba mengusap tengkuk. "Oh, kirain ada apa! Bunda kaget, karena kamu panggil-panggil gitu!" "Hehe bukan apa-apa, Bun. Ini ada yang mau aku omongin sama Queen." Bunda pun mengangguk lalu kembali ke dapur. "Ada apa?" tanyaku mengulang pertanyaan bunda. Iqbal tak menjawab, ia hanya mengisyaratkan dengan kedua alisnya agar kami membicarakannya di luar. Aku pun menuruti dan keluar bersamanya. "Apa?" tanyaku lagi, tak bisa lagi menahan rasa penasaranku. "Kamu, mending putusin Rival dan minta uang kamu kembali! Aku tadi lihat dia jalan sama Rima!" ujar Iqbal seketika membuatku sangat kesal. "Apa sih kamu? Kok, tiba-tiba! Jangan ngarang deh!" cercaku kesal. "Aku serius, Queen. Sepulang tadi di taman, aku pergi ke kafe sekedar menenangkan diri. Taunya tuh pacar kamu sama temen kamu malah lagi asyik bermesraan di sana!" "Kamu salah orang kali!" "Gak, Queen. Aku nyesel gak ajak kamu tadi!" "Kalo memang iya, kenapa gak kamu foto!" "Ah, saking kesalnya aku langsung lari ke sini buat ngasih tahu kamu. Tapi, kalo kamu gak percaya, ayo sekarang ke sana! Biar kamu liat sendiri!" "Gak perlu, bisa aja kan mereka jalan biasa karena emang tetanggaan!" "Kamu kira aku gak bisa bedain mana yang lagi kencan dan mana yang emang lagi mesraan!" Semua rasa campur aduk dalam hati. Benarkah apa yang dikatakan Iqbal? Atau dia sengaja membual biar aku jauhin Rival? "Maaf, Bal. Kamu keterlaluan! Aku gak percaya kata-kata kamu! Memang sejak awal kamu gak suka 'kan sama Rival? Punya dendam apa sih sama dia?!" Aku segera pergi meninggalkan Iqbal. Terserah, dia mau bilang apa. Yang pasti saat ini, aku enggan berbicara dengannya. Aku merasa dia terlalu posesif sebagai sahabat. Aku segera masuk ke dalam kamar dan mengunci diri. Kubuka ponsel yang sejak pagi disimpan, satu pesan masuk sejak tadi dar Rival. [Aku rindu kamu. Tapi sayang, hari ini aku harus segera membereskan pembayaran kuliah. Makasih ya, Sayang, berkat kamu aku jadi bisa lunasi biaya pendaftarannya segera] Tuh kan, Rival malah sedang mengurus biaya pendaftaran kuliahnya. Aku yakin Iqbal salah orang. Atau mungkin dia mengarang cerita?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN