Rindu

1622 Kata
"Boleh aku minta nomornya?!" Sesaat ucapannya membuatku terdiam. Apa Ningsih sedang mengatakan bahwa yang disukainya adalah Iqbal? Tapi, kenapa hatiku rasanya …. "Gimana, Teh?" tegurnya membuyarkan lamunan sesaatku. Aku masih bergeming dengan hati yang terus menimbang-nimbang. Heran sekaligus merasa aneh pada diri sendiri, rasanya berat saja memberikan nomor Iqbal padanya. Namun, binar mata Ningsih yang sedang menunggu membuatku tak bisa membiarkannya. Kuberikan nomor Iqbal dengan berat hati. "Kosong delapan satu," ucapku menyebutkan satu persatu sederet nomor di ponsel. Ningsih mengulum senyum menahan tawa. Aku memicingkan mata, heran kenapa dia tidak segera menulis nomor yang kusebut. Aku hanya akan menyebutkan satu kali ya, Ningsih! Jangan minta ulang dan jangan menyesal jika aku tak mengulanginya! ucapku dalam hati. "Kenapa?" Hanya kata itu rupanya yang keluar dari mulut ini. "Teh, zaman sekarang masih aja disebut gitu. Kan ada WA tinggal kirim juga beres!" ujarnya masih dengan menahan tawa. Benar apa yang dikatakannya. Kenapa aku gak kirim aja lewat aplikasi berwarna hijau itu. Kemudian mau tak mau aku pun mengirimkan nomor Iqbal sebagaimana yang diminta oleh Ningsih. Hanya butuh beberapa detik kontak Iqbal terkirim dan saat itu juga senyum Ningsih mengembang. Kini Ningsih sibuk dengan ponselnya. Kulihat raut wajahnya begitu sumringah bahkan kini ia memegang ponselnya dengan kedua tangan. Sibuk memainkan jari jemari di atas layar. Ingin kulihat apa yang sedang dilakukannya. Namun, rasanya tak sopan. Apa dia sedang kontekan dengan Iqbal? Jika ya, kenapa pesan Ningsih dibalas, sedangkan aku …? Ah, sepertinya aku juga harus mengirimnya pesan! Kukirim gambar stiker seseorang yang lelah menunggu. Sepersekian detik pesan terbaca. Bagaimana ini? Gimana kalo Iqbal berpikir aku sedang menunggunya. Lalu cepat aku kirim lagi pesan. [Maaf, salah kirim] Masih centang abu, hingga beberapa saat kemudian kulihat kembali masih centang abu. Ningsih masih saja anteng dengan ponselnya. Ia terus memainkan jari jemarinya dengan riang gembira. Ia membiarkan aku yang sedang galau merana. Tak mau kesal berlama-lama, aku pun merebahkan tubuh memejamkan mata. Sial, mata ini juga enggan bekerja sama, padahal tubuh ini telah lelah melalui hari yang panjang ini. "Ning, jam berapa sih?" tanyaku mengajak Ningsih bicara. "Jam sebelas malam, Teh!" sahutnya masih sambil sibuk memainkan ponsel. Aku sibuk mencari cara untuk bertanya pada Ningsih apa dia sudah menghubungi Iqbal? Namun, aku takut Ningsih curiga dan berpikir aku keberatan memberikan nomor Iqbal. Aku lihat kembali, Ningsih tertawa tampak seperti menemukan hal yang lucu. Tak kuat melihat tingkah Ningsih yang seperti itu, kurebut ponselnya cepat untuk memastikan sedang apa dia. Game? Dia sedang main game? Game cacing pula! "Apa sih, Teteh!" protes Ningsih mungkin kesal karena aku mengganggu kesenangannya. "Lagian kamu ini gimana temenin aku tapi malah sibuk sendiri!" ucapku seraya mengembalikan ponselnya. Aku segera membaringkan tubuh kembali, menutup kepala dengan selimut dan segera memejamkan mata. *** Aku terbangun saat mendengar suara lantunan adzan subuh. Ningsih sudah tak ada di sampingku. Entah sejak kapan ia pergi padahal semalam aku tidur lebih dulu. Aku beringsut bangun untuk melaksanakan shalat. Aneh memang, jika saat di rumah aku biasa bunda paksa bahkan aku merasa panas kuping dengan bunda yang terus terusan mengingatkan. Akan tetapi, di sini aku justru shalat dengan sendirinya. Setelah melaksanakan shalat aku membuka lemari bagian atas tempat aku menyimpan tumpukan buku. Kemarin, Ningsih yang membereskan ini dan aku bagian pakaian. Untuk