Cari Kosan (2)

1094 Kata
Aku merasa dejavu dengan adegan yang terus terulang ini. Bergegas kami mencari kosan di tempat lain. Dan hasilnya sama, semua kosan penuh. Hampir semua kosan yang dekat dengan kampus kami datangi satu persatu. Hanya satu yang belum, yakni kosan yang dekat dengan kosan Iqbal. "Cari lagi ke tempat lain, yuk!" "Kalo makin jauh dari kampus gak mau lah!" tolakku cepat. "Ya, mau gimana lagi?" tanyanya seolah memang tak ada pilihan lagi. "Yang itu 'kan belum kita datangi!" "Yang mana?" "Yang kata kamu ada satu lagi yang deket kosan kamu!" jelasku. "Yang jauh aja udah pada penuh, apalagi yang dekat!" sanggahnya. "Ya udah, kalo gitu nanti aku cari sama bunda aja!" "Janganlah! Aku malu sama bunda!" protesnya. Hahhh mulai deh, kami sama-sama keras kepala. Tapi saat ini, aku gak bakal mengalah karena saat ini aku berada di posisi yang benar. "Ya udah, kalo gitu datangi kosan yang itu dulu. Kalo misal penuh juga, oke aku cari yang lebih jauh!" tegasku. "Oke deh!" jawab Iqbal mengalah wajahnya tampak sedikit muram bak anak kecil yang tak dapat mainan yang diinginkan. Ia melajukan motor dengan malas membuatku ingin sekali mengambil alih. Lambat, teramat lambat motor yang kunaiki melaju. Bahkan, orang-orang di jalanan pun menatap ke arah kami heran karena juga mungkin kesal melihat Iqbal yang melajukan motor sudah seperti siput merayap. "Bal, kalo kamu jalan gini terus aku turun nih! Kayaknya masih cepet kalo aku jalan deh!" protesku. Ia bergeming seolah tak mendengar apa yang aku katakan. "Oke! BERHENTIIII!" teriakku tepat di dekat telinganya. "Aw!" jeritnya. "Iya, iya, aku cepetin." Barulah ia menjalankan motor dengan benar. Ah, entah apa yang membuat dia begitu tak ingin mengantarku ke kosan itu. Apa karena berhantu? Atau kosan itu ada mantannya? Atau bahkan pacarnya? Ah, benar … benar, aku rasa di antara pilihan kedua dan ketiga salah satunya. "Bal, apa karena di sana ada mantan pacar kamu?" tanyaku. "Tidak. Kamu tahu sendiri 'kan, aku gak punya pacar!" jawabnya masih dengan nada emosi. "Ya, siapa tahu diam-diam kamu menyembunyikan sesuatu!" ucapku. "Emmmm … atau masih jadi pacar belum jadi mantan? Bukannya kalo gitu bagus, aku jadi langsung punya temen 'kan jadinya? Terus …." "Berisik! AKU GAK PUNYA PACAR!" serunya penuh penekanan memotong ucapanku. Bersamaan dengan itu motor berhenti. Ternyata kami sudah sampai di depan kos yang dimaksud Iqbal. Ya, sepertinya begitu. Iqbal turun dari motor dengan sangat ragu. Berulang kali ia menoleh ke arahku memberi tahu ketidak yakinan dalam hatinya. Melihatnya begitu, aku segera masuk dan menekan bel sendiri. "Assalamualaikum," ucapku seraya menekan bel lagi. "Wa'alaikum salam," ucap seorang gadis yang keluar dari pintu rumah tersebut. "Eh, Teh, mau cari kamar kos, ya?" tanyanya kemudian dengan suara cempreng yang khas. "Iya, Teh. Barangkali ada yang kosong?" tanyaku padanya. "Oh ada Teh, ada. Kebetulan banget tinggal satu lagi!" ujarnya bersemangat. Gadis ini tampak riang gembira. "Alhamdulillah," ucapku bersyukur. "Hayu, Teh! Aku anter buat liat kamarnya!" ajaknya menarik tanganku menuju sebuah bangunan yang berbeda di samping rumah itu. Kosan ini cukup luas, bertingkat dua dengan dapur masing-masing lantai punya. Sedangkan kamar mandi sudah satu paket dengan kamar masing-masing. Kamarnya pun cukup luas. Penghuni yang lain ada yang mendiami satu kamar oleh dua orang. Karena memang ukuran kamarnya yang luas juga lebih hemat dengan satu harga dibagi dua. Aku menyapa penghuni kos yang lainnya. Mereka merupakan pekerja bukan mahasiswi, sehingga mereka tidak pulang seperti para mahasiswi di hari libur seperti ini. "Oh ya, nama Teteh teh siapa? Kita belum kenalan?!" ujar gadis yang mengantarku itu. Ah, benar kami belum saling berkenalan satu sama lain. "Aku Queenara, panggil saja Queen!" "Aku Ningsih," balas gadis tadi. "Gimana Teh Queen, udah cocok?" tanyanya kemudian. "Sip, cocok! Aku booking, ya. Nanti kalau udah deket masuk kampus baru aku kembali ke sini!" ujarku. "Alhamdulillah, syukur kalo cocok, Teh!" sahut Ningsih. "Oh ya, Teteh ke sini sama siapa?" tanyanya kemudian. "Sama …." Aku berbalik ke belakang mencari Iqbal. Wait! Kemana perginya dia? Apa karena masuk kosan cewek jadi dia gak ikut masuk?! "Eh, tadi dianter temen," lanjutku. "Ya udah, kalo gitu aku pamit pulang ya, Teh!" Aku menyambung ucapan. "Ningsih aja, Teh. Aku masih sekolah!" tukasnya masih dengan suaranya yang cempreng. Ningsih ini sepertinya tipe orang periang tanpa beban. Sejak tadi ia berbicara dengan penuh semangat dan senyuman. Terlebih suara khasnya yang terdengar nyaring menjadi pelengkap bak anak kecil. Dia mengantarku kembali ke depan. Aku mencari sosok sahabatku itu. Namun, entah dimana dia berada membuat diri ini kebingungan mencari. "Emang, tadi yang ngantar nyampe mana, Teh?" tanya Ningsih yang masih setia menemani. Bahkan, ia menoleh kanan kiri ikut mencari. "Hehe lupa." "Ih, Teteh mah aya-aya wae!" "Iqbaal!" panggilku tak mau tahu. Bisa-bisanya dia meninggalkan begini! Mana udah sore! "Tunggu! Yang nganter Teteh, namanya Iqbal?" tanya Ningsih tiba-tiba. Aku hanya mengangguk dengan mata masih mencari. "Apa dia A Iqbal yang nge-kost di sekitar sini juga? Yang kuliah di ITB, 'kan?" tanyanya kemudian. Aku berpikir sejenak. Mana kutahu kosan dia di sekitar sini? Namun, saat kuingat bahwa kosan ini berada di dekat kosan Iqbal, aku segera mengangguk. "Oh, kalo gitu mah aku tahu atuh dimana kosannya!" ujarnya dengan semangat. "Oh ya? Boleh antar?!" pintaku cukup senang. "Hayu atuh, Teh, dengan senang hati!" Ningsih pun mengantarku ke kosan Iqbal yang dimaksudnya. Aku hanya berharap semoga Iqbal yang dia tahu adalah Iqbal yang kukenal. Tak dapat dipungkiri hati ini sedikit gelisah jika tiba-tiba Iqbal menghilang. Ini kota orang loh, Bal! gerutuku dalam hati. Setelah cukup jauh berjalan, kami sampai di depan kos yang kudatangi pertama kali saat sampai di kota ini. "Ini 'kan, Teh?" "Wah, iya bener! Makasih ya, Ningsih, udah mau nganter," ucapku. "Sami-sami, Teh." balasnya. "Emmm ... anu, Teh. Kalo boleh tahu, Teteh teh siapanya A Iqbal?" tanya Ningsih kemudian. "Oh, aku temennya dari kecil tapi kita udah kayak adik kakak," jawabku apa adanya. "Oh, iya iya. Ya udah atuh ya, saya pulang lagi!" "Iya, makasih ya, Ningsih! Nanti aku hubungi nomor kamu tadi." "Iya, Teh. Mangga." Kulihat motor Iqbal terparkir di sana, dapat dipastikan orangnya ada di dalam kamar. Aku segera berlari menuju kamarnya dan kubuka pintu sekeras-kerasnya. Iqbal sedang berbaring dengan ponsel di tangannya. "Heh, kamu gila apa ninggalin aku di sana! Gimana kalo aku nyasar coba!" ocehku dengan tangan memukulnya secara acak. "Tapi 'kan yang penting sekarang kamu ada di sini!" jawabnya santai membuatku semakin geram. "Dasar! Kamu bener-bener, Bal! Aku bilangin bunda, nih!" "Heh, masa mau jadi mahasiswi masih suka ngadu!" cibirnya semakin membuatku kesal. Aku bergeming tak lagi menjawabnya. "Gimana, dapet kosannya?" tanyanya kemudian. Aku hanya mengangguk. "Ya udah. Yuk, pulang!" Dia beranjak dan aku mengekori saja. Lihat saja, Iqbal. Aku tidak mau berbicara denganmu beberapa hari ke depan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN