Pengkhianat

1383 Kata
Iqbal segera membekap mulutku seraya menarik tangan menjauh dari pandangan yang tak enak dipandang juga menyesakkan di d**a. Mungkin sahabatku ini takut, jika sahabatnya berteriak memaki atau tiba-tiba menghampiri mereka berdua. Memang begitulah yang ingin kulakukan. "Mmppp … hmmmppp!!!" Aku berontak mencoba menarik tangan Iqbal agar segera melepas bekapannya. "Aku lepasin. Asal janji kamu bakal tenang!" ujar Iqbal, kususul dengan anggukan cepat. "Queen, tenang dulu, oke! Kita pantau dulu dari sini!" Aku kembali mengangguk seraya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan mencoba menenangkan diri. Bagaimanapun d**a ini sangat sesak, mata ini panas, ingin sekali aku berteriak dan memaki dua orang di depan sana. "Kamu ingat? Kamu sendiri dulu yang bilang, bisa saja mereka sedang main biasa karena memang mereka tetanggaan kan?" Iqbal terus berujar dengan sangat hati-hati mungkin takut jika menyinggung hatiku. "Sekarang, kita pastikan sendiri. Ada hubungan apa di antara mereka sebenarnya." "Oke, aku serahkan sama kamu, Bal," jawabku lemah. Aku benar-benar merasa kehilangan energi untuk hidup melihat kejadian ini. Pria yang menyebutkan dirinya sebagai kekasih tengah merangkul temanku sendiri. Mereka tampak mesra untuk dikatakan hanya sekedar teman. Namun, aku tetap mengikuti saran Iqbal agar memastikannya terlebih dahulu. "Kamu sekarang coba kirim pesan ke Rima. Basa-basi dulu terus tanya dia lagi ada dimana sekarang sama siapa." Aku mengikuti saran Iqbal segera mengetikkan pesan untuk Rima. Dari tempatku berada, terlihat Rima sedang memainkan ponselnya sambil sesekali bercanda dengan Rival. [Hai, Rim. Apa kabar? Aku lupa tidak mengabarimu. Sekarang aku sudah di Bandung] Pesan terkirim. Pandanganku kembali pada dua sejoli di depan. Rima tampak kebingungan dan menyodorkan ponselnya pada Rival. Rival seperti memberi isyarat agar tidak perlu membalas pesanku. Kemudian Rima menyimpan ponselnya tanpa membalas pesan yang aku kirimkan. "Gak dibales. Terus gimana?" tanyaku pada Iqbal meminta instruksi. "Sekarang kamu telpon Rival!" Aku pun kembali menuruti perintah Iqbal. Kutekan ikon telepon genggam berwarna hijau untuk memulai panggilan. Nada sambung pun menyapa tapi tak kunjung berakhir. Aku mengulang beberapa kali dan kulihat Rival pun tampak bete mendapat panggilan dariku. Hingga panggilan ketiga, nomornya tak bisa lagi dihubungi. Kutenggelamkan wajah ini pada d**a Iqbal. Kulingkarkan tangan seraya memeluknya erat. Tangisku pun pecah membasahi kaosnya. Aku sudah tak bisa lagi menahan luka yang membuat mata ini terasa panas. Kurasakan tangan Iqbal menepuk punggung pelan. Ia melakukannya berulang kali. Mungkin maksudnya ia sedang menenangkan aku. Kenapa tidak kau peluk saja aku?! "Sudah. Gak ada gunanya nangisin pria yang lagi selingkuh. Kamu percaya kan sekarang?" tanya Iqbal, ia menarik tubuhku dari pelukannya. Aku mengangguk masih dengan air mata yang bersimbah. Tidak hanya itu, lendir dari hidung pun ikut keluar membasahi wajahku. "Sekarang kita sarapan dulu aja, yuk!" ajak Iqbal kemudian. Sebetulnya aku belum cukup puas menangis di dekapannya. Entah, mungkin karena malu ditatap orang lain sehingga Iqbal melepas aku, maka aku pun mengikuti saja ajakannya. Aku sempatkan menengok ke arah belakang, Rima tengah duduk bersandar di pundak Rival sedangkan pria itu merangkulnya. Dasar para pengkhianatan tak tahu diri! Iqbal mengajakku ke sebuah kedai yang tak jauh dari alun-alun. Kedai yang cukup besar dengan banyak menu tersedia di dalamnya. Di antaranya, bubur ayam, soto ayam, lontong sayur, kupat tahu, hingga bubur kacang ijo pun ada. Aku memesan soto ayam dan Iqbal pun memesan menu yang sama. Segera kusantap soto yang masih mengepul asapnya begitu seorang pelayan menyajikan pesanan di atas meja. Tak kuacuhkan panas kuah soto yang menyengat lidah. Aku hanya ingin segera mengisi perut agar energiku kembali pulih. "Pelan-pelan, dong! Itu masih panas tau!" tegur Iqbal tapi tak kuindahkan. "Tapi aku salut sih sama kamu, lagi sedih masih mau makan udah gitu jadi lahap lagi. Kebanyakan orang kalau lagi galau tuh kan suka mogok makan." "Ya, kali! Udah sakit hati ditambah sakit perut karena gak makan?" sahutku dengan mulut penuh. "Gak banget!" "Bagus! Orang cerdas itu namanya!" Aku segera menghabiskan satu mangkuk soto ayam kemudian meneguk air teh panas hingga tandas. Iqbal membulatkan matanya. Bukan karena aku yang terlihat rakus, tapi sepertinya sesuatu mengusik penglihatannya. "Anj***! Kenapa harus ke sini juga sih?!" umpatnya dengan mata mengarah ke pintu masuk. Sontak bola mataku mengekor ke arah yang sama. Dua orang pengkhianat itu masuk ke kedai ini juga. Iqbal beringsut bangun meninggalkan sotonya yang masih belum habis. Ia menuju kasir mungkin hendak membayar. Aku pun membuntutinya tak mau ketinggalan. "Teh, makanan kita nanti minta bayar ke pria yang di sana, ya!" ujar Iqbal menunjuk ke arah Rival. "Oh, yang pake kaos kerah sama kacamata hitam itu, A?" tanya penjaga kasir. "Iya, mereka temen kita kok!" jelas Iqbal kembali. "Oh, baik, A." Pelayan itu mengangguk sebelum kemudian kami undur diri segera keluar. "Hahaha, apa banget sih nyuruh dia yang bayar? Kamu gak cukup uang?" tanyaku diiringi tawa renyah karena memang sahabatku yang satu ini ada saja ulahnya. "Enak aja! Biar tahu rasa." "Tanggung lah! Kalo kita makan di restoran baru tuh bikin mampus!" "Gak apa-apa. Satu porsi soto tadi harganya tiga puluh ribu, loh!" "Wah? Hahaha dia pasti ngumpat habis-habisan karena harus bayar empat porsi!" "Biarin, rasakan!" Kemudian kami kembali ke jalan raya untuk menaiki angkutan kembali ke kosan. Bagaimanapun melihat dua orang yang dekat dengan kita tiba-tiba berkhianat itu menyakitkan. Jelas, apalagi dia kekasih kita sendiri. Mau tak mau bayangan tadi terus menari menyesakkan hati yang benar-benar tersakiti. "Ayo, turun! Udah sampai." Tepukan Iqbal membuyarkan lamunanku. Aku hanya menoleh sekilas lalu mengikuti pria-yang sejak tadi setia menemaniku-turun dari angkutan. Ia tak mengeluarkan suara untuk sekedar mengajakku bicara. Entah malas, atau mungkin sedang memberiku pengertian. Tapi memang, saat ini aku benar-benar tak karuan. Ingin nangis dan teriak, tapi rasanya sayang air mata jika harus menetes karena pria tak punya malu itu. Cukup tadi saja aku menangisi kesedihan hati ini. "Wah, lo ngapain dia, Bal?! Dia terlihat kusut dari sebelum berangkat tadi!" ujar pria berkulit sawo matang yang kutemui pagi tadi. Rupanya aku telah sampai di depan kos Iqbal. Iqbal tak menjawab ocehannya. Dia mendekapku dengan sebelah tangannya untuk menjaga jarak dari pria itu. "Apa kamu sudah menangis, Nona? Katakan saja apa yang Iqbal lakukan padamu, biar aku yang membalasnya!" ucap pria itu lagi yang kini ada di depanku. Kepalanya ia turunkan demi melihat jelas sembab di wajahku. "Pergi sana! Jijik tahu!" protes Iqbal seraya menendang kaki temannya. "Sekarang kamu pulang dulu. Mandi ganti baju terus ke sini lagi. Aku masih ingin mengajakmu berkeliling mumpung kita masih bebas," ucap Iqbal kemudian padaku. "Oke." "Udah, jangan dipikirin. Buang-buang konsentrasi mikirin dia." "Iya." "Jangan lama-lama, ya!" Aku mengangguk. Raut wajah Iqbal ditekuk, garis halus terlukis di keningnya. Mungkin dia khawatir membiarkan aku menyendiri. Aku tahu dia pasti lebih marah daripada aku, hatinya tentu saja ikut tersakiti, karena kami bersama bukan hanya saat ini. Aku pun berjalan menuju kos dengan jiwa melayang. Berjalan pun rasanya kaki ini tak menginjak jalan. Pikiran ini kacau memikirkan mereka. Kok, bisa? Setega itu? Hingga sampai di depan pintu kamar kos, Ningsih tengah berdiri. Dua tangannya ia lipat di depan d**a. Wajahnya masam menunjukkan ia merajuk. Namun, aku sama sekali tak semangat menanggapinya, sehingga aku memilih abai dan melewatinya begitu saja. Ningsih ikut masuk tanpa dipersilahkan. Aku tak keberatan, tapi enggan juga berbicara, karena rasanya aku hanya akan muntah ketika membuka mulut walau sekedar untuk bersuara. Kusambar handuk yang menggantung di balik pintu, lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Kucuran air sejuk yang biasa membuatku menggigil kini tak terasa dingin sama sekali. Tak mau bersedih lagi, aku pun segera mengakhiri ritual mandi ini. Ningsih masih saja duduk di kamarku. Ia bergegas menyimpan ponselnya begitu aku keluar dari kamar mandi. Wajah yang tadi dibuat merajuk berubah jadi penuh tanya. Aku kembali pura-pura tak melihatnya, mengambil pakaian kemudian kembali ke kamar mandi untuk memakainya. Setelah selesai, kupoles wajahku dengan sedikit make up. Bersamaan dengan itu ponselku berdering, panggilan masuk dari Iqbal. Aku biarkan panggilan tersebut, karena sebentar lagi aku selesai. Gak enak rasanya karena Ningsih ada di sini juga. "Teh, itu ada yang nelpon," ucap Ningsih mengingatkan setelah dering kedua dari panggilan kontak yang sama. Aku menggeser ikon berwarna merah tanda menolak panggilan yang pasti semakin membuat Ningsih keheranan. "Teh Queen, ada apa? Kok, hari ini kayaknya banyak diam?" Ningsih menghampiri dan berdiri di sampingku. "Eh, Ning, maaf ya. Aku harus pergi sekarang." "Kemana? Emang tahu jalan?" "Aku sama Iqbal, kok!" "Oh. Ya, udah!" Ningsih pun keluar dari kamarku. Tak lama aku pun ikut keluar dan segera menghampiri Iqbal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN