POV 3
“Kamu tidak perlu khawatir soal sosok iblis anakmu, Akila665.”
“A-apa maksud Anda, Pak Tua?”
“Secara ilmiah, Darien memang mewarisi gen iblis darimu. Namun, kau tidak perlu khawatir soal itu. Darien selama ini selalu bisa menahan hasrat iblis itu untuk melindungi orang-orang terdekatnya.” Sang Dokter tersenyum merekah sambil menatap Julio lamat.
“Tapi, aku merasakan adanya hasrat membunuh yang kuat darinya. Dia sangat ingin membunuhku, Pak Tua.” Julio menatap Darien yang berada di pangkuan Achila. “Aku tidak bisa membiarkan iblis seperti dia hidup dan bebas di dunia ini, sekalipun iblis itu adalah darah dagingku sendiri.” Julio berkeras. Dia berjalan, lalu merampas Darien dari Achila.
“He, tidak! Jangan lakukan itu pada Darien!” Achila menolak, dan mencoba menarik tangan Darien, merebutnya dari Julio.
“Kalau begitu, mengapa tidak kau musnahkan saja semua ras Akila yang tersisa di dunia ini? Bukankah mereka lebih pantas dilenyapkan daripada Darien?”
Julio menoleh untuk memastikan sang empunya suara. Kedua maniknya menangkap seorang lelaki bertopi koboi hitam yang dengan khidmat menyesap rokok. Wajahnya sama sekali tak ramah. Setidaknya begitulah menurut Julio.
“Siapa kau?”
“Aku temannya Darien—tidak—aku sahabatnya.” Alexio menyesap kembali rokok yang tersisa setengah. “Sekalipun kau adalah ayahnya, aku tidak segan membunuhmu jika menyakiti sahabat terbaikku!” Alexio menatap tajam ke arah Julio.
Tak berselang lama, Julio tersenyum kecut. “Apa maksud dari semua ini? Dulu kami begitu hina di mata kalian para manusia normal. Bahkan, kalian takut kepada kami, ras Akila. Dan sekarang, kalian mendekati kami. Apa maksud dari semua ini? Apa yang kalian harapkan—“
“Dasar bodoh!” Alexio memotong. Ia membuang puntung rokok, lalu menginjaknya lamat-lamat. “Kau pikir semua manusia itu sama? He, aku tahu sedendam apa kau pada manusia seperti kami, tetapi kau sudah salah menduga. Kami—khususnya yang ada di kota ini—tidak pernah berpikir memanfaatkan Darien. Kami sangat peduli padanya. Lihat! Lihat sahabatku yang malang itu. Ia tidak berdaya. Terlebih dia sangat membutuhkan kasih sayang darimu. Dan kau begitu saja menghilang tanpa pernah bertemu dengannya. Apa kau mengerti betapa dia sangat merindukanmu, hah?!”
Julio menelan ludah kasar, lalu menatap Darien yang kini tak sadarkan diri. Pukulan telaknya telah membuat sang anak tak berkutik dan kehilangan kesadaran.
“Itu benar, Akila665. Anakmu saat ini lebih membutuhkan kasih sayang yang telah sekian lama tidak pernah ia dapatkan. Saya adalah orang yang sudah memberikannya inisiatif untuk melarikan diri dari sangkar itu. Saya kasihan padanya. Setelah dia bersusah payah mencari keberadaanmu, kau sekarang justru ingin melenyapkannya. Darien bahkan tidak pernah tahu ke mana harus berjalan saat mencarimu.”
Julio menggaruk pelipis. Sepertinya ia sedang mengalami dilema saat ini.
Salah satu ketakutan terbesar Julio ialah melihat anaknya—Akila666—berubah menjadi iblis keji sepenuhnya. Oleh karena itulah, daripada membiarkannya menjadi iblis yang kejam, ia lebih memilih untuk memusnahkannya saja.
Tidak hanya itu, semasa hidupnya, ketika masih hidup di dalam sangkar dulu, Julio kerap kali membunuh teman-teman seperjuangannya. Julio mempunyai sebuah tujuan yang benar-benar ia sembunyikan dari siapa pun, termasuk istrinya.
“Begini saja, saya akan membuktikan kepadamu bahwa anakmu bukanlah ancaman besar bagi dunia. Bagaimana?” Dokter Elasmus mencoba negosiasi.
“Bagaimana caranya?”
“Semenjak kedatangan Darien pertama kali di kota ini, saya sendiri tidak pernah mendapatinya membabi buta ataupun membunuh orang-orang tidak bersalah. Malah, sesuatu yang dapat memicu jiwa iblis Darien ialah ketika ia menyaksikan pemandangan memilukan orang-orang lemah yang disiksa secara tidak adil oleh para petinggi,” jelas Dokter Elasmus.
“Tapi—“
“Siapa pun kau, tidak perlu khawatir. Aku tahu kau tidak berniat jahat.” Acacio tiba-tiba datang menghampiri. Ya, sepertinya ia sudah penasaran karena hanya menyaksikan obrolan itu dari kejauhan.
“Siapa kau?” Julio bertanya sembari meneliti Acacio yang terlihat seperti kesatria perang berzirah.
“Aku Acacio, pemimpin Kota Eleusina,” jawab Acacio dengan ramah. Ia lalu mendekat kepada Julio. “Aku sedikit penasaran denganmu.”
“Ada apa dengan tatapanmu?” tanya Julio yang heran melihat tatapan Acacio karena meneliti seluruh tubuhnya.
“Apakah semua Akila sekuat kau? Dan ... kau benar-benar mirip Darien. Apakah kau—“
“Aku ayahnya. Akulah ayah Akila666.”
“Sudah kuduga,” desis Acacio. “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan.”
“Apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
“Ayo, kita bicara di markas bawah tanah. Achila, Alexio, bawalah Darien ikut.”
“Tunggu, bagaimana dengan kekacauan ini? Lihat, apakah monster itu tidak akan bangkit lagi?” Alexio bertanya.
“Tidak. Dia sudah tidak berdaya. Sebentar lagi dia pasti mati.” Julio menimpali.
“Baiklah kalau begitu.”
***
Tiba di markas bawah tanah, Achila membaringkan Darien di atas tumpukan kain sehingga tidak akan membuat tubuhnya sakit atau terluka.
Dengan kesedihan yang semakin merasuki benak, Achila setia menemani Darien. Gadis itu bahkan tidak sedikit pun mengalihkan pandangan ke arah lain. Sesekali ia membersihkan kotoran yang menempel di tubuh Darien dengan kain basah.
Tak seperti biasanya, luka yang didapatkan Darien dari pertarungannya dengan sang ayah belum juga menutup. Kemampuan regenerasinya seakan menjadi sangat lambat. Hal ini membuat Achila bertanya-tanya sehingga memutuskan untuk menemui Dokter Elasmus di ruang latihan yang sedang berbincang bersama Julio serta Acacio.
“Achila? Ada apa?” tanya Acacio yang tiba-tiba menyadari kehadiran gadis tersebut.
“Aku ingin memastikan sesuatu ....”
Ketiga pria di dalam ruangan itu lantas mengerutkan dahi.
“Aku penasaran dengan luka di tubuh Darien yang tak kunjung menutup. Sebelumnya, jika ia terluka, tak peduli seberapa parah, lukanya akan dengan cepat menutup,” jelas Achila. Dia mendengkus gusar.
“Bagaimana, Dok? Apa Anda tahu sesuatu?” Acacio menoleh ke Dokter Elasmus.
“Menurut saya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kecepatan regenerasi pada ras Akila itu sifatnya relatif. Lambatnya proses regenerasi di tubuh Darien saat ini diakibatkan karena pukulan yang sangat keras. Seperti itulah Akila ketika bertarung dengan sesama Akila.” Dokter Elasmus melepaskan kacamata, lalu mengelapnya dengan kain yang dia keluarkan dari saku jas putih.
“Seperti yang kita ketahui, Julio merupakan ayah dari Darien. Julio jauh lebih kuat daripada Darien. Dari segi pengalaman, Julio jauh melebihi Darien. Mengingat Darien juga merupakan anak dari Julio, lambatnya regenerasi pada Darien adalah sesuatu yang sangat wajar.”
“Hmm. Masuk akal juga,” komentar Acacio. “Kalau begitu, kau tidak perlu khawatir, Achila.”
“Baik. Saya pamit kembali untuk menemani Darien,” ucap Achila pelan, lalu melangkah menuju tempat Darien berada.
Sementara itu, Julio menatap Achila dengan lamat hingga gadis itu hilang dalam kegelapan ruang bawah tanah.
“Aku tidak menyangka akan ada manusia normal yang begitu memperhatikan kondisi seorang ras Akila.” Julio berucap dengan lirih.
“Sepertinya kau sudah mengenal gadis itu sebelumnya.” Acacio memecah imajinasi Julio.
“Ya, benar. Aku pernah menyelamatkan gadis itu di Kota Marius yang telah lenyap. Dia berusaha menyelamatkan kedua orang tuanya, sementara aku diminta oleh mereka membawanya pergi dari peperangan besar Kota Marius melawan Kota Plataia saat itu,” tutur Julio.
“Oh, jadi seperti itu.” Acacio manggut-manggut.
“Di mana anakku bertemu dengan Achila? Pak Tua? Apa Anda tahu sesuatu?”
“Saya pernah mendengar cerita Darien. Katanya, ketika ia masih menjadi pasukan Kota Plataia, ia bertemu dengan gadis itu. Darien berusaha menyelamatkannya di tengah-tengah peperangan sedang berlangsung.”
Julio kemudian terdiam setelah mendengar penjelasan Dokter Elasmus. Sepertinya ada perasaan menyesal yang tumbuh di benaknya ketika mengingat dirinya ingin membunuh sang anak.
“Sebenarnya, tujuanmu mencari Darien, apakah memang untuk membunuhnya?” Acacio tiba-tiba bertanya.
“Kemungkinan besar aku memang ingin membunuhnya sebab mengingat ras Akila memiliki jiwa iblis di dalam diri mereka. Namun, setelah mendengar dan melihat sendiri keadaan saat ini, aku berubah pikiran.” Julio menghela napas panjang. “Istriku pasti akan sangat gembira mengetahui bahwa anaknya telah tumbuh dengan sangat baik. Bahkan, pertumbuhan serta sifat Darien melampaui perkiraan kami.” Ia tersenyum tipis kemudian.
“Jadi, sekarang kau sudah berubah pikiran?”
“Ya, begitulah,” kata Julio. “Bolehkah aku melihatnya?”
“Pertanyaanmu begitu konyol. Jelas-jelas kau adalah ayahnya. Mari, kutemani kau menemuinya.”
Ketiga pria tersebut kemudian pergi ke ruangan Darien.
Beberapa jam telah berlalu, tetapi Darien belum juga membuka mata. Lukanya pun belum sepenuhnya menutup.
“Pak Tua, bisakah Anda—“
“Tidak bisa, Julio. Darien hanya bisa sadar olehmu. Panggil dia. Tarik dia dari jiwa gelapnya. Dia sedang tenggelam di dalam sana. Kamu adalah seseorang yang selama ini dia rindukan.”
Julio akhirnya berjalan pelan, bersimpuh dan mulai mengelus rambut sang anak dengan lembut.
Pilu, tentu saja. Saat ini Julio merasa begitu terpukul. Meskipun sebelumnya ia sudah berencana membunuh Darien, tetapi ternyata ikatannya dengan darah daging sendiri masih sangat kuat. Tak ada seorang ayah yang tak menyayangi anaknya. Tentu saja, kata-kata itu masih berlaku untuk Julio.
“Maafkan aku, Nak. Aku tidak semestinya melakukan hal itu.”
Ya, bayangkan saja. Seorang ayah tak pernah bertemu dengan anaknya bahkan sejak lahir. Bukan hanya Julio, tetapi juga sang istri sudah sangat merindukan kehadiran Darien.
Sebenarnya, Julio berkelana karena permintaan istrinya yang telah merindukan keadaan anaknya. Namun, kebetulan Julio menyaksikan sisi iblis Darien membabi buta. Itulah sebabnya Julio saat itu sangat ingin membunuhnya. Lagi pula, cita-cita Julio tak jauh berbeda dengan Darien, yaitu ingin mendamaikan dunia.
“Entah siapa yang telah memberimu nama Darien, tetapi aku sangat bersyukur sebab artinya sangat mulia. Nak, bangunlah. Maafkan ayahmu ini. Ah, tidak. Aku tidak meminta untuk dimaafkan, tetapi bangunlah dan lanjutkan apa yang ingin kau capai. Bukankah kau ingin mendamaikan dunia?” Setetes air bening menggantung di manik Julio. “Akan kupinjamkan kekuatanku untukmu. Ayo, kita perbaiki dunia yang hancur ini. Kita perbaiki sistem kekejaman dunia ini.”
Tak berhasil. Darien tetap bungkam dan bergeming. Hanya embusan dan helaan napasnya yang terdengar.
Julio lantas mencoba memejam, mencoba menggunakan ikatan batin antara ayah dan anak.
“Darien, arti namamu begitu mulia. Aku bersyukur kau bisa bertemu dengan Achila, gadis baik hati itu. Memang benar apa yang dikatakan Dokter Elasmus, kau merupakan Akila yang dianugerahi oleh Dewa. Aku harap, kehadiranmu bisa menjadikan dunia ini menjadi lebih baik. Aku berharap semangatmu tidak berkurang sedikit pun dalam mencapai kesejahteraan itu.
“Sekarang, bangunlah. Kita ubah dunia yang kelam ini bersama-sama. Ibumu sudah menunggu. Ia merindukanmu. Bangunlah.”
Tak lama kemudian, semua yang ada di ruangan tersebut termasuk Achila, membelalak ketika memandangi tubuh Darien.
***