mengisi waktu, aku bermaksud membaca n****+. Namun, saat aku mencari n****+ yang sedang k****a saat itu, sebuah mushaf ukuran sedang tersemat di sana. Aku mengambilnya. Mushaf ini terlihat baru, tapi aku tak merasa mengambil apalagi membelinya. Kubuka pada halaman pertama, tiba-tiba secarik kertas jatuh darinya. Untuk menjaga diri, jangan lupa baca selalu Al-Quran ini! ~Bunda~ Ah, sejak kapan bunda sangat perhatian seperti ini. Aku jadi teringat bunda. Tiba-tiba hati ini menghangat menjalar hingga ke mata. Seketika mataku berubah menjadi bendungan. Aku coba mengalihkannya agar bendungan ini tak jebol menganak sungai. Aku kembali duduk dengan mushaf masih dalam genggaman. k****a perlahan ayat demi ayat. Namun aku tak kuat lagi menahan mata yang telah mengembun, hingga akhirnya air mata itu berjatuhan mengaliri pipi sangat deras. Aku rindu bunda. Satu hal yang sering dilakukan setelah kami shalat berjamaah yaitu membaca Al-Quran. Namun, aku selalu menghindar dengan beralasan bahwa wudhu ku telah batal. Bunda tak pernah memaksa. Ah, bunda. Ternyata hal seperti itu bisa menjadi hal yang sangat dirindukan. Alih-alih membaca Al-Quran, aku malah larut dalam tangisan. Kututup dan simpan kembali mushaf tersebut. Jangan sampai lembarannya menjadi basah karena air mata ini. Setelah puas menangis, kubuka ponsel kembali. Ponsel yang kini menjadi tiba-tiba sepi. Sampai-sampai, baterainya masih penuh karena tak kunjung kugunakan. Aku segera mencari kontak bunda, menelponnya untuk melepas rindu. Nada sambung terdengar beberapa saat, mungkin bunda masih mengaji. Namun, kemudian panggilan tersambung juga. "Assalamualaikum, Queen. Gimana? Kerasan tinggal di sana?" "Wa'alaikum salam, Bunda. Alhamdulillah Queen nyaman tinggal di sini." Suaraku sedikit berat mungkin karena aku menahan tangisan. "Ada apa? Queen udah sarapan?" tanya bunda kembali. "Belum, Bun. Mungkin nanti siangan nyari di depan." "Oh ya udah, baik-baik ya, Queen di sana. Bunda mau masak buat sarapan ayah." "Baik, Bun." "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Kutarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Aku segera mengganti pakaian dengan pakaian hangat karena cuaca hari ini cukup dingin. Kemudian membuka pintu hendak keluar. Bersamaan dengan itu, Tari muncul mungkin hendak mengetuk pintu. Kami terpaku sesaat lalu setelahnya sama-sama melempar senyuman. "Kebetulan sekali!" ujar Tari, dia sangat cantik saat senyum. Lesung pipit timbul di kedua pipinya. "Ah, ada apa, Teh?" tanyaku mengakrabkan diri. "Ini, aku mau ajak kamu ke depan cari sarapan!" "Ah, kebetulan sekali. Aku juga lagi mau cari sarapan nih!" "Oh, ya udah. Kalo gitu, yuk!" ajaknya, ia pun berjalan mendahuluiku. Aku menyusulnya segera setelah mengunci pintu kamar. Meski kota ini cukup padat penduduk serta bangunan yang berdempetan, tapi cuaca di sini cukup sejuk. Terlebih matahari yang masih bersembunyi di balik awan abu seolah enggan menampakkan diri untuk hari ini. Namun, walau begitu tanda-tanda hujan turun tak begitu kentara karena sebagian langit tak begitu berawan. Saat pagi seperti ini di tepi jalan banyak pedagang kaki lima yang menjual aneka makanan untuk sarapan. Seperti bubur ayam, soto ayam, kupat tahu, nasi uduk, juga yang lainnya. Rasanya, aku bisa ganti menu sesuka hati setiap hari. Tari mengajakku membeli soto ayam. Kami duduk di kursi panjang yang tersedia di sana, kemudian Tari memesankan dua porsi soto. "Di mangkok apa dibungkus, Neng?" tanya bapak penjual soto. "Di mangkok aja, Mang!" jawab Tari, aku ikut saja. Setelah sekitar satu menit menunggu soto pun siap disantap. Ya, hanya satu menit karena penyajian soto itu mudah. Cukup potong lontong beberapa bagian kemudian taburi kacang goreng serta seledri dan bawang, tak lupa ayam suwir serta garam dan penyedap rasa. Setelah itu tuangkan kuah soto yang telah dibumbui, kemudian taburi kerupuk dan soto siap disajikan. Aku suka pada suapan pertama. Demi apa, soto ini merupakan soto terlezat yang pernah kucoba. Apalagi setelah ditambahkan beberapa sendok sambal. Ah, ini merupakan sarapan pertama di kota Bandung ternikmat. "Enak, 'kan?" tanya Tari yang memperhatikan cara makanku. Sangat jelas sekali aku begitu menikmatinya, sehingga Tari bisa menduganya. "Banget, Teh," jawabku seraya mengangguk. Di tengah-tengah kami menyantap soto, si penjual menuangkan air teh panas untuk minumnya. Memang sangat cocok saat makan pedas minumnya air panas. Di pagi yang sejuk ini aku pun berkeringat. "Jadi berapa, Mang?" tanya Tari kemudian. "Dua puluh ribu, Neng," jawab si penjual. Dua puluh ribu, itu artinya satu porsi sepuluh ribu. Cukup mahal, tapi sebanding dengan rasa juga porsinya. Aku pun mengeluarkan uang sepuluh ribu kuberikan pada Tari. "Kok, sepuluh. Sepuluh lagi dong!" ujar Tari. Aku melongo sepersekian detik, tapi cepat-cepat mengeluarkan sepuluh ribu lagi malu ditunggu si penjual. Setelah Tari membayarnya ia pun pergi. Aku sedikit berlari seraya menyejajarkan langkahnya. Masih dengan hati gondok juga bertanya-tanya, kenapa aku yang bayar semua. Ah, bukan apa uangku saat ini pas-pasan. Jika memang sedang dibekali uang normal mungkin aku bisa saja mentraktirnya tanpa diminta. "Makasih traktirannya ya, Queen!" ucap Tari sambil terus berjalan. "Eh, Teteh bisa aja!" elakku, mencoba menganggapnya sebagai candaan. "Eh, aku sengaja loh ajak kamu biar bisa ditraktir!" serunya tanpa dosa. "Jahat! Tega banget sih!" gumamku, yang sepertinya masih terdengar oleh telinganya. "Hahaha, iya nanti aku ganti dengan mentraktir juga!" "Kapan?" "Kapan-kapan!" Tari masih tertawa. Memang sih aku itu lucu, cuma sepuluh ribu aja minta ganti. Tapi, ah yang benar saja awal masuk kost sudah seperti akhir bulan! Tari membawaku jalan-jalan, berkeliling sekitar kosan. Ternyata tak hanya di jalan raya, di dalam pun ada warung-warung kecil untuk sekedar membeli cemilan. Setelah cukup berkeliling kami pun kembali ke kos. Aku kembali ke kamar. Satu benda yang kutuju begitu masuk adalah ponsel. Rival masih saja tak menghubungi ku begitu pun dengan Iqbal. Aku merasa ingin banyak bercerita pada Iqbal. Namun, untuk menyentuh nama kontaknya pun enggan. Jangan deh, jangan sampai aku yang menghubunginya duluan. Maka kuputuskan untuk menelepon Rival. Aku tetap menunggu saat nada sambung terdengar cukup lama, hingga akhirnya panggilan pun dia jawab. Aku bergeming, biar dia saja yang memulai berbicara. "Kamu nelpon tapi gak ngomong, gimana sih!" hardiknya baru saja kami berteleponan. Apa ini? Kenapa semakin ke sini, Rival jadi kasar. "Apa kamu sedang sibuk? Apa aku mengganggu?" "Ya. Aku masih sibuk di sini, Queen. Tolong jangan dulu ganggu untuk beberapa saat!" ucapnya lagi terdengar sedikit marah. "Tunggu sebentar, Rival!" "Kenapa?" "Uang yang sejuta itu …." "Ya ampun, sama pacar sendiri sampai ditagih? Queen, aku kan udah bilang bulan depan. Baru aja satu mingguan! Kamu ini gimana sih?!" Rival memotong ucapanku. Kalau sudah begini mau gimana lagi? Aku pun terdiam tak lagi menjawab. "Udah ya, aku masih sibuk. Bye!" Rival memutuskan sambungan telepon. Apa ini? Apa ada yang salah denganku? Atau dengan Rival? Atau dengan hubungan kita? Ah, Iqbal, aku butuh kamu! batinku dalam hati. Kusingkirkan ego sejenak, kemudian kutuliskan pesan. [Kapan kamu ke kosan, Bal?] Pesan pun terkirim.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN