"Mau langsung pulang, Sha?" tanya Dian usai jam kuliah mereka berakhir.
"Enggak, sih. Mau ambil mobil gue dulu di bengkel." Shasa mengetik sesuatu di ponselnya lalu bangkit dari duduknya.
"Yuk, gue anterin! Habis itu kita ngemall," ajak Dian.
"Enggak usah, Dii. Sorry, gue buru-buru. Duluan, ya!" ujar Shasa dengan melangkah cepat keluar kelas.
Shasa tak bisa pergi bersama Dian karena ingin mengambil mobilnya yang berada di bengkel. Tak lama, dia tiba di bengkel tempat langganan Satria tersebut.
"Mobil yang kemarin udah kelar, Mas?” tanya Satria kepada salah satu montir di bengkel langganannya.
"Udah mas, sini kalau mau di cek dulu."
Shasa mengikuti langkah kedua orang itu menuju mobilnya.
Satria memeriksa kembali mobil Shasa yang sudah diperbaiki itu. Dia tersenyum puas. "Oke, jadi berapa?" tanyanya.
"Sebentar saya ambilin notanya dulu." Tak lama montir itu balik dengan membawa sebuah nota. "Ini mas, ada rinciannya di sini."
Satria mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Kok lo yang bayar? Kan itu mobil gue?" protes Shasa tidak terima.
Satria tidak menjawab. Dia hanya melirik sekilas, kemudian kembali beralih pada sang montir. "Sekalian buat tip masnya,” ujar Satria sembari mengeluarkan selembar uang seratus ribuan lagi.
"Makasih ya mas dan mbaknya, semoga langgeng hubungan kalian!" kata sang montir tersenyum.
Shasa pun tersenyum canggung, mukanya merona. Kemudian diliriknya Satria. Cowok itu diam tanpa ekspresi.
"Kalian berdua serasi banget, yang satu ganteng dan yang satunya juga cantik, jodoh deh!" sambung montir itu lagi.
"Dia cuma teman saya, kita enggak pacaran," sahut Satria datar.
Shasa yang tadinya tersipu mendengar ucapan montir itu, seketika raut wajahnya berubah.
Apa yang lo harapin, Sha? Pacaran sama Satria? Mana mungkin! Tapi kenapa, gue gak suka dia bilang begitu? Rasanya d**a gue nyesek banget!
"Entar duit lo gue ganti, kirimin nomor rekening lo ke gue, Sat!" kata Shasa saat akan memasuki mobilnya.
“Enggak usah," tolak Satria.
"Tapi kan— " ucapan Shasa berhenti melihat tatapan cowok itu kepadanya.
"Gue balik!" ucap Satria melangkah pergi menuju motornya.
"Emm… oke, makasih," balas Shasa menatap punggung cowok itu dari dalam mobilnya.
"Mobil gue udah bener, nggak ada alasan lagi bisa dekat sama dia. Dua hari yang menyenangkan, walaupun dia masih bersikap dingin juga," gumam Shasa. Dia menyalakan mobilnya dan segera pergi meninggalkan bengkel tersebut.
Tanpa Shasa ketahui, cowok itu mengikutinya sampai dirinya memasuki gerbang komplek perumahannya.
***
"Tumbenan lo ke sini? Ada apa?" tanya Ardan, seorang bartender di sebuah club dan juga merupakan teman dekat Satria sewaktu SMA.
"Lagi pengen aja!" jawab Satria sambil meneguk segelas minuman dengan kadar alkohol yang sangat rendah.
"Ada masalah lo?"
"Enggak juga."
"Yakin?" Satria mengangguk ragu.
"Kenapa? Lo masih ingat dia?"
"Nggak… nggak akan pernah, ya kali!" Ardan terkekeh mendengarnya.
"Dengar dari teman-teman kita, katanya dia udah di Jakarta lagi sekarang." Satria memutar bola matanya malas.
"Mau di mana kek, nggak ada urusan lagi sama gue."
"Kayaknya dia masih berharap sama lo, Sat! Buktinya dia nanyain tentang lo terus. Lo masih ada rasa sama dia?"
Satria langsung menggelengkan kepalanya.
"Rasa gue buat dia udah mati sejak dia khianatin gue."
"Lo belum dengar penjelasan dia.”
"Nggak ada yang perlu dijelasin, gue lihat dengan mata gue sendiri."
"Terserah lo deh," ucap Ardan pasrah. Berdebat dengan temannya itu nggak akan ada hasilnya, keras kepala.
Satria memicingkan matanya melihat sepasang cowok dan cewek tengah bermesraan di sebuah sofa yang tidak jauh dari bartender. Dia seperti mengenali orang itu. "Brengsekk!! b******n juga tuh orang!" geramnya.
Gimana nggak ngenalin, orang itu ternyata adalah kakaknya sendiri, Guntur. Cowok itu nampak menikmati malamnya dengan seorang cewek yang berpakaian sangat minim di dekatnya. Satria benar-benar jijik melihat kelakuan kakaknya itu, tidak sudi rasanya mengakui kalau cowok itu adalah kakak kandungnya. Dikiranya sang kakak sudah tobat dari sifat playboynya, mengingat betapa semangatnya cowok itu ingin mendapatkan Shasa. Ternyata dugaannya salah. Rupanya selain suka bergonta-ganti pacar, dia juga suka bermain wanita.
Bagaimana jika kedua orang tua mereka tau kelakuan anak kesayangan mereka yang satu ini? Pasti mereka akan kecewa, tidak menyangka anak emas yang selalu mereka banggakan mempunyai kelakuan minus. Satria tersenyum sinis. Walaupun dia memberitahu kedua orang tuanya sekalipun, mereka tidak akan mempercayainya. Yang ada dia bakalan dituduh menjelekkan kakaknya itu karena iri. Miris!
Tiba-tiba Satria teringat Shasa. Cewek itu, Guntur nampak serius ingin mendekatinya. Satria tidak bisa membiarkan cowok itu mempermainkannya, Shasa bukanlah boneka!
Di lain tempat, Shasa melompat kesenangan ketika membuka notifikasi pesan yang masuk di aplikasi whatsappnya.
Cowok Es
Besok gue jemput!
Dia sampai berkali-kali membaca pesan itu untuk memastikan nama sang pengirim, sebelum membalasnya.
Shasa
Lo mau jemput gue?
Cowok Es
Ya
Shasa
Oke, gue tunggu!
Tanda ceklis dua, kemudian centang biru, namun tidak ada balasan lagi dari cowok itu.
"Ish nyebelin! Chat ngajakin bareng, habis itu gue dicuekin! Gak papa deh, yang penting besok bisa berangkat bareng!" guman Shasa. Dia pun merebahkan badannya di kasur king size miliknya dan mulai memejamkan mata. Sudah cukup larut malam, dia tidak ingin kesiangan esok harinya.
Sementara itu di apartemennya, Satria mengacak rambutnya frustasi.
"Tujuan gue dekatin cewek itu cuma karena gak mau dia sampai jatuh ke tangan cowok b******k kayak Guntur, gak lebih! Gue yakin kalau gue gak bakalan suka dia," katanya lirih.
Dia membuka galeri ponselnya, terdapat beberapa foto cewek itu.
Sial! Kenapa gue jadi kefikiran dia gini?
Satria melempar ponselnya ke atas kasur. Lalu dia membuka pintu balkon kamarnya dan mengeluarkan rokok seperti biasanya.
***
"Kenapa?"
"Maksud lo?"
"Tiga hari yang lalu." Jerry mencoba mencerna pertanyaan Satria. Setelah paham apa maksud dari cowok itu, dia tersenyum.
"Gue memang menyukai dia, tapi gue rasa gue harus mundur. Cinta tidak harus memiliki bukan?" tanyanya getir. Satria menatap Jerry tajam. "Bukannya gue nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang lo kasih waktu itu, gue tau maksud lo. Kalau dianya udah kelihatan nggak nyaman sama gue, apa iya gue terusin?"
"Kalah sebelum bertarung," ledek Satria.
"Enggak apa-apa, asal dia bahagia. Apalagi sama teman gue sendiri," sindir Jerry.
Satria mengerutkan alisnya.
"Gue nggak ngerti."
"Lo nggak peka banget jadi cowok. Entar keburu diambil sama orang, baru nyesel lo!"
"Ngomong tuh yang jelas!" sahut Satria jengah.
"Lo pernah pacaran nggak sebelumnya?"
"Hmmm."
"Pernah apa nggak?” Jerry nampak gregetan dengan temannya satu ini. Udah ngomongnya suka irit, perihal cewek juga gak peka-an.
"Pernah lah!”
"Tapi kayaknya belum punya pengalaman kayaknya masalah hati," ledek Jerry.
"Sialann lo!"
"Gue mau tanya, lo serius nggak punya perasaan apa-apa sama Shasa?"
Satria berdecak kesal. "Nggak ada pertanyaan lain?"
"Tinggal jawab aja, susah amat emang?"
"Kita udah pernah bahas soal itu."
"So?"
"Jawaban gue masih sama."
"Gue nggak yakin sama ucapan lo waktu itu, siapa tahu lain di mulut lain di hati."
"Terserah lo!" Satria bangkit dari duduknya dan beranjak pergi.
"Lo suka sama dia, Sat! Cuma belum menyadarinya aja!" lirih Jerry yang pasti tidak terdengar oleh Satria, cowok itu sudah melangkah jauh.
Gue ada rencana, gue pastiin cepat atau lambat lo bakalan mengakui perasaan lo itu!