"Maaf," kata Shasa tanpa melihat orang yang ditabraknya. Orang yang ditabraknya itu tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Shasa mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa orang itu.
"Jerry?" cicitnya pelan. "Maaf gue nggak ngeliat jalan barusan,
”Enggak apa-apa. Eh, lo nangis kenapa?” tanya Jerry begitu melihat air mata yang berjatuhan membasahi pipi cewek itu.
Shasa segera menghapusnya kasar.
"Jer, sorry gue duluan,” ucap Shasa tanpa menjawab pertanyaan cowok itu.
"Mau gue anter pulang?" tawar Jerry.
"Enggak usah. Gue pulang sendiri aja." Shasa memaksakan senyumnya dan berlalu meninggalkan cowok itu—yang menatapnya sendu.
Ingin rasanya dia mendekap Shasa dan menenangkannya. Namun dia tidak mempunyai hak untuk melakukannya. Cewek yang disukainya itu lebih memilih orang lain, Jerry tahu persis dari sorot mata cewek itu. Apapun alasan yang membuat Shasa menangis, hatinya terasa sakit melihatnya. Seandainya dia bisa memilikinya, tentu dia akan berusaha untuk selalu membahagiakannya.
Setelah Shasa berlalu, Jerry menuju kantin untuk makan terlebih dahulu karena dari pagi tidak sempat sarapan.
Jerry membuka aplikasi media sosial di ponselnya sembari menunggu pesanan makanannya datang. Dia mengerutkan alisnya melihat satu posting-an dari akun resmi Fakultas Teknik. Foto seorang cowok yang sedang memboncengi cewek, Jerry sangat mengenali siapa yang mengendarai motor gede tersebut, karena cuma dia satu-satunya yang punya motor itu di kampusnya.
Tapi tidak dengan ceweknya, nampaknya dia bukanlah mahasiswi di kampus mereka. Foto itu diambil dari arah samping, jadi terlihat jelas wajah cewek yang diboncengan itu. Dia memeluk sang pengendara motor erat.
Satria sama siapa? Apa hal ini yang membuat Shasa menangis?
Jerry bisa menebak Shasa memang menangis karena melihat Satria yang tengah memboncengi seorang cewek. Jerry baru ingat, kalau Shasa dari arah parkiran saat tabrakan dengannya. Dan foto itu, diambil dari tempat parkiran.
Jerry menutup aplikasi itu. Dia mencari kontak Satria dan menghubungi cowok itu. Dia ingin meminta penjelasan tentang foto itu. Alasannya, tentu saja dia hanya tidak ingin Shasa terluka.
***
"Lo udah mabuk!" seru Ardan mengambil gelas berisikan minuman beralkohol di depan Satria. Ardan menggelengkan kepalanya melihat teman dekatnya itu meneguk beberapa gelas minuman tersebut. Sepertinya dia sedang ada masalah berat.
Sewaktu datang dia tidak menceritakan apapun kepada Ardan, malah langsung memesan minuman.
"Lo kenapa? Ada masalah?" tanya Ardan berdecak ketika Satria yang meminta minuman lagi dan lagi.
Satria tertawa miris. "Shilla... gue nggak merasa melakukan hal menjijikkan itu sama dia.”
"Maksud lo? Gue nggak ngerti. Emang lo udah ketemu dia?" tanya Ardan bingung.
Bukannya menjawab apa yang ditanyakan oleh Ardan, tapi Satria malah terus meracau. Cowok itu benar-benar sudah mabuk berat.
"Cewek gila, mana mungkin gue nidurin dia. Lihat mukanya aja, gue udah muak banget."
Ardan mengernyit, dia tidak paham apa yang dibicarakan cowok itu. Tapi biasanya, orang mabuk akan berkata jujur. Mereka tidak sadar dengan apa yang diucapkan. Ardan bisa menebak kalau teman SMAnya sudah bertemu kembali dengan mantan kekasihnya itu. Dia ingin tau apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua orang itu, hingga Satria bisa berujar demikian.
"Nidurin dia? Gue nggak ngerti," ujar Ardan.
"Dia datang ke apartemen gue. Nggak tahu kenapa tiba-tiba gue ngantuk waktu dia mau pamit pulang. Habis itu gue nggak tahu lagi, kayaknya gue tertidur. Pas bangun, gue kaget lihat dia nangis di samping gue. Shilla pasti jebak gue. Dari mana bokap gue dapat foto-foto itu? Sialann?! Gue nggak punya bukti.”
Ardan masih mencerna perkataan Satria yang masih terus meracau tanpa henti.
Beberapa saat kemudian, Jerry mengedarkan pandangan mencari sosok yang dihubungi tadi. Sewaktu ditelfon, dia mengatakan bahwa ingin ke club, jadi lah Jerry di sini sekarang menyusulnya.
"Woyy!" Jerry menepuk bahu Satria dari samping. Dia kaget, setelah cowok yang ditepuknya itu menoleh, ternyata dia sudah teler.
"Lo? Sini minum bareng!" Satria tertawa tidak jelas.
"Dia udah mabuk dari tadi," ujar Ardan yang baru saja datang sehabis mengantar minuman kepada orang. "Lo siapa?"
"Gue Jerry, teman kuliahnya."
Ardan mengangguk. "Mendingan lo bantuin bawa dia pulang deh, dari pada di sini nggak berhenti minum. Gue masih jam kerja, jadi nggak bisa anter dia. Lo tahu alamat apartemennya?"
"Oke. Gue tahu apartemennya." Jerry pun memapah Satria keluar dari club menuju mobilnya. Soal kendaraan cowok itu, sang bartender—yang juga merupakan teman Satria, akan mengamankannya nanti. Untung saja dia tahu kode apartemen milik Satria, jadi tidak perlu membawanya ke rumahnya.
***
Pada pagi hari esoknya, Satria terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih sedikit mengantuk. Dia segera mengambil handuknya dan melangkah ke kamar mandi supaya badannya lebih segar.
Keluar dari kamar, dia mengernyit melihat Jerry yang tengah bersantai duduk di sofa.
"Udah bangun lo?" ujar Jerry santai.
"Lo kok bisa ada di sini?" tanya Satria balik.
"Lupa semalam lo mabuk berat? Gue yang bawa lo ke sini."
Satria duduk di sofa tak jauh dari tempat Jerry duduk.
"Lo ada masalah?" tanya Jerry to the point. Semalam dia mendengar semua racauan cowok itu dari mobil sampai tiba di apartemen. Dia belum bisa menyimpulkan sendiri semua perkataan Satria semalam. Makanya dia akan menanyakan langsung pada cowok itu saat dia sadar. "Lo bisa cerita sama gue, jangan pendam sendiri!" ujar Jerry lagi.
Sejenak berpikir, Satria menghela napasnya berat. Sepertinya memang dia harus berbagi cerita kepada orang lain yang dipercayanya, agar beban yang dipikulnya bisa sedikit berkurang. Satria pun mulai menceritakan semuanya kepada Jerry. Cowok itu nampak serius mendengarkannya.
"Gue rasa lo dijebak," tebak Jerry usai mendengarkan cerita dari Satria.
"Bisa jadi, sih. Tapi gue enggak sadar, apa iya gue sampe ngelakuin itu?”
"Iya, gue percaya. Sekarang lo mau gimana?"
"Seperti yang gue bilang, orang tua gue udah ikut campur. Parahnya lagi, minggu depan gue sama dia bakalan tunangan." Satria mengacak rambutnya frustasi.
"Emang lo masih cinta sama dia?"
"Nggak sama sekali!" ujar Satria lantang.
"Gue bakal bantuin lo buat buktiin kalau itu semua cuma jebakan," ujar Jerry bersemangat.
"Caranya?" tanya Satria menaikkan alisnya.
"Nanti gue cari tahu caranya. Lo tunggu aja kabar baiknya dari gue." Jerry serius ingin membantu sahabatnya itu. "Gue lapar nih, bro! Lo nggak ada makanan apa gitu?"
"Order sana! Terserah mau pesan apa aja." Satria menyodorkan ponselnya kepada Jerry biar cowok itu memesan makanan lewat aplikasi gojek miliknya. Jerry girang, pagi-pagi udah dapat rejeki nomplok. Saldo gopay yang tertera di akun cowok itu lumayan besar, jadi dia bebas memesan apa saja.
Pukul 10.00 mereka berdua selesai sarapan. Satria membereskan sisa makanan mereka ke tempat sampah dan meletakkan piring kotornya di wastafel dapur.
Suara bel apartemen miliknya berbunyi membuat Satria mengerutkan keningnya. Sedangkan Jerry tampak acuh. Satria berjalan membuka pintu apartemennya itu.
"Shasa?" Satria kaget. Tak menyangka bahwa dia akan kedatangan cewek itu di hari sabtu pagi ini.
"Gue boleh masuk?" cicit Shasa pelan.
"Eh-iya." Satria menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dari arah sofa, Jerry cekikikan sendiri. Dia berhasil menjalankan aksinya.
"Kata Jerry, lo sakit?" tanya Shasa setelah masuk.
Satria menoleh ke arah Jerry, sedangkan cowok itu mengedikkan bahunya menanggapi tatapan sahabatnya itu. Satria akhirnya mengikuti permainan Jerry.
"Demam doang, ini udah mendingan."
"Oh, ya udah. Kalau udah sembuh, gue pulang aja."
"Eh, jangan Sha!" teriak Jerry. "Satria itu bohong, tadi aja dia sampai muntah. Gue udah dari semalam di sini, jadi sekarang mau pulang. Tolong temanin Satria dong! Entar kalau dia pingsan gimana?"
Satria melotot mendengar perkataan temannya itu.
"Bro, gue cabut dulu, jangan lupa istirahat!" ujar Jerry sambil mengedipkan sebelah matanya—yang tentu saja tidak terlihat oleh Shasa yang posisinya di belakang cowok itu.
Suasana menjadi canggung ketika mereka tinggal berdua.
"Maaf," ujar Satria membuka keheningan di antara mereka.
"Buat?"
"Yang kemarin.”
"Santai aja.”
"Marah?"
"Enggak, gue tahu lo pergi sama sepupu gue."
Satria tertegun. Rupanya Shasa tau kemarin dia pergi dengan Shilla .
"Lo emangnya ada perlu apa ketemu gue kemarin?”
"Kita bicara di luar, jangan di sini," ucap Satria mengambil hoodie dan kunci mobilnya. "Ikut gue!"
"Lo kan lagi sa— "
"Gue udah sembuh," potong Satria sambil menarik tangan Shasa. "Lo harus ikut gue."
Shasa akhirnya mengikuti langkah kaki cowok itu dengan yang tak terima dengan protesnya. Satria yang suka seenaknya.
Di dalam mobil, beberapa kali Shasa menanyakan ke mana tujuan mereka, namun Satria tidak juga memberitahunya. Shasa akhirnya pasrah, tidak lama dia pun tertidur. Satria melirik cewek di sebelahnya itu, seulas senyuman tipis muncul dibibirnya.
"Cantik," gumamnya pelan.
Satria masuk ke dalam rest area dan memesan makanan lewat drive thru. Sebelum melanjutkan perjalanan kembali, dia membeli snack dan minuman di minimarket dekat sana. Perjalanan mereka masih jauh, dia tidak mau Shasa sampai melewati makan siangnya nanti.
Pukul 13.00, Shasa terbangun dari tidurnya. Ternyata cukup lama juga dirinya tertidur. Diliriknya cowok uang tengah mengemudi itu, dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lalu Shasa memutar matanya ke arah luar, ternyata mereka berada di jalan tol.
"Udah bangun lo? Makan gih!" titah Satria yang menyadari cewek di sampingnya sudah terbangun. Dia menyodorkan kotak makanan yang dibelinya tadi dengan satu tangannya. "Masih 2 jam-an lagi kita tiba di tempat tujuan."
"What?" Mau ke mana sih?" tanya Shasa mulai kesal. Mereka keluar dari apartemen tadi sekitar pukul 10:15 dan sekarang sudah jam 1 siang, berarti hampir 3 jam di jalan.
"Nggak usah protes." Khas Satria sekali, suka seenaknya.
"Gue cuma bilang ke rumah Dian loh, gimana nanti pulangnya? Pasti lewat dari jam 10 malam gue baru tiba di rumah nanti." Shasa mulai gelisah. Dia hanya tidak ingin Shilla tahu kalau dia bersama Satria. Tidak mau sepupunya itu salah paham. Tadinya, dia hanya ingin memastikan keadaan Satria setelah mendapat pesan dari Jerry. Shasa tak menampik jika dirinya khawatir.
Entah kenapa, dia sejenak melupakan Shilla.
"Bilang kalau pergi ke Bandung sama teman lo, dadakan," ujar Satria dengan entengnya.
Shasa mendengkus. Dia terpaksa harus berbohong lagi kepada orang-orang di rumahnya.
Shasa mengerjapkan matanya ketika Satria memasuki area pantai, dan memarkikan mobilnya tidak jauh dari pantai. Cowok itu mengambil kantong plastik berisi snack dan minuman. Dia belum sempat makan siang, sedangkan Shasa sudah menghabiskan makan siangnya di mobil.
Satria turun berjalan menuju pantai. Kebetulan hari ini sedang sepi, padahal weekend. Mungkin karena pasca tsunami, kebanyakan orang masih takut berkunjung ke sana.
Tanjung Lesung, memiliki pantai yang cukup indah. Butuh waktu sekitar 4-5 jam perjalanan menuju ke sana dari Jakarta.
Dengan kesal, Shasa berjalan menghentakkan kakinya mengikuti langkah Satria yang lebar. Seperti waktu itu, dia ditinggal lagi. Tapi, begitu tiba di tepi pantai, Shasa diam-diam senang melihat keindahan di depan matanya itu.
Di sana, Satria duduk di atas pasir. Dia meneguk sebotol minuman dan memakan roti. Shasa ikut duduk di sampingnya. Sebelum itu, dia mencopot flat shoes yang digunakan terlebih dahulu dan menaruhnya di pasir sebagai alas duduknya.
"Gue nggak ngelakuin hal keji itu," ujar Satria tanpa menoleh kepada Shasa.
Shasa menoleh tanpa berkata apa-apa. Dia menunggu kelanjutan ucapan cowok itu.
"Gue nggak apa-apain sepupu lo itu.”
Shasa mengernyit. Dia bingung, apakah harus percaya ucapan Satria atau Shilla? Apa mungkin Shilla berbohong?
"Minggu depan gue tunangan sama dia, gue benci kenyataan itu. Ingin menolak tapi nggak bisa, gue nggak punya bukti kalau gue nggak bersalah. Orang tua gue juga percaya sama Shilla. Memang, selama ini gue nggak pernah dipercaya sama mereka. Gue serasa nggak dianggap sebagai anak." Satria tertawa miris mengucapkan itu.
Lagi, Shasa menoleh ke arah cowok itu. Dia mendapati Satria tengah menatapnya juga dengan tatapan sendu. Rasanya cowok itu menyimpan beban yang cukup berat. Dia tampak begitu rapuh, tidak seperti biasanya.
"Gue bingung, gue nggak tahu harus percaya sama siapa. Di satu sisi, gue kenal Shilla dari kecil. Nggak mungkin dia rasanya jika dia bohong sama gue."
Mendengar ungkapan Shasa, Satria menghela napasnya berat. "Gue akan berusaha membuktikan kalau gue nggak bersalah. Gue cuma minta lo percaya sama gue. Kita memang belum kenal lama, bukan berarti orang yang udah lama lo kenal bisa dipercaya begitu saja." Satria memutar badannya menghadap Shasa.
"Gue— “
Shasa menegang dikala cowok itu langsung mendekapnya erat.
"Lima menit... enggak! Tiga menit aja... tolong biarin seperti ini," ucap Satria lirih.
Perlahan, Shasa mulai bergerak ragu. Hingga kemudian dia memutar sedikit badannya membalas pelukan cowok itu.
Nyaman. Satu kata itu yang tengah dirasakan Satria saat ini. Cowok itu memejamkan matanya, berusaha untuk melupakan sejenak beban yang tengah dihadapinya.
Tangan Shasa mengelus punggung cowok itu. Memberikan ketenangan padanya. Tak terasa air matanya jatuh menetes. Shasa sadar, dia sudah jatuh sedalam-dalamnya dengan cowok yang tengah memeluknya ini. Kali ini, biarlah dia egois. Dia hanya ingin menikmati momen mereka berdua.
"Gu-e… gue sebenarnya sayang sama lo,” ucap Shasa lirih. Bodo amat dengan harga dirinya sebagai seorang cewek karena mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu kepada seorang cowok. Shasa tidak sanggup lagi memendamnya. Kalau pun Satria menolak, tak masalah. Shasa hanya tak tahan lagi memendam isi hatinya.
Satria terkejut mendengar ucapan Shasa. Dia tersenyum tipis. Namun, dia belum bisa mengatakan apapun sekarang.
Shasa kembali meneteskan air matanya saat menyadari Satria hanya diam tanpa membalas ucapannya. Dia segera mengurai pelukan mereka. "Sorry, anggap aja gue nggak ngomong apa-apa barusan,” ucap Shasa sambil menghapus air matanya dan mengalihkan pandangan ke sembarang arah.
Satria terkekeh. Dia mencubit kedua pipi cewek itu, gemas.
Shasa meringis pelan sembari memegangi pipinya akibat cubitan cowok itu. "Kenapa ketawa? Nggak ada yang lucu!" Shasa memonyongkan bibirnya.
"Jangan dimonyongin gitu. Minta dicium, hmm?" goda Satria menaik turunkan alisnya.
Mata Shasa membola seketika dengan pipi merona.
"MESUMM!!” teriak Shasa sambil bangkit dari duduknya. Dia melangkah menyusuri pinggiran pantai.
Shasa tak menyangka, bisa-bisanya cowok yang biasanya terkenal dingin itu menggodanya?
Satria ikut bangkit dan menyusul langkah kaki Shasa. Dia berhasil menyamai langkah kaki Shasa dan beriringan berjalan bersama. Satria meraih jemari Shasa dan menggenggamnya dengan pandangan lurus ke depan.
Biarlah saat ini kedua orang itu menikmati kebersamaannya, sebelum nanti—esok hari datang menyapa yang belum tentu bisa membuat keduanya merasakan indahnya hari mereka.