Guntur mengumpat kesal. Dia melempar ponsel milik seseorang yang ada di depannya saat ini. Rahangnya mengeras melihat beberapa foto yang diambil oleh orang suruhannya tersebut.
"Bos, itu ponsel saya hancur," kata orang itu menatap nanar ponselnya.
"Bacott! Entar gue ganti!" Guntur menendang keras meja dan melangkah menuju balkon apartemennya. Dia juga mempunyai apartemen seperti Satria. Bedanya, punyanya ini dibelikan oleh papanya sebagai kado ulang tahunnya 2 tahun yang lalu. Dia jarang menginap di sini, hanya sesekali jika ingin have fun dengan teman-temannya atau seperti sekarang ini. Merencanakan suatu hal yang tidak diketahui oleh orang tuanya.
Guntur mengeluarkan benda pipih miliknya dari saku celananya. Dia harus menghubungi seseorang yang tak lain merupakan teman kerja samanya.
"Hallo, di mana lo?
"Di rumah, kenapa?" jawab orang di seberang sana.
"Ketemu 1 jam lagi di cafe biasa!"
"Gue lagi mager, emang ada apa?"
"Jangan banyak alasan, lo harus datang!"
Guntur mematikan ponselnya, tanpa menunggu jawaban seseorang yang tak lain adalad Shilla.
Shilla menemui Guntur beberapa saat kemudian di cafe. Tiba di sana, dia menggelengkan kepala di saat Guntur memperlihatkan sebuah foto padanya.
"Dia bilang mau ke rumah teman kuliahnya, taunya malah ketemu calon tunangan gue. Dasar pembohong!" Shilla murka saat Guntur menunjukkan foto adiknya dan Shasa yang akan memasuki mobil yang sama.
"Lo kurang agresif! Dekatin cowok kayak gitu aja susah banget.” Guntur meremehkan Shilla.
"Gue harus gimana lagi? Gue pikir dengan kita menjebaknya dan gue berhasil bikin dia mau bertunangan dengan gue, semua masalah udah kelar."
"Salah besar kalau lo mikir gitu! Lo harus nempelin dia terus! Jangan kasih celah buat mereka berduaan.”
"Gue akan berusaha lagi," ujar Shilla bersemangat. "Lo punya rencana apa lagi?”
Guntur menyeringai. Kemudian dia menjelaskan rencana selanjutnya kepada Shilla.
Sepupuku tersayang yang malang... jangan harap lo bisa ngerebut Satria dari gue, batin Shilla dengan senyum liciknya.
Tanpa mereka berdua ketahui, ada seseorang yang merekam semua percakapan mereka dari awal, karena dia mengikuti Guntur. Dia tersenyum karena bisa mendapatkan rekaman hasil percakapan kedua orang itu. Dia beruntung, mereka berdua tidak mengenalinya. Jadi dia tidak perlu khawatir duduk terlalu dekat dengan meja mereka. Seseorang yang sejak semalam sudah mencari info tentang kedua orang itu. Dia mengenali wajah Guntur, namun tidak dengan cewek yang bersama cowok itu. Dia yakin jika cewek itu lah yang bernama Shilla.
***
Jam 11 malam, mobil yang dikendarai Satria baru tiba di Jakarta. Satria melirik cewek di sebelahnya, Shasa begitu tenang dalam tidurnya. Kira-kira setengah jam lagi, baru akan sampai di rumah cewek itu.
Di perjalanan ke sana, Satria berubah pikiran. Dia memutar balik mobilnya. Apa kata kedua orang tua cewek itu nanti saat mengantarkan Shasa pulang tengah malam. Belum lagi di sana juga ada Shilla. Menyebalkan. Tiba di tempat yang ditujunya, Shasa masih tertidur. Satria melepas seatbeltnya dan berjalan memutari depan mobil. Dia membuka pintu bagian penumpang. Dilepaskannya seatbelt yang digunakan Shasa perlahan dan digendongnya cewek itu menuju apartemennya.
Satria merebahkan Shasa di atas ranjangnya, kemudian dia melepas flat shoes yang masih menempel di kaki cewek itu. Dia menyalakan AC kamarnya dan menyelimuti Shasa. Kemudian dia berjongkok di lantai di samping kasurnya—menghadap Shasa yang sedang tidur. Satu tangannya terjulur membelai surai cewek itu dengan lembut.
Gue nggak tahu apa yang gue rasain saat ini. Yang pasti gue nyaman berada di dekat lo. Gue senang begitu tahu lo sayang sama gue. Tunggu sebentar saja, gue akan memastikan semuanya. Satria berkata di dalam hati sembari terus menatap wajah cantiknya Shasa yang terlihat damai dalam tidurnya.
Perlahan, Satria menundukkan kepalanya. Dia mengecup kening Shasa lama. Setelah itu dia mengambil bantal dan segera keluar dari kamarnya. Malam ini dia akan tidur di sofa.
Dan pada pagi harinya, Shasa mengerjapkan matanya. Dia terkejut mendapati dirinya bangun tidur di kamar yang bukan miliknya. Shasa mencoba mengingat, dia ingat kalau semalam tertidur di mobil Satria. Perjalanan yang panjang, ditambah dengan keheningan di dalam mobil membuatnya mengantuk. Shasa tersenyum, pasti cowok itu yang menggendongnya ke sini sehingga dia bisa tidur di kamar cowok itu. Untung saja sore hari kemarin Shasa mengabarkan orang tuanya jika kemungkinan tengah malam pulang dari Bandung. Orang tuanya pasti mengira dirinya menginap di rumah Dian. Shasa merasa bersalah membohongi mereka. Di sisi lain, dia senang bisa berada di dekat Satria.
Bangkit dari tempat tidur, Shasa melangkah keluar kamar. Dia melihat Satria tidur di sofa yang ukurannya tidak terlalu besar. Shasa menghampiri cowok itu, dia berdiri di sampingnya. Diperhatikannya wajah Satria lekat.
Lagi tidur aja dia tetap ganteng.
Tak mau berlama di dekat cowok itu, Shasa bergegas menuju dapur. Dia ingin menyiapkan sarapan sebelum mandi. Tidak banyak stok bahan makanan di kulkas dan di dalam kitchen set cowok itu. Shasa memutuskan untuk membuat egg and cheese bread omelet. Sepuluh menit di dapur, akhirnya Shasa selesai membuat sarapan yang cukup sederhana untuk pagi ini. Sekarang waktunya dia mandi.
Setelah mandi, Shasa membangunkan Satria. Dia ingin mengajak cowok itu sarapan bersama sebelum pulang ke rumahnya.
"Sat, bangun!" panggil Shasa. Namun, Satria tak kunjung membuka matanya. Sepertinya dia kelelahan setelah menyetir jauh kemarin. Sebenarnya Shasa sudah menawarkan diri untuk gantian mengemudikan mobil cowok itu, tapi Satria menolaknya.
Dengan ragu, Shasa mencoba membangunkan cowok itu dengan menepuk bahunya pelan. Dan lagi, cowok itu masih setia dengan tidurnya. Shasa mendengkus pelan. Masalahnya, dia harus segera pulang. Apa gue sarapan duluan aja?
Ketika dia akan beranjak pergi, tangannya ditarik oleh Satria. Hingga dia terjatuh tepat di atas cowok itu. Pipi Shasa langsung merona. Sementara Satria masih belum membuka matanya. Shasa ingin segera bangkit, namun cowok itu malah mempererat pelukannya.
"Jangan pergi!" ucap Satria dengan mata terpejam.
Shasa mendadak gugup, pertama kalinya dia menatap Satria dengan jarak sedekat ini—nyaris tanpa cela. Jantungnya berdegup dengan kencang.
"Gue emang ganteng, nggak usah diliatin terus," ujar Satri dengan mata terpejam. Dia terkekeh pelan, kemudian membuka matanya.
"Pede banget!" ujar Shasa mengalihkan pandangannya. Dia langsung bangkit, melepas paksa pelukan cowok itu. "Gue mau pulang, buruan melek! Kita sarapan bareng."
Satria pun bangkit dan mengacak rambutnya. "Gue mandi dulu, mau ikut?" godanya.
"Astaga... sejak kapan lo jadi mesumm gini?" dumel Shasa.
Satria tertawa puas usai menggoda cewek itu. Menyenangkan sekali rasanya.
Setelah sarapan bersama dalam diam, Satria pun mengantar Shasa pulang.
"Sampai perempatan di situ aja, Sat. Gue turun di sana," ujar Shasa saat cowok itu mengantarnya pulang.
"Yakin?"
"Iya. Gue nggak mau nanti Shilla lihat lo nganterin gue. Dia bisa salah paham... " ujar Shasa sendu.
"Hmmm. Ya udah, hati-hati.”
"Iya."
"Sha?" panggil Satria ketika Shasa hendak membuka pintu mobilnya.
"Makasih buat kemarin. Gue senang," ucap Satria sembari mengusap tengkuknya. Dia dengan cepat mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Sama-sama."
Tiba di rumah, Shasa langsung disambut oleh kedua orang tuanya. Dia pun terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa semalam menginap di rumah Dian. Untung saja mereka tidak marah. Shasa menarik napas lega. Lalu dia naik ke atas menuju kamarnya.
Ketika membuka pintu, Shasa terkejut melihat Shilla yang tengah memasukkan baju ke dalam koper.
"Chil, mau ke mana?" tanya Shasa heran.
Shilla tidak menjawab. Dia melangkah mendekati Shasa dan menampar cewek itu.
"Chil?” Shasa terkejut. Dia memegang pipinya yang kesakitan akibat tamparan yang cukup keras dari sepupunya itu.
"Lo nggak nanya salah lo apa? Atau nggak nyadar atau pura-pura polos?!" teriak Shilla di depan muka Shasa.
"Gu-e enggak ngerti," cicit Shasa pelan.
Shilla berdecak kesal. "Nggak tahu diri banget lo, jalan sama calon tunangan orang. Nggak laku lo sampai harus nikung gue?" Shilla memandang remeh Shasa.
"Chil, gu-e bisa jelasin.”
"Alah, nggak usah jelasin apa pun! Gue muak dengan muka sok polos lo itu!" Shilla mengambil kopernya. Dia ingin melangkah keluar dari kamar Shasa.
"Mau ke mana? Jangan pergi… “ lirih Shasa sembari mencekal lengan Shilla.
"Lepas nggak?! Gue mau pergi dari sini, nggak betah dekat sama orang munafik!"
"Enggak! Lo nggak boleh pergi, Chilla. Lo mau tinggal di mana?"
"Mau di mana kek, bukan urusan lo! Buruan lepasin tangan gue!" bentak Shilla.
Shasa menggelengkan kepala. “Kita bisa bicarin baik-baik. Gue mohon, lo jangan pergi… “
Shilla memejamkan matanya sejenak. "Oke, kalau lo maksa gue tetap di sini, gue nggak akan pergi. Asal lo janji sama gue.”
"Apa?"
"Jauhin Satria! Ingat Sha, gue sama dia bakalan menikah secepatnya. Gue harap, lo kubur jauh-jauh perasaan lo semisalkan lo suka sama dia!"
Shasa terdiam hingga beberapa saat, kemudian mengangguk. "Gue sama sekali nggak ada niat buat merebut dia dari lo, tenang aja... " ucap Shasa lirih. Dia memang menyukai Satria dan menyatakan perasaannya kepada cowok itu. Tapi, dia sama sekali tidak berniat merebutnya. Shasa hanya menyampaikan isi hatinya biar legah.
"Baguslah." Shilla melangkah mendekati Shasa. "Maafin gue barusan udah ngebentak lo. Habisnya gue kebawa emosi."
"Iya, gue ngerti.” Shasa mendekap sepupunya itu erat.
Shilla tersenyum licik sambil mengelus punggung cewek itu.