Pacar Baru

1071 Kata
"Dia siapa, Queen?" tanya Iqbal alisnya terangkat menunjuk ke arah Rival. "Ini lho, pacar aku yang minggu kemarin kuceritain lewat telepon," jawabku seraya melepaskan tangannya dari pundakku. "Siapa, Queen? Ajak masuk dong, jangan di luar gitu!" Terdengar suara bunda dari dalam dengan sedikit berteriak. "Eh, iya, Val. Yuk, masuk dulu!" ajakku pada Rival. Sekilas terlihat Iqbal tak begitu suka, sedangkan Rival mengabaikan dan melewatinya begitu saja. Aku mempersilakan Rival duduk di sofa ruang tamu. Iqbal tak perlu disuruh, ia akan duduk dengan sendirinya. Aku pun menuju dapur untuk membawakan minum. Kubuatkan lemon tea khusus untuk Rival karena itu kesukaannya sedangkan Iqbal kubuatkan jeruk peras. Sudah dua minggu lamanya aku menjalankan hubungan dengan Rival. Entah aku merasa yakin dengan pacarku yang satu ini, cintanya begitu tulus untukku. Tidak terlalu posesif seperti mantanku yang pertama atau keras seperti mantanku yang kedua. Pertama kali aku mengenalnya adalah saat aku bermain ke rumah Rima, teman satu bangku di SMA. Rival merupakan tetangga dekat Rima. Setelah aku berkunjung ke rumah Rima, ia meminta nomor ponselku. Tanpa ragu aku memberinya, hingga setelah itu kami sering berkirim pesan atau kadang telponan. Bunda sudah tahu sejak kami pertama menjalin hubungan, tapi Rival baru sempat menemui bunda saat ini. Ini karena ia baru selesai mengurusi pendaftarannya untuk kuliah di UIN Jakarta. Rival sebaya denganku tapi sayang, kami tak dapat meneruskan pendidikan di universitas yang sama. "Hai, Bang. Saya Rival," sapanya ramah seraya mengangguk sopan pada Iqbal ketika aku datang membawa minuman. Iqbal hanya membalas dengan anggukan tanpa memperkenalkan diri. Aku pun duduk di antara mereka setelah menaruh gelas tepat di hadapan mereka masing-masing. "Nah, Rival. Ini Iqbal, sahabat yang pernah aku ceritain waktu itu. Dia ini kadang jadi ayahku, kadang jadi abangku, bahkan kadang jadi ibuku. Ya, pokoknya terserah kamu mau anggap dia apa!" Rival hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Inilah salah satu yang aku sukai darinya, ia tak mempermasalahkan kedekatanku dengan Iqbal seperti pacar-pacar sebelumnya. Iqbal masih dengan tatapan tidak suka. Sepertinya dia sudah bete, terlihat dari air mukanya yang berubah. "Awas, ya, kalo kamu nyakitin Queen!" ancam Iqbal tiba-tiba dengan bola mata menatap tajam ke arah Rival. "Hehe, tenang, Bang. Aku tulus mencintai Queen, kupastikan takan pernah menggores hatinya barang sesenti pun," jawab Rival dengan pedenya membuatku tersenyum-senyum. "Siapa nih yang datang, Queen?" Bunda tiba-tiba datang lalu duduk di dekatku. "Hai, Tante. Saya Rival yang berhasil buat putri tante jatuh cinta." "Wah pede sekali kamu," ujar bunda disusul gelak tawa. Kami tertawa bersama sedangkan Iqbal masih dengan mimik muka yang sama. Kemudian ia berdiri lalu berkata, "Bun, aku pulang dulu, ya." "Eh, kok cepet-cepet, Bal. Tunggu sebentar bawakan ini untuk ibumu!" Bunda pun ke dalam lalu kembali dengan sebuah bingkisan. Aku tak tahu persis apa isinya. Kemudian Iqbal mencium punggung tangan bunda lalu pulang begitu saja. Lagi-lagi ia bersikap tak seperti biasanya. Kulihat bunda hanya tersenyum menanggapinya. "Val, santai aja, ya. Tante ke dalam dulu." "Oh iya, Tan." Rival mengangguk dan tersenyum. "Maaf, ya, tadi sikap Iqbal agak gitu," ucapku kemudian setelah bunda meninggalkan kami. "Ya, gak apa-apa lah, Queen. Wajar aja mungkin Iqbal takut kamu disakiti. Sepertinya dia sudah menganggapmu sebagai adik." "Kamu keberatan tidak aku deket sama Iqbal?" "Tidak. Sama sekali tidak. Kalian lebih dulu saling kenal dan dekat dari pada aku. Jadi gak masalah, Queen," jawabnya lagi-lagi dengan senyum termanisnya yang menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. Ah, aku merasa cukup memiliki Rival. Rasanya hubungan kali ini akan serius. Walau sebaya, sikap Rival lebih dewasa dariku. *** Tepat jam tujuh malam Iqbal kembali ke rumah. Ia mengajakku makan di luar. Aku tak bisa menolak, dia cukup memaksa kali ini. Kami memilih resto yang sering kami kunjungi. Iqbal memesan makanan tanpa bertanya apa mauku. Dia sudah hafal apa yang akan aku pesan saat berkunjung ke resto ini. Kemudian ia duduk bersebrangan denganku. Matanya menatap lurus menampakkan sikap serius. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan dan aku lebih memilih diam. Biarlah dia yang memulai pembicaraannya. Setelah beberapa menit menunggu pesanan pun datang. Entah mengapa, tiba-tiba suasana menjadi lebih tegang saat Iqbal menghabiskan makanannya dengan cepat tanpa sepatah kata pun. "Cepat habiskan makanannya. Ada yang mau aku tanyakan," ucapnya setelah semua makanannya habis tak bersisa. "Tanya, ya tanya aja lah! Kan bisa sambil makan?" "Gak bisa. Ini serius!" jawabnya tegas. Aku pun menghabiskan makanan dengan tergesa-gesa. Kalian tahu? Saat ini aku merasa sedang di-ospek kakak tingkat sebelum waktunya. "Apa? Kenapa?" tanyaku sedikit sewot untuk menghilangkan ketegangan setelah selesai menghabiskan makanan. "Kamu ceritakan dari awal siapa Rival itu?!" titahnya kemudian. Alih-alih menjawab aku hanya bisa melongo. Serius ini yang ingin dibicarakan? Sampai bikin tegang gitu? Hhhh memang Iqbal saat ini bukan Iqbal yang seperti biasanya. "Kenapa diam?" tegurnya kemudian. "Hey, Bal, yang benar saja? Kamu udah bikin aku tegang dan ternyata yang menjadi topik pembicaraan cuma Rival?" Aku berbicara dengan sedikit mengeraskan suara hingga pengunjung yang lain menoleh ke arah kami. "Cuma? Tentang Rival buat kamu cuma? Yakin Rival gak sepenting itu?" Ia tersenyum sinis. Sinis sekali. "Ya, maksud aku, 'kan bisa di rumah atau mungkin lewat telepon juga bisa. Lagian apalagi sih yang mau kamu tahu? Bukannya udah aku ceritain semuanya?" "Kapan? Belum tuh?" "Waktu di telepon seminggu yang lalu deh kalo gak salah?" "Gak. Aku gak denger. Kayaknya aku tidur waktu itu." Hih menyebalkan. Kalau aku cerita panjang lebar pasti tidur. Padahal aku sendiri selalu menjadi pendengar setianya ketika dia bercerita. "Jadi, aku harus cerita lagi nih?" Iqbal mengangguk masih dengan tatapan serius. "Ah, baiklah." Aku menjeda beberapa saat untuk memulai bercerita. "Jadi, Rival ini tetangganya Rima. Tau 'kan Rima? Kita kenal setelah aku sering main ke rumah Rima. Rival memberanikan diri minta nomor HP. Setelah itu ya sering kontekan, udah deh gak lama jadian," paparku kemudian. "Kamu percaya dia gitu aja?" "Ya. Selama ini dia baik-baik aja, kok! Bahkan dia tidak melarang kedekatan kita. Gak kayak mantan-mantanku sebelumnya." "Itu gak cukup, Queen. Kamu tahu keluarganya seperti apa? Gaulnya sama siapa? Bagaimana keseharian dia?" "Aku hanya pacaran, Iqbal! Bukan mau nikah kali!" "Oh." Iqbal memasang wajah yang sangat menyebalkan dengan senyuman kecil di wajah datarnya. Apa dia sedang menertawakanku? Aku mendelikkan mata. Menyebalkan! Setelah kuceritakan panjang lebar, dia hanya menjawab "Oh"? "Ya udah, yuk pulang!" Dia beranjak lalu pergi begitu saja. Aneh, sungguh aneh. Iqbal benar-benar berubah! Aku melongo beberapa saat hingga setelahnya aku mengekori dia juga. Ku tatap lekat wajah Iqbal. Air mukanya kini sedikit berubah, seolah dia lega terhadap apa yang dikhawatirkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN