Cari Kosan

1415 Kata
Iqbal sudah menungguku di teras rumah saat aku masih merapikan rambutku dan memoles sedikit wajahku. Pagi ini kami memutuskan untuk mencari kosan atas saran bunda. Katanya lebih cepat lebih baik. Aku berbalik melihat bagian kanan dan kiri tubuhku depan cermin memastikan sudah terlihat oke lalu berputar. "Udah, kok, udah cantik," ujar Iqbal tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar. Memang sejak tadi kubiarkan pintu terbuka. "Bentar aku harus jepit poniku, ini udah panjang soalnya," sahutku dengan mata masih fokus melihat pantulan cermin. "Hilih … ribetnya jadi cewek!" "Gitu-gitu kamu juga suka 'kan?" "Siapa? Siapa yang suka siapa?" jawabnya dengan meninggikan suara, wajahnya merah tak biasa. "Ya suka ceweklah! Masa kamu suka cowok? Jeruk makan jeruk dong!" timpalku. Aku tak mengerti kenapa dia bereaksi seperti itu. Iqbal beranjak dari tempatnya mengabaikan jawaban dariku. Kuambil slingbag yang menggantung di tempatnya lalu mengekori Iqbal. Kemudian ia segera menyalakan motor maticnya setelah mencium punggung tangan bunda. Aku pun menyalami bunda lalu duduk di belakangnya. "Hati-hati di jalan, ya! Iqbal, bawa motornya jangan kebut-kebut!" ujar bunda. "Siap, Bunda!" sahut Iqbal bersemangat. "Ya udah, Queen pergi dulu ya, Bun." "Hati-hati ya, Sayang. Semoga segera dapat kosan yang cocok! Pulanglah sebelum malam!" "Baik, Bun!" Iqbal pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Perjalanan Purwakarta-Bandung itu cukup dekat, terlebih jika ditempuh dengan kendaraan beroda dua. Hanya butuh waktu sekitar satu hingga dua jam. Walau begitu, ini kali pertamanya aku berboncengan dengan Iqbal ke luar kota. Kami berbincang selama di perjalanan. Seperti biasa Iqbal bercerita tentang kegiatannya di kampus walau cerita itu sudah sering aku dengar. Namun, inilah aku si pendengar setia tak pernah keberatan walau cerita itu kudengar untuk keseribu kalinya. Aku sangat menikmati perjalanan ini. Terutama aku senang melihat Iqbal yang kembali seperti dulu jika dibandingkan dengan kemarin. Gini-gini aku tak mau kehilangan sahabatku satu-satunya itu. Aku jadi teringat, saat aku duduk di bangku SMP. Bunda sengaja menyekolahkanku di sekolah Iqbal agar pergaulanku terpantau. Saat itu, tak ada seorang pun teman SD-ku yang meneruskan ke SMP yang sama denganku. Cukup sulit untuk menyesuaikan diri dan mencari teman baru. Sehari-hari aku hanya diam menyendiri di dalam kelas. Saat istirahat Iqballah yang menemaniku untuk sekedar jajan dan menghabiskan makanan. Namun, lambat laun teman-teman mendekatiku, walau ujung-ujungnya mereka meminta agar bisa dekat dengan Iqbal karena mengira kami saudara. Akan tetapi, Iqbal selalu menolak untuk aku kenalkan dan akhirnya hanya segelintir orang yang mau berteman denganku. "Masih betah di atas motor?" Suara Iqbal membuyarkan lamunanku. Entah sejak kapan motornya berhenti. Aku pun turun dari motor. Aku kini berada di depan bangunan bertingkat tiga dengan kamar berjejer di setiap lantainya. Di sampingnya sebuah rumah ukuran sedang menghadap bangunan itu. "Yuk, masuk!" ajak Iqbal, ia membuka gerbang seraya menarik lenganku. "Eh, kemana?" tanyaku masih bingung. "Ini kosanku. Kita istirahat dulu di sini, oke!" Aku mengikutinya tanpa menjawab. Kosan ini cukup sepi, terlihat dari hampir semua pintu kamar terkunci gembok. Mungkin penghuninya sedang berlibur sebagaimana Iqbal. Kemudian kami menaiki anak tangga yang menempel di samping kanan bangunan tersebut. Kamar Iqbal berada di lantai dua. "Eh, Bal. Emang gak apa-apa kamu bawa tamu cewek?" Kini aku merasa takut yang punya kost tiba-tiba datang lalu curiga. "Gak apa-apa, kok. Lagian ini siang!" jawabnya santai. Iqbal pun membuka pintu kamar yang letaknya paling kiri. Di sampingnya terdapat anak tangga menuju lantai tiga. "Yuk, masuk!" ajaknya. "Kamu tunggu dulu di sini, ya! Aku mau ke rumah ibu kost buat laporan kedatangan kamu sekalian beli minum di bawah," ujarnya kemudian. "Oke!" Kamar ini cukup luas dengan ukuran kira-kira 3x4 meter. Di dalamnya terdapat satu buah kasur ukuran 140x200, satu buah lemari dua pintu, satu buah kipas angin tempel, serta satu buah rice cooker, semua tersusun rapi. Selain itu, kamar ini bersih dan wangi. Cukup menakjubkan untuk ukuran anak cowok memiliki kamar serapi ini. Aku duduk di atas kasur. Lalu mataku menangkap beberapa foto kecil menempel di dinding dekat kasur. Kulihat lebih dekat. Rupanya, ini adalah fotoku dengan Iqbal saat SD, SMP dan SMA. Tiga foto itu sebagai bukti lamanya persahabatan kami. Tak kusangka dia masih menyimpan foto itu. Padahal punyaku entah kemana. Yang tersisa hanya foto saat SMA tepatnya saat aku kelas sepuluh dan Iqbal kelas sebelas karena itu masih baru. Foto saat kecil juga masih ada, itu pun karena bunda menyimpannya di album kenangan. Namun, foto saat SMP aku benar-benar tak punya. Entah terbuang atau terselip di tumpukan buku. Aku benar-benar lupa. Aku jadi teringat saat momen itu diabadikan. Kala itu, kami melakukan perkemahan di sawah kering yang tak jauh dari sekolah. Ini kali pertamanya aku tidur di luar rumah. Karena merasa bangga, aku meminta Iqbal mengabadikan menggunakan handphone Nokia miliknya sebagai bukti bahwa aku bisa mandiri. Lalu Iqbal meminta temannya memfoto kita berdua. Akan tetapi, seperti yang kalian tahu, malam harinya aku nangis kejer minta pulang dan Iqballah yang mengantarku malam-malam sampai rumah. Tanpa disadari aku tertawa kecil mengingatnya. "Ngapain ketawa sendiri?" Lagi-lagi suara Iqbal mengejutkanku. Ia datang dengan dua botol teh serta dua bungkus yang entah isinya apa. "Kamu belum makan?" Mataku tertuju pada bungkusan dari kertas nasi. "Udah, kok. Cuma aku lagi kangen sama lotek buatan bi Ina. Cobain deh! Enak, lho! Ini aku sengaja beli dua." Iqbal memberikan satu bungkus lotek dan satu botol teh. "Enggak ah, aku masih kenyang," tolakku, aku hanya menerima teh botolnya. "Cobain! Dikit aja gak apa-apa." Ia terus memintaku untuk mencicipinya. Aku buka bungkusan tersebut. Bau bumbu kacang yang pertama tercium menggugah selera makan. Kugunakan sendok plastik yang ada di dalamnya, lalu menyendokkan sedikit hanya untuk kucicipi. Iqbal terus memperhatikan menunggu penilaianku. Kupasang wajah seolah tak suka dengan rasanya sambil bilang, "Enak!" "Huh, dasar! Kirain mau bilang gak enak!" Aku tertawa. Setelah cukup lega Iqbal segera membuka bungkusan miliknya. "Dasar! Harus banget aku makan!" protesku. "Biar ada tenaga cari kosan!" "Cepet, ah! 'Kan kata bunda harus pulang sebelum malam?!" "Iya, iya, Bawel!" Setelah menghabiskan lotek yang dibeli Iqbal, aku beranjak untuk segera mencari kosan. Jika aku terus saja duduk, Iqbal akan tetap terus di tempatnya. Dengan begini ia pun terpaksa mengikuti seperti yang dilakukannya saat ini. Dimulai dari kosan terdekat. Tak jauh dari kosan Iqbal berada, sekitar kurang lebih seratus meter ada sebuah kosan putri. Kosan ini pun sama sepinya mungkin karena penghuninya juga mahasiswi yang sedang menikmati liburan di kota masing-masing. Iqbal segera mencari tahu dimana rumah pemiliknya. Tidak seperti rumah pemilik kosan yang Iqbal tempati, rumah pemilik kosan ini berada di belakang bangunan kosnya. Rumahnya pun cukup mewah. Aku bersama Iqbal segera mengucapkan salam dan menekan bel. Tak lama pintu terbuka. "Wa'alaikum salam. Siapa, ya?" tanya wanita paruh baya berjilbab hitam. "Ini, Bu. Saya mau cari kosan buat teman saya ini," ucap Iqbal mengutarakan maksudnya. "Ah, kebetulan sekali sudah penuh, Dek! Kemarin ada yang kosong empat tapi baru aja ada yang udah booking!" jawab wanita itu. "Ah, tidak apa-apa, Bu. Terima kasih. Saya cari di tempat lain," pamit Iqbal. Aku hanya mengangguk menghormati wanita itu lantas mengekori Iqbal kembali ke kosannya. "Masih ada yang deket sini gak, Bal?" tanyaku seraya menyejajarkan langkah kaki panjangnya. "Ada, tapi …." Iqbal menggantungkan ucapannya membuat aku penasaran. "Tapi kenapa?!" sahutku cepat. "Kita cari ke tempat yang lebih jauh aja deh!" ajaknya, lalu mengambil motor setibanya kami di kosan Iqbal. Aneh! Katanya harus cari kosan yang dekat dengan kosan dia, tapi memilih yang lebih jauh?! Aku hanya mengikuti saja, bergegas kudaratkan bokongku di jok bagian belakang. Hari semakin siang, terik panas matahari menyengat menyentuh kulit wajahku. Ini sangat mengerikan, tapi untungnya tadi aku telah mengoleskan sunscreen lebih banyak. Kalian tahu apa yang membuatnya begitu mengerikan? Karena sinar matahari yang berlebihan dapat merusak serat kolagen dan elastin. Akibatnya, kulit akan tampak keriput, kendur, dan pori-pori membesar. Selain penuaan kulit, efek jangka panjang radiasi sinar matahari pun bisa menyebabkan kanker kulit. "Lagi-lagi kamu betah duduk di belakangku!" tegur Iqbal untuk yang kesekian kalinya mengejutkanku. Tanpa berkomentar aku segera turun. Kemudian Iqbal mengajakku masuk ke dalam rumah yang kini berada di hadapan kami setelah sebelumnya ia memarkirkan motor. Aku tak mengerti sahabatku ini sedang membawa kemana, karena aku tak melihat penampakan bangunan kos di sini. Seperti biasa kami menekan bel diiringi ucapan salam. "Assalamualaikum," ucap Iqbal untuk yang kedua kalinya, karena ucapan salam pertama tak kunjung ada yang menjawab. "Wa'alaikum salam," jawab seseorang dari dalam saat baru saja Iqbal hendak mengucapkan salam yang ketiga. "Ada perlu apa ya, Nak?" tanya seorang wanita yang usianya tak jauh dari yang kutemui tadi. "Ini, Bu, saya mau cari kamar kost buat temen saya ini." Lagi, Iqbal mengutarakan maksudnya tanpa bertanya, apakah ada kamar yang kosong? Harusnya 'kan gitu? Hhhmmm. "Ah, sayang sekali udah penuh, Nak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN