Ada-ada Saja

1033 Kata
"Oh ya, kenapa kalian aja yang masak? Kenapa gak yang lain?" tanyaku kemudian sambil menunggu mie matang. "Kamu denger gak tadi teh Syifa bilang koki? Nah, julukan itu ditunjukkan sama teh Pibi ini," ujar Wini sedikit berbisik. "Terus kalian?" "Aku sama Wini bantu aja, karena kasihan juga sama teh Pibi suka disuruh-suruh teh Syifa," ucap Nadia yang juga berbisik. "Hah?" Aku mengerutkan kening. "Ya, tidak hanya sebagai koki. Teh Syifa memang menganggap teh Pibi segala macam. Apa pun dia perintahkan sama teh Pibi," jelas Wini. Aku melihat ke arah Pibi, dia sibuk memasak seolah tak peduli dengan obrolan kami. Kemudian aku menoleh ke arah Ningsih, dia memasang wajah bingung. "Gimana lagi, aku masih kecil. Aku gak berani," imbuh Ningsih tiba-tiba, padahal aku tak bertanya. Apa ini? Apa ada bullying yang terjadi di sini? Lalu Pibi ini sebagai korban? Aku tak lagi bertanya. Biarlah, seiring berjalannya waktu aku akan tahu sendiri karena aku pun tinggal di sini. Kulihat mereka pun tidak begitu nyaman membicarakan tentang ini. Bersamaan dengan itu, mie instan siap disajikan. Pibi menuangkannya pada mangkuk besar, sedangkan Nadia dan Wini menyusun beberapa mangkuk kecil serta sendok dan garpu. Aku membantu membawakan mangkuk tersebut. Di ruang tengah semua orang sudah menunggu tak sabar. Sontak, mereka simpan ponsel yang sedang dimainkan. Kemudian duduk bersila menunggu makanan disajikan. Aku ikut duduk setelah menyimpan mangkuk di tengah-tengah mereka sambil menunggu arahan selanjutnya. Tak kusangka, Pibi kemudian menuangkan mie ke dalam mangkuk satu persatu lalu memberikannya pada setiap orang. Melihat hal itu, aku bergegas ikut membantu. "Wah, Pibi dapat anak buah baru lagi tuh!" celetuk Syifa membuatku geram. Pibi hanya diam saja tak menjawab. Kuedarkan pandangan pada yang lainnya. Mereka pun sama hanya terdiam tak ikut mencela apalagi membela. Sumpah demi apa, aku ingin mengakhiri ini semua! Semua menikmati mie instan buatan Pibi. Entah apa yang ia masukkan ke dalamnya, mie instan yang campur aduk berbagai rasa ini terasa seperti bukan mie instan biasa. Aku baru merasakan makanan seenak ini. Setelah semua selesai, kemudian Pibi membagikan air minum satu orang satu botol. Lalu ia juga memungut mangkuk-mangkuk kotor dan membawanya ke dapur. Aku kembali membantunya hendak meletakkan mangkuk kotor ke wastafel kemudian segera mencucinya. "Tunggu, Queen!" Namun suara Syifa kembali terdengar menghentikanku. "Ya, Teh?" Aku berbalik, meletakkan kembali mangkuk yang hendak kubawa. "Kamu menikmati makanannya?" tanya Syifa kemudian. "Iya, Teh. Masakannya enak," jawabku apa adanya. "Padahal cuma mie 'kan?" Aku mengangguk seraya tersenyum. "Ini karena kita makan bareng-bareng. Selain nikmat terasa kenyang juga, padahal porsinya bisa dibilang berkurang karena kamu dan Ningsih gak bawa." Aku kembali mengangguk-anggukkan kepala setuju dengan apa yang diucapkan Syifa. "Nah, ini yang selalu kita lakukan di akhir bulan. Secara 'kan akhir bulan itu uang udah tipis banget apalagi buat anak kuliahan!" Syifa masih berbicara. "Dengan cara ini kita bisa menikmati makanan bersama. Walau kita karyawan, akhir bulan mah tetep sama aja udah kayak ikan kekurangan air," lanjutnya diiringi gelak tawa dari yang lain. "Buat Pibi, Nadia juga Wini terima kasih sudah menumbuhkan rasa peduli dari Queen. Kita sengaja loh buat seperti ini, biasanya yang masak ya emang gantian. Kebetulan bulan ini bagian mereka," ujar Syifa. Pibi, Wini dan Nadia mengangkat ibu jari mereka. Sedangkan aku melongo kebingungan. "Yah, silakan kamu cerna dulu, Queen. Untuk mangkuknya simpan saja nanti bagian yang lain yang cuci." Aku masih terdiam. Jika memang bener apa yang dikatakan Syifa, aku sangat lega. Setelah itu kami semua membubarkan diri, dan aku kembali ke kamar bersama Ningsih. "Ning, temenin aku tidur di sini ya semalam aja!" pintaku padanya. "Boleh, Teh. Tapi aku pulang dulu ya, belum shalat isya." "Ah, iya." Ningsih pun pulang. Ah, dia lagi-lagi mengingatkanku untuk shalat. Daripada diam termenung sendiri, aku pun melaksanakan shalat juga. Tak lama setelah aku shalat Ningsih pun kembali. Dia datang dengan selimut dan boneka beruang ukuran besar. Aku fokus pada boneka besar itu. Memang sih tempat tidur di sini cukup untuk berdua. Tapi kalau sama beruang itu entah cukup atau tidak. Ningsih menyengir melihat perubahan wajahku. "Tenang, Teh. Ini beruang aku peluk dari bawah. Bakal cukup, kok!" ucapnya mengerti keadaan. Aku terkekeh mendengar penjelasannya. "Iya, deh. Terserah kamu!" "Oh ya, Ning. Emang biasanya gini juga, ya?" "Apanya?" "Iya itu, Teh Syifa." "Baru-baru ini sih, teh Nadia sama Wini juga waktu itu digituin juga." "Oh, emang mereka baru?" "Iya, Teh. Baru sekitar satu bulan di sini. Kayaknya sih seangkatan deh sama Teh Queen, cuma mereka kerja gak kuliah." "Ah, gitu ya?" sahutku mengangguk-angguk. Kurebahkan tubuh ini ke atas kasur. Ponsel telah ada dalam genggaman. Mencari posisi ternyaman dan membuka ponsel kembali. Lagi, ponsel ini tak mendapat pesan atau panggilan satu pun. Sama sekali tak seperti biasanya. "Ini HP apa kuburan sih, sepi banget!" gerutuku. "Hahaha, Teh Queen jomblo juga, ya?" ledek Ningsih dengan suara khasnya. "Bukan, enak aja!" bantahku karena memang seperti itu kenyataannya. "Ya terus itu HP kenapa sepi?" tanya Ningsih matanya menunjuk ke arah ponselku. "Entah, coba deh Ning miss call aku!" pintaku, siapa tau nomorku memang sulit dihubungi. Namun, beberapa detik kemudian ponselku berdering. "Emmm … coba kamu kirim pesan!" pintaku lagi, mungkin error di bagian kotak masuk. Dan … pesan dari Ningsih pun masuk. "Apa sinyal di sana emang lagi buruk, ya?" "Nunggu dari siapa sih, Teh? Yakin punya pacar? Biasanya kalo pacar itu kirim pesan tiap waktu!" cerocos Ningsih yang membuat diri ini bertanya-tanya kemana perginya Rival? Kemudian aku teringat Iqbal. Apa dia marah padaku? Ah, kenapa aku peduli. 'Kan aku yang sedang marah harusnya dia yang hubungi aku duluan! Kusimpan ponsel kembali, karena percuma tak akan kugunakan juga. Ningsih masih saja menertawakanku. "Sabar ya, Teh. Aku juga jomblo, HP-ku juga sepi," tukas Ningsih. "Kenapa kamu gak pacaran?" tanyaku. "Aku menyukai seseorang, tapi aku tak bisa memastikan dia menyukaiku juga atau tidak," ucapnya. "Ah, gimana mau balik suka, kita deket juga nggak," lanjutnya sedikit mengeluh. "Apa cowok itu yang tadi sore kamu ceritakan?" Ningsih mengangguk. "Kenapa kamu gak coba cari tahu nomornya aja?!" Tiba-tiba mata Ningsih berbinar. Ia seolah mendapat jawaban dari semua yang membingungkannya selama ini. "Benar juga!" serunya. "Teteh 'kan sahabatnya A Iqbal?" "Ya, lalu?" "Boleh aku minta nomornya?!" Sesaat ucapannya membuatku terdiam. Apa Ningsih sedang mengatakan bahwa yang disukainya adalah Iqbal? Tapi, kenapa hatiku rasanya ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